Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang merupakan perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 diharapakan dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pilkada yang lebih baik. Setidaknya dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tersebut Bawaslu sebagai “wasit” dalam Pilkada memiliki kewenangan yang lebih besar yakni dapat membatalkan terhadap calon yang melakukan pelanggaran tertentu. Meski demikian dalam revisi UU tersebut ternyata dalam berbagai pengaturannya masih banyak kerancuan bahkan memunculkan sejumlah penafsiran bahkan kekosongan hukum. Salah satu persoalan klasik dan krusial adalah persoalan politik uang. Memanfaatkan berbagai celah aturan, praktek culas politik uang dalam Pilkada serentak 2017 khususnya di DKI Jakarta disinyalir masih terjadi.
Prespektif Jakarta, 5 Januari 2017 di Kantor Populi Center Kemanggisan Jakarta, mengusung tema “Pilkada DKI Jakarta: Antara Uang Politik Dan Politik Uang”.
Tema ini sengaja diangkat dalam rangka partisipasi aktif mewujudkan penyelenggaraan Pilkada yang lebih berkualitas sekaligus menjadi bagian pendidikan politik masyarakat untuk melawan praktek politik uang yang dapat mencederai esensi dan cita-cita luhur demokrasi.
Usep S. Ahyar, Direktur Populi Center pada awal pemaparan menjelaskan bahwa praktek money politic khususnya dalam penyelenggaraan Pilkada adalah persoalan klasik dan sulit dihilangkan. Praktek ini memiliki korelasi dengan maraknya KKN pasca terpilihnya calon tersebut. Mengutip data Survei KPK Tahun 2015 yang mengungkap lebih dari 50% masyarakat selaku pemilih mempertimbangkan dalam hal pemberian uang dalam Pilkada. Senada dengan temuan KPK, Survei Populi Center di DKI Jakarta pada akhir 2016 menemukan data 26,5% masyarakat Jakarta menjawab bantuan tunai adalah hal yang paling diharapkan dari calon. Hal ini menurut Usep menunjukan masyarakat masih permisif terhadap praktek money politic. Usep memberikan solusi agar pendidikan politik bagi masyarakat tentang bahaya dari praktek tersebut agar lebih diintensifkan.
Senada dengan Usep, Abdullah Dahlan dari ICW menyampaikan bahwa ada banyak kasus korupsi yang beririsan dengan pelaksanaan pilkada. Money Politic memiliki korelasi dengan praktek korupsi. Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Bupati Klaten baru-baru ini adalah salah satu buktinya. Selanjutnya Dahlan mengistilahkan persoalan praktek Money Politic terjadi bisa “pra bayar” dan “pasca bayar” yang kesemuanya terjadi dalam lingkaran praktek “uang mahar”, donatur / penyuplai dana dan manipulasi pendanaan pilkada oleh calon. Masa Pra bayar terjadi jelang pelaksanaan pilkada sedangkan “pasca bayar” merupakan usaha dari calon terpilih agar “balik modal” dan membayar hutang proyek. Lebih lanjut Dahlan menyampaikan modus praktek Money Politic selain dengan cara konvensional adalah politisasi birokrasi.
Lebih lanjut Dahlan juga menyentil tentang perilaku salah satu calon gubernur DKI Jakarta yang menjanjikan dana 1 milyar untuk setiap RW di Jakarta. Hal ini menurtnya sarat dengan nuansa transaksional yang jelas berbeda dengan program dan menjanjikan sesuatu kepada pemilih adalah termasuk pelanggaran. Pemberian sanksi yang tidak hanya berlaku pada pemberi namun juga penerima, menurut Dahlan bisa jadi langkah maju meminimalisir praktek politik uang.
Sebastian Salang, Pengamat Politik dari Formappi juga sepakat soal politik uang memiliki benang merah maraknya korupsi. “Politik uang merupakan investasi awal praktek KKN bagi calon yang terpilih”. Demikian uangkapmya. Lebih lanjut Salang menyoroti efek lebih jauh bahaya praktek tersebut adalah kerugian besar masyarakat yang dipastikan tidak akan mendapatkan pelayanan publik yang prima. Selanjutnya menyoroti tentang banyaknya regulasi Pilkada yang disatu sisi itu baik namun lemah dalam penegakaan hukum. Ia menjelaskan belum ada satu kasus money politic yang berujung pada diskualifikasi calon ataupun pembatalan calon yang terpilih. Ini menunjukan kita galak dalam membuat aturan namun lemah dalam penegakan. Paparnya.
Pada paparan penutupnya Salang menyampaikan solusi dalam rangka mengawasi dan mencegah praktek politik uang dalam Pilkada dengan melakukan pengamatan soal trackrecord dan pendanaan calon, mekanisme pengumpulan dana publik penggunaan dana kampanye yang transparan dan akuntabel. Selain itu proses rekrutmen pengsusungan bakal calon oleh pucuk pimpinan partai politik perlu diawasi dan terbuka sehingga mencegah adanya praktek “uang mahar” atau “membeli perahu”. Karena jika ini masih terjadi disanalah awal muasal praktek politik uang terjadi. Pungkasnya.