Debat milik siapa

JAKARTA. Pemungutan suara Pilgub DKI Jakarta putaran kedua kian dekat. Debat kandidat menjadi momen penting dalam rangkaian kampanye, mengingat melalui debat diharapkan masyarakat mampu berfikir secara rasional dengan mencermati program-program yang disampaikan dalam debat tersebut. Lantas program apa yang paling tepat menjawab permasalahan ibukota dan seberapa besar debat menjadi referensi pemilih? Untuk membahas isu ini, Populi Center bekerja sama dengan KPUD DKI Jakarta mengadakan diskusi Perspektif Jakarta bertemakan “Debat Milik Siapa?” di KPUD DKI Jakarta, Selasa (11/4).

Diskusi ini mengundang Dahlia Umar (Komisioner KPUD DKI Jakarta), Sebastian Salang (FORMAPPI),  Usep S. Ahyar (Direktur Populi Center), dan dimoderatori oleh Gunawan Hartono. Dahlia Umar selaku komisioner KPUD DKI Jakarta mengatakan bahwa dalam debat putaran kedua akan terdapat perubahan dari segi substansi dan metode. Dari segi substansi, debat pada putaran kedua akan mendorong para kandidat untuk menajamkan program-program unggulan yang telah dibahas pada debat dan masa kampanye putaran pertama. Dari segi metode, debat pada putaran kedua akan menyediakan slot sesi dimana masyarakat dapat bertanya secara langsung kepada dua pasang calon.

Adapun dari segi tema, terdapat tiga pertanyaan kunci yang hendak dielaborasi dari kedua pasang calon, yakni kesenjangan sosial, penegakan hukum, dan demografi. Disamping hal tersebut, terdapat beberapa pertanyaan penting seputar kebijakan, seperti transportasi, kebijakan penataan pantai, penataan kota. Dimana pertanyaan-pertanyaan ini disusun oleh kelompok masyarakat yang akan hadir pada saat pelaksanaan debat. Secara tegas Dahlia mengatakan bahwa langkah ini ditempuh agar masyarakat memiliki rasa memiliki (sense of ownership) terhadap debat putaran kedua. Diharapkan langkah ini akan mendorong lebih banyak partisipasi publik.

Pandangan berbeda dipaparkan oleh Usep Ahyar selaku Direktur Populi Center. Debat dalam penjelasannya merupakan salah satu metode kampanye yang seharusnya mengandung pendidikan politik. Melalui debat, pemilih diajak untuk menjadi rasional untuk memilih tawaran kebijakan yang paling baik. Jika dilihat dari atensi publik, debat putaran pertama telah ditonton sebanyak 70-80%, dimana persentase serupa akan muncul dalam prediksi beliau. Lantas apakah debat akan berpengaruh terhadap pilihan Pilgub DKI 2017? Menurut Usep, performa debat akan menentukan pilihan swing voter Jakarta yang mencapai 20-25%. Data menunjukan bahwa sebanyak 14% orang memindahkan suaranya usai debat putaran pertama. Lebih lanjut Usep mengkritisi jalannya debat pada putaran pertama yang masih terlalu normatif. Dimana pada debat tersebut, tidak dibahas secara mendetail bagaimana program-program yang ditawarkan akan dilaksanakan.

Hal ini ditunjukan dari survey Populi Center dari tanggal 1-5 April 2017 yang menunjukan bahwa tingkat pengetahuan pemilih mengenai program-program di Pilgub DKI Jakarta masih dibawah 50%. Ketika ditanya apa program yang realistis untuk direalisasikan, 50% lebih melihat bahwa Kartu Jakarta Pintar (KJP) sebagai program realistis, sedangkan DP 0% sebagai program tidak realistis. Pendapat senada dipaparkan oleh Sebastian Salang dari FORMAPPI, dimana debat dilihat sebagai arena penting dalam kontestasi Pilgub. Mengingat melalui debat, publik dapat mengetahui mana program yang realistis dan mana yang tidak realistis. Oleh karenanya, bagi kandidat yang tidak dapat debat, pada dasarnya dirinya sedang merugikan dirinya sendiri. Seperti yang terjadi pada mangkirnya Anies-Sandiaga dalam debat Kompas TV. Secara tegas Sebastian Salang memaparkan bahwa debat Pilgub putaran kedua merupakan kontestasi dari kemampuan komunikasi publik serta kematangan emosional dan mental. Jangan sampai masing-masing calon membuat pernyataan blunder, seperti menyerang pribadi pasangan calon, karena hal ini akan mempengaruhi pilihan dari masing-masing calon.

Bagikan:

id_IDIndonesian