dalam Pilkada di Jawa Timur
Pendahuluan
Pada Juni 2018 mendatang Indonesia kembali akan menghelat Pilkada Serentak di 171 daerah, di antaranya sejumlah daerah di Jawa Timur (Jatim). Hasil survei yang dilakukan Populi Center menunjukkan bahwa Wakil Gubernur (Wagub) Jatim Saifullah Yusuf dan Walikota Surabaya Tri Rismaharini mendominasi peringkat pertama untuk tingkat akseptabilitas, popularitas, dan elektabilitas di kedua daerah.
Membaca persiapan Pilkada di Jatim, ditemukan bahwa modal dasar elektoral saja tidak cukup untuk memenangkan Pilkada. Calon kandidat harus memiliki modal sosial dan mengetahui karakteristik penduduk setempat. Meminjam analisis Piere Bourdieu, modal sosial adalah salah satu aspek sumber daya politik selain modal ekonomi, modal kultural, dan modal simbolik. Modal sosial adalah jaringan hubungan untuk penentuan kedudukan sosial dan biasanya dimiliki oleh tokoh masyarakat. Masyarakat akan mudah percaya terhadap arahan tokoh yang dituakan secara sukarela atas pilihan politik tokoh tersebut. Unsur-unsur yang ada dalam modal sosial di antaranya partisipasi, kepercayaan, norma sosial dan nilai-nilai, resiprositas, dan tindakan proaktif dalam lingkaran sosial.
Dalam konteks kepemiluan di Jatim, modal sosial harus dipertimbangkan oleh kandidat dalam memenangkan pemilu. Hal ini karena pengaruh kuatnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan simpul-simpul kunci NU yang masuk dalam struktur masyarakat, seperti sesepuh, pemuka agama, tokoh adat, dan juga pondok pesantren (ponpes). Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil survei Populi Center, dikombinasikan dengan observasi ke salah satu ponpes di Kabupaten Malang dan wawancara dengan dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Fajar Shodiq.
Dominasi Nahdlatul Ulama di Jawa Timur
Provinsi Jatim memiliki basis NU terbesar di Indonesia. Keanggotaan NU di Jatim yang mencapai 68,3% menunjukkan dominasi NU dibandingkan organisasi-organisasi Islam lainnya, seperti Muhammadiyah (4,8%) dan Persatuan Islam (2,7%).
Besarnya angka persentase masyarakat Jatim yang ikut NU tidak mengejutkan, mengingat Jatim merupakan tanah kelahiran organisasi tersebut. NU berdiri di Surabaya pada 31 Januari 1926, selanjutnya berkembang pesat di Jatim selama 91 tahun. Karena NU lahir di Jatim, tidak heran apabila hampir seluruh ponpes di Jatim berbasis NU. Salah satunya adalah Ponpes Annur yang didirikan oleh Kiai Anwar di Kabupaten Malang pada 1979. Saat ini sudah ada 5 cabang, yaitu Ponpes Annur 1, 2, dan 3 di Bululawang (Kabupaten Malang), Ponpes Annur 4 di Lumajang, dan Ponpes Annur 5 di Pasuruan.
Ponpes Annur 1,2, dan 3, berada di tepi jalan raya ke arah Turen. Turen sendiri adalah daerah di Kabupaten Malang yang terdapat banyak ponpes. Keberadaan Ponpes Annur ini cukup menyita perhatian, karena ada 3 ponpes Annur yang letaknya berderetan. Jika dilihat dari jalan raya, ponpes ini tampak seperti sekolah. Namun saat ditelusuri ke dalam, ponpes ini memiliki bangunan megah dan tanah yang luas.
Foto 1. Spanduk Pondok Pesantren Annur yang terpasang di beberapa titik dari Kota Malang hingga Bululawang
Penulis sempat bertemu dengan istri pemilik ponpes yaitu Ibu Nyai Haji Latifah. Saat ini Ibu Nyai, begitu sapaan beliau, memegang jabatan tertinggi di Ponpes Annur 1,2, dan 3. Ibu Nyai menggantikan almarhum suaminya Kiai Badrudin Anwar yang merupakan putera pendiri ponpes Kiai Anwar. Menurut Ibu Nyai, Ponpes Annur 1, 2, dan 3 memiliki sekitar 6.000 santri putera dan puteri. Ibu Nyai mengenang kunjungan tokoh-tokoh nasional ke ponpes, di antaranya K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan K.H. Hasyim Muzadi.
Bagi Ibu Nyai, pendidikan adalah hal yang paling penting untuk diperjuangkan. Pemerintah harus memperhatikan keselamatan bangsa dengan dimulai dari pendidikan dini. Sebagai cikal bakal moral bangsa, pendidikan dasar yang baik menjadi salah satu visi dan misi Ponpes Annur. Pendidikan santri dimulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) dengan pola belajar 5 jam per hari di sekolah, sedangkan sisanya para santri melakukan kegiatan seperti mendengarkan ceramah dan belajar agama Islam.
Kehidupan di dalam lingkungan ponpes tidak sebebas di luar, begitu pula dengan akses informasi. Padahal akses informasi begitu penting ketika Jatim akan menggelar hajat demokrasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2018 mendatang. Akses informasi dibutuhkan untuk mengenal lebih jauh rekam jejak dan kompetensi kandidat untuk menjadi calon gubernur (cagub) Jatim mendatang. Para santri di Ponpes Annur hanya mengakses informasi lewat surat kabar, tidak dapat menonton televisi.
Selain itu Ibu Nyai mengembangkan saluran informasi lain di ponpes, yaitu dengan berceramah setiap minggu di depan 2.500-an orang dan setiap hari mengisi kelas besar pada malam hari. Menurut salah satu pengurus ponpes, ketika berceramah Ibu Nyai memberikan nasihat dan amalan tertentu, tidak melulu soal agama. Saat dikonfirmasi, Ibu Nyai mengaku dirinya cukup peduli terhadap informasi seputar isu-isu politik lokal maupun nasional, apalagi menjelang Pilkada.
Dalam Pilgub Jatim sebelumnya, Ibu Nyai biasanya memberikan info sekilas sekedar pengetahuan sedikit soal calon yang akan maju berkompetisi. Porsi info yang diberikan pun sama untuk semua calon, dengan harapan anak-anak didiknya dapat memiliki pandangan untuk calon yang akan mereka pilih. Adapun Ibu Nyai beranggapan bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang agamanya kuat dan imannya kuat, karena dengan pemimpin berakhlak akan memajukan bangsa.
Berbicara mengenai perhatian pemerintah terhadap eksistensi ponpes, Ibu Nyai berkata bahwa selama ini ponpes secara keseluruhan, termasuk Ponpes Annur, tidak mendapatkan banyak sentuhan dari Gubernur Soekarwo dan Wagub Saifullah Yusuf (kerap dipanggil Gus Ipul). Padahal Ibu Nyari berharap pemerintah juga memperhatikan pendidikan pesantren, serta fasilitas, sarana dan prasarana.
Ibu Nyai tidak bergerak sendirian. Sebagai pemilik Ponpes Annur, Ibu Nyai juga bergabung dalam kumpulan kesatuan pemilik ponpes Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI). Dalam laman resmi RMI Kabupaten Malang, disebutkan bahwa RMI adalah wadah yang sangat penting bagi keberadaan serta perkembangan ponpes, seperti tertuang dalam misi RMI yaitu: (1) Meningkatkan kualitas peran pesantren sebagai pusat kaderisasi ulama yang intelektual; (2) Menjadikan pesantren sebagai pusat pembentukan karakter bangsa yang berbudi luhur; (3) Menjadikan pesantren sebagai pusat pengembangan ekonomi kerakyatan; dan (4) Meningkatkan kualitas tata kelola pesantren sebagai lembaga yang maju dan dinamis.
Hanya saja Ibu Nyai menyayangkan bahwa kiprah RMI saat ini tidak maksimal dibandingkan masa-masa sebelumnya. Saat ini generasi kedua atau ketiga pemilik ponpes yang lebih muda mendominasi RMI. Menurut anggapan Ibu Nyai, generasi sebelumnya lebih aktif dalam menggerakan fungsi RMI dibanding generasi yang sekarang.
