Pada bulan Mei 2017 yang lalu, Dimas Ramadhan memimpin tim survei Populi Center yang bertugas di wilayah provinsi Kalimantan Barat. Sambil menjadi seorang supervisor, ia juga memanfaatkan waktunya selama di lapangan untuk melakukan observasi atas dinamik politik yang berlangsug di era otonomi daerah saat ini. Berikut ini adalah laporan hasil observasinya.
Pendahuluan
Tulisan ini merupakan laporan perjalanan dalam survei di Kalimantan Barat (Kalbar) pada 3-8 Mei 2017. Di sela-sela kesibukan memantau 80 Tenaga Pengumpul Data (TPD) survei selama lima hari, penulis berupaya menggali isu-isu lokal yang sekiranya menarik atau luput dari pertanyaan dalam kuesioner. Beberapa pertanyaan kunci seputar dinamika sosial politik Kalbar dibuat bersama Direktur Eksekutif Populi Center Hikmat Budiman dan menjadi acuan bagi penulis dalam melakukan observasi. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan Dr. Ema Rahmaniah (Ketua Program Studi Magister Sosiologi Universitas Tanjung Pura Pontianak), serta obrolan ringan dengan Dr. Hermansyah (pakar hukum Universitas Tanjunpura). Selain itu penulis juga mewawancarai narasumber dari generasi yang lebih muda, yaitu Bambang Hermansyah, pemuda asli Sambas yang kini menjadi staf Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Oesman Sapta Odang. Yang bersangkutan juga rekan penulis semasa menempuh pendidikan magister di Universitas Indonesia beberapa tahun silam. Mengingat ketiga narasumber beretnis Melayu, idealnya penulis juga mewawancarai narasumber yang berlatar belakang etnis Dayak, agar mendapatkan gambaran yang lebih berimbang. Namun keterbatasan waktu membuat penulis absen dalam menghadirkan perspektif alternatif.
Karena sempitnya waktu dan luasnya lingkup survei lapangan, maka penulis memutuskan untuk menjadikan Provinsi Kalbar secara umum sebagai objek kajian dalam tulisan ini. Topik yang penulis pilih adalah relasi etnis di Kalbar, baik dalam konteks sosial historis maupun politik kontemporer. Topik ini dipilih karena dua alasan utama. Pertama, Kalbar merupakan salah satu provinsi yang punya sejarah cukup panjang dengan konflik antaretnis. Kedua, berkenaan dengan kejadian baru-baru ini pada Jumat 5 Mei 2017 yaitu penghadangan terhadap Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Ustadz Sobri dan Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) Ustadz Bachtiar Nasir di Bandara Supadio Kabupaten Kubu Raya.
Penghadangan tersebut tidak lepas dari tuntutan orang-orang Dayak, yang didasarkan pada pidato gubernur Kalbar saat ini Cornelis beberapa minggu sebelumnya. Sebagai gubernur Kalbar dan Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), dia dengan gamblang menyatakan menolak rencana kedatangan ulama FPI yang akan menghadiri acara di Kabupaten Mempawah. Dia juga mengancam akan mengerahkan 10.000 orang Dayak untuk mencegah kedatangan pimpinan FPI. Oleh pihak kepolisian Kalbar, rombongan FPI dan GNPF-MUI kemudian diarahkan untuk langsung kembali ke Jakarta malam itu juga, dengan alasan keamanan. Keesokan harinya Persatuan Orang Melayu mengadakan aksi besar-besaran di Kota Pontianak sebagai bentuk protes atas pernyataan gubernur Kalbar yang membuat batalnya kedatangan ulama mereka.
Dari dua topik tersebut, penulis sampai pada dua buah pertanyaan. Bagaimana sebenarnya relasi kekuasaan antara etnis Melayu dan Dayak di Kalbar? Bagaimana memaknai peristiwa penghadangan ulama FPI dan GNPF-MUI? Pertanyaan tersebut menjadi relevan mengingat saat ini politik identitas sedang menguat, terutama pasca-Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibukota (Pilgub DKI) Jakarta. Sebagai barometer politik nasional, banyak pihak mulai khawatir bahwa penggunaan sentimen identitas terutama agama, dalam ranah politik akan direplikasi di daerah lain yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 2018 mendatang, termasuk Provinsi Kalbar.
Profil Kalimantan Barat
Kalbar merupakan provinsi di pulau Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia Timur. Ibu Kota provinsi Kalbar adalah Kota Pontianak, dikenal dengan julukan Kota Khatulistiwa karena tepat di kota inilah garis lintang nol derajat lintasan matahari. Setiap tanggal 21-23 Maret (pukul 12:50 WIB) dan 23-25 September (12:36 WIB), matahari akan berada pada titik tertingginya, tepat di Tugu Khatulistiwa. Tugu tersebut dibangun pada 1938 oleh seorang arsitek bernama Frederich Silaban, yang juga tