Pilkada DKI Jakarta: Partisipasi Pemilih dan Rasionalitas

JAKARTA.  Pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta  berlangsung cukup baik dengan tingkat partisipasi pemilih mencapai 75.7 persen.  Persentase ini naik dari partisipasi pemilih dalam Pilkada Jakarta tahun 2012 yang tingkat partisipasinya tidak mencapai 70 persen. Warga ibukota terbukti  memiliki rasionalitas dan memanfaatkan momentum pesta demokrasi yang berlangsung lima tahun sekali ini di tengah situasi aksi-aksi sosial keagamaan berbau politik yang massif.

Populi Center bekerja sama dengan Perludem mengadakan diskusi Perspektif Jakarta off air pada Senin (27/2) di Kantor Perludem yang berlokasi di Jl. Tebet Timur IVA Nomor 1. Dalam diskusi ini hadir Deputi Direktur Perkumpulan Untuk Pemilih dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustiyati, Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz, dan Direktur Populi Center Usep S Ahyar.

Khoirunnisa Agustiyati, Deputi Direktur Perludem mengatakan tingkat partisipasi pemilih mengalami penurunan  sejak pemilu pertama pada tahun 1999. Pada 1999 partisipasi pemilih mencapai 90 persen lalu turun ke 80 persen pada 2004 dan 70 persen pada 2009. Menurut Khoirunnisa, setidaknya ada tujuh alasan mengapa masyarakat tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Pertama, teologis. Ini berarti adanya tafsir keagamaan yang memandang keikutsertaan dalam pemilu sebagai hal yang dilarang agama. Kedua, protes. Ekspresi protes warga negara terhadap politisi dan parpol yang dianggap tidak memberikan manfaat.

Ketiga, perlawanan. Perlawanan terhadap bangunan sistem politik yang mengekang hak-hak politik warga negara. Keempat, kepercayaan. Kepercayaan terhadap sistem politik yang sedang bekerja. Kelima, mal-administrasi dengan tidak terdaftarnya masyarakat sebagai pemilih.

Keenam, teknis individual seperti sedang berlibur ke luar kota. Ketujuh, kejenuhan yang menyebabkan banyaknya kejadian pemilu yang harus mereka ikuti dalam waktu yang tidak lama.

“Ketidakhadiran orang ke TPS ada faktor dari partai politik. Sudah sepatutnya parpol lakukan pendidikan politik, memobilisasi masa, apa visi misinya sehingga orang tertarik datang ke TPS,” ujar Khoirunnisa. Di sisi lain, penyelenggara pemilu memiliki peran untuk memastikan masyarakat terdaftar di TPS. Masyarakat hanya mengetahui bahwa penyelenggaraan pilkada Jakarta pada 15 Februari 2017, namun sebagian besar masyarakat tidak mengetahui informasi mengenai bagaimana kalau tidak terdaftar di TPS dan bagaimana melaporkan kecurangan.

Koordinator JPPR Masykurudin Hafidz menjelaskan pelaksanaan pilkada di Jakarta mengalami tiga situasi yang berlangsung bersamaan. Pertama, peristiwa politik. Persaingan antara tiga pasangan calon dan partai ataupun tokoh yang berada di balik masing-masing calon menjadi pertarungan politik tingkat nasional.

Kedua, persoalan hukum. Dalam peristiwa pilkada kita mengalami situasi petahana dlaporkan oleh pihak tertentu berkaitan dengan penistaan agama. Ketiga, persoalan agama. “Akan ada persoalan politik, hukum, keyakinan atau agama dalam putaran kedua,” terang Masykurudin.

Hanya saja, akunya, masyarakat dalam putaran kedua juga akan melandaskan pada gagasan membangun Jakarta dengan visi misi pasangan calon. “Jadi gagasan membangun jakarta jauh menjadi pertimbangan untuk datang ke TPS daripada alasan kedua dan ketiga (hukum dan keagamaan),” pungkasnya.

Lanjutnya, ia menyarankan agar strategi pasangan calon nomor urut dua dan tiga pada putaran kedua adalah mengambil suara golongan putih (golput) yang pada putaran pertama mencapai 24.3 persen. Apabila mengambil strategi mengambil suara pemilih yang memilih pasangan nomor urut satu, jelasnya akan sulit. “Apalagi sampai sekarang belum ada parpol pendukung nomor satu yang menyatakan sikap. Ini akan sulit. Jauh lebih mudah kalau kita justru mendekatkan diri pada golongan putih,” papar Masykurudin.

Di sisi lain, Direktur Populi Center Usep S Ahyar mengakui willingness to vote masyarakat Jakarta berdasarkan data survei yang dilakukan Populi mencapai 90 persen. Lantas mengapa yang datang ke TPS hanya 75,7 persen? Menurut Usep, hal ini dikarenakan administrasi yang kacau balau. Ada pemilih yang terdaftar namun alamat tempat tinggalnya salah dan ada pemilih yang sudah meninggal.

Di samping itu, kesulitan teknis lainnya adalah sulitnya menjangkau masyarakat Jakarta yang tinggal di daerah sulit seperti apartemen atau perumahan elit. “Hak pemilih harus dijamin, bagaimanapun caranya,” tandas Usep.

Dalam exit poll yang dilakukan Populi Center pada pilkada 15 Februari lalu, mayoritas masyarakat Jakarta menyatakan pilkada berlangsung dengan jujur, baik, dan adil. Namun, terkait persoalan keterbukaan terhadap pilihan politiknya, sekitar 20 persen pemilih enggan untuk membeberkan siapa yang baru saja ia coblos di bilik suara.
Masyarakat merasakan adanya hegemoni atau penindasan simbolik. “Semua masyarakat yang memilih itu merasa ada tekanan politik ketika memilih A atau B atau C, terutama ketika memilih masyarakat yang berbeda secara umum dengan minoritas,” terangnya.

Untuk putaran kedua sendiri, ia melanjutkan akan dipengaruhi beberapa hal. Pertama, sedikit banyak preferensi parpol akan mempengaruhi pilihan warga. Ketika parpol memilih calon tertentu maka pemilihnya akan memilih sesuai pilihan parpolnya. Maka dari itu, peta dukungan menjadi hal yang ditunggu-tunggu. Kedua, penekanan pada program kerja dan visi misi. “Ini yang menurut saya harus dibuktikan bagaimana memahami fakta dan masalahnya,” imbuhnya.

Bagikan:

id_IDIndonesian