Pengaruh Pemilik Pesantren di Mata Santri
Bertamu ke Ponpes Annur, penulis mendapat kesan bahwa pemilik ponpes sangat disegani oleh para anak didiknya. Temuan ini tidak mengejutkan karena latar belakang organisasi keagamaan Pesanten Annur adalah NU. Temuan survei Populi Center menunjukkan bahwa sebanyak 71,5% masyarakat Jatim mengaku paling menghormati NU, sisanya di antaranya Majelis Ulama Indonesia (8,1%) dan Muhammadiyah (4,9%).
Grafik 1: Organisasi Agama Islam yang paling dihormati di Jawa Timur
Tidak mengherankan bahwa para santri sangat patuh terhadap Ibu Nyai. Penulis masuk ke dalam lingkungan Ponpes Annur, bertemu dengan salah seorang staf pengurus Ponpes. Staf tersebut tidak memberikan informasi secara gambling kepada penulis. Saat penulis mengatakan ingin bertemu dengan Ibu Nyai, staff tersebut mengarahkan penulis ke kediaman Ibu Nyai yang letaknya di belakang gedung utama, di mana Ibu Nyai rutin memberikan ceramah setiap seminggu sekali di depan 2.500-an orang santrinya.
Foto 3: Suasana sore hari di Pondok Pesantren Annur khusus perempuan
Setelah tiba di tempat Ibu Nyai, ternyata staff tersebut tidak berani untuk memanggil Ibu Nyai yang ada di dalam. Penulis pun diminta untuk menunggu sampai Ibu Nyai keluar menghampiri penulis. Dari perawakannya, Ibu Nyai bukanlah sosok yang menyeramkan. Ibu Nyai sangat ramah dan terbuka, namun tetap memiliki wibawa yang besar.
Tidak lama kemudian, ada seorang santri datang bersama ibunya dan saudara sang ibu. Saat murid tersebut masuk ke dalam ruangan, dia berjalan dengan lututnya. Sang santri sama sekali tidak menatap wajah Ibu Nyai. Sikap santri tersebut memberi simbol bahwa dia sangat menghormati Ibu Nyai, seperti budaya Jawa bahwa seseorang tidak boleh menatap mata lawan bicaranya yang berusia lebih tua. Begitu pula dengan kedua ibu yang mendampingi santri tersebut. Dua orang ibu itu tidak banyak berbicara, cenderung menunggu Ibu Nyai untuk bertanya dan mereka menjawab pertanyaan Ibu Nyai.
Urgensi Pesantren sebagai Modal Sosial Pemilu di Jawa Timur
Dari cara bertamu murid dan para ibu ke Ibu Nyai, bisa disimpulkan bahwa Ibu Nyai adalah orang yang sangat berkuasa di lingkungan Ponpes Annur. Nasihat dan amanah-amanah yang diberikan Ibu Nyai bisa dipastikan diikuti oleh santri dan orang tua santri. Penulis melihat bahwa ada ekspresi feodal di dalam lingkungan ponpes yang masih terpelihara. Kecenderungan sikap pragmatisme di Jawa Timur juga relatif tinggi sebagai akibat dari ekspresi feodal yang masih terpelihara. Tidak heran, jika pola kampanye di Jatim adalah mendatangi pondok-pondok pesantren dan meng-endorse pemilik atau orang yang disegani di ponpes supaya kandidat dapat merebut suara pemilih dari ponpes tersebut.
Tidak heran jika jelang pemilu atau pilkada, banyak kandidat yang berkunjung ke ponpes-ponpes besar di Jatim. Di antaranya Ponpes Tebu Ireng (Jombang), Ponpes Darussalam Gontor (Ponorogo), Ponpes Langitan (Tuban), dan Ponpes Lirboyo (Kediri). Kandidat tersebut mulai dari calon presiden (capres), calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub), hingga calon Bupati (cabup) dan calon walikota (cawalkot).
Meskipun penulis menganggap santri-santri di ponpes cenderung pragmatis, namun Fajar Shodiq, dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya, tidak membenarkan semuanya. Fajar berargumen bahwa santri-santri, khususnya di Surabaya dan Malang yang memiliki kultur arek, sudah lebih kritis dibanding santri yang memiliki budaya Pendalungan yang mayoritas tinggal di daerah Tapal Kuda, Jawa Timur. Mengutip Kompas (2016), Pendalungan merupakan perpaduan tiga budaya besar yang berpengaruh di Jember, yakni Jawa, Madura, dan Osing (Banyuwangi), serta tambahan budaya Arab dan Tiongkok.
Menurut Fajar, ada banyak ekspresi kritis dari para santri karena kyai makin lama terlihat kencenderungan politiknya. “Biasanya mengekspresikan dukungan tidak vulgar, tapi beberapa kyai menggunakan cara menulis surat untuk mendukung salah satu cagub,” kata Fajar. Cara seperti ini tidak menarik bagi santri dan orang tua santri meski kyai masih menjadi salah satu instrumen untuk memobilisasi suara.
Pola dukungan pun sekarang juga tidak cenderung ke satu pasangan saja. Misalnya, seorang kyai memiliki beberapa ponpes sekaligus. Sebagian ponpes diarahkan untuk mendukung kandidat A, sedangkan beberapa lainnya diarahkan untuk mendukung kandidat B. Pemilik ponpes mengharapkan setidaknya ada timbal balik secara material, seperti mendapatkan anggaran untuk pembangunan.
Melihat fakta bahwa Pilkada 2018 di Jatim tinggal setahun lagi, maka menarik untuk membahas peluang kandidat yang akan bertarung dalam kontestasi Pilgub Jatim. Dari hasil survei Populi Center, Wakil Gubernur petahana Saifullah Yusuf dan Wali Kota petahana Tri Rismaharini memiliki modal dasar elektoral yang bagus. Menurut Fajar, tingginya modal dasar electoral tidak menjamin kemenangan di Pilgub Jatim 2018. Fajar mengungkapkan justru yang terpenting dimiliki di Jatim adalah modal sosial yang baik. Modal sosial yang dimaksud seperti relasi yang baik dengan partai politik (parpol), meskipun belum tentu kader parpol, serta memiliki kedekatan dan menguasai simpul-simpul di masyarakat, kyai dan ponpes.
Di antara kandidat yang namanya santer disebut-sebut akan maju bertarung di Pilgub Jatim 2018, Fajar melihat bahwa Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Khofifah Indar Parawansa memiliki modal sosial yang bagus, karena sama-sama kader NU. Beberapa nama lain yang patut diperhatikan adalah Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi) dan Eddy Rumpoko (Wali Kota Batu). Anas adalah kader NU dan juga ramah media (media darling), sedangkan Eddy memiliki kedekatan yang baik dengan parpol.
Pendekatan kepada masyarakat pun beragam. Malang dan Surabaya merupakan dua kota besar yang penduduknya cenderung kritis karena mereka relatif terdidik. Oleh karena itu pendekatan kepada masyarakat di kedua kota tersebut harus lebih rasional dibandingkan dengan pendekatan di wilayah Tapal Kuda. Contohnya, Risma melakukan pendekatan ke masyarakat dengan blusukan dan melakukan gebrakan gebrakan kinerja baik. Hasil kerjanya pun terlihat dan terbukti Risma terpilih kembali menjadi Wali Kota Surabaya periode 2016-2021.
Pendekatan kepada masyarakat Pendalungan lebih mudah dibandingkan dengan pendekatan kepada masyarakat Surabaya dan Malang. Di wilayah Pendalungan, pendekatan memang perlu dilakukan dengan gebrakan-gebrakan kinerja. Meskipun demikian, tidak perlu seintensif seperti di Surabaya, karena di beberapa wilayah masyarakat masih melihat patron pemegang kekuasaan. Hal ini menyebabkan beberapa kepala daerah di wilayah Jatim seperti Probolinggo, Batu, Bangkalan, dan Kediri masih menerapkan politik dinasti untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Penutup
Pemuka agama Islam yang memiliki latar belakang NU sangat berperan di tengah masyarakat Jatim, mengingat Jatim merupakan basis terbesar NU di Indonesia. Peran kyai atau pemilik pondok pesantren sangat berpengaruh dalam menentukan arah dukungan suara pemilih, khususnya di lingkungan ponpes. Kesan feodal yang terlihat oleh penulis dari lingkungan ponpes dapat diartikan sebagai kekuatan para petinggi ponpes untuk mempengaruhi bahkan menggerakan suara dari kalangan santri ponpes. Oleh karena itu, ponpes bisa dianalogikan sebagai suatu simpul-simpul yang harus dijalin oleh calon kepala daerah untuk meraih suara masyarakat khususnya dari kalangan NU.