JAKARTA. Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta putaran kedua sedang berlangsung di mana pasangan Basuki-Djarot dan Anies-Sandi melenggang dalam pertarungan suara 19 April mendatang. Tahapan pelaksanaan putaran kedua pun telah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta. Lalu, bagaimana pelaksanaan pilkada Jakarta putaran pertama dan apa yang bisa dilakukan untuk membuat putaran kedua berjalan lebih baik? Populi Center bekerja sama dengan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) membahas topik tersebut dengan tema “Proyeksi Pelaksanaan Putaran Kedua Pilgub DKI Jakarta”. Dalam diskusi ini hadir Pengurus Pusat AIPI Prof. Dr. Ikrar Nusa Bakti, Komisioner KPUD DKI Jakarta Dahlia Umar, dan Direktur Populi Center Usep S. Ahyar.
Komisioner KPUD DKI Jakarta Dahlia Umar mengatakan ada beberapa catatan yang diberikan KPUD. Pertama, pengelolaan logistik dan penataan para petugas di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dari sisi pengelolaan logistik tidak bermasalah namun pihak KPUD Jakarta tetap mengantisipasi adanya potensi penambahan TPS. “Kemarin tidak ada masalah yang berarti. Hanya ada laporan surat suara di beberapa TPS yang kurang dan tidak sesuai dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditetapkan,” ujar Dahlia. Menurutnya, persoalan ini sudah dicari tahu penyebabnya. Akarnya adalah adanya loading surat suara di KPU kota yang mengandung potensi tidak akuratnya pendistribusian surat suara . Kedua, mengenai penyelenggaraan pemungutan dan penghitungan suara. Banyak pemilih yang belum terdaftar. Kondisi ini bisa dikarenakan dua hal yaitu mereka sudah keluar dari Jakarta dan mereka pindah ke Jakarta setelah DPT ditetapkan. “Pemilih harus terdaftar karena itu kami akan membuka pendaftaran pemilih di tingkat kelurahan dan di tempat strategis seperti lingkungan apartemen, panti, dan rumah sakit dari 22 Maret hingga 28 Maret,” terangnya. Dalam pendataan pemilih, ia mengakui KPUD mengalami kesulitan dalam mendata mereka yang tinggal di pemukiman elit dan apartemen. Petugas KPUD tidak diperbolehkan masuk dalam apartemen sehingga pendataan dari unit ke unit sulit dilakukan.
Direktur Populi Center Usep S. Ahyar menjelaskan penyelenggaraan pemilu secara prosedur yang mengalami permasalahan adalah DPT. Menurutnya partisipasi pemilih yang tercatat sekitar 75% dalam putaran pertama bisa lebih tinggi dari itu. Pasalnya, dalam survei Populi Center sendiri ketika ditanyakan kesediaan untuk memilih persentasenya di atas 90%. “Ini pekerjaan rumah bagi KPU,” jelas Usep. Ia melanjutkan, rata-rata masyarakat juga tidak melakukan pengecekan apakah dirinya sudah terdaftar sebagai DPT di KPU. Keaktifan masyarakat untuk bisa melakukan pendataan diri juga sangat diperlukan. Di sisi lain, dari sisi substansi, perang kampanye adalah hal yang paling mengerikan. Perang isu, agama, ras dan golongan adalah hal yang berbahaya. “Identitas sosial digoreng menjadi sentimen. Islam ataupun Kristen secara statistik hanya nominal, tetapi ketika digoreng di media dengan bahasa akan berubah menjadi tekanan politik di masyarakat,” paparnya.
Pengurus Pusat AIPI Prof. Dr. Ikrar Nusa Bakti menambahkan, kampanye politik yang terlalu panjang menyebabkan bangsa Indonesia terpecah dalam ideology yang membahayakan. Hal ini juga lugas diutarakan media KOMPAS dalam tajuk rencananya. Pemerintah daerah tidak bisa menjalankan pemerintahan secara peuh dalam jangka waktu lima tahun karena kurang lebih 5 bulan digunakan untuk kampanye putaran pertama dan kedua. “Mudah-mudahan UU mengenai kampanye bisa diperbaiki. Apakah perlu kampanye hingga tiga setengah bulan dan apakah perlu kampanye pada putaran kedua,” imbuh Ikrar. Di sisi lain, ia mencatat bahwa KPUD dan Bawaslu harus memiliki kejelian dalam memberikan peringatan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam masa kampanye. Jakarta saat ini masuk dalam suasana bulan penuh bahaya yang menyebabkan adanya efek psikologis warga menjadi silent majority dan menjadi takut menyuarakan suaranya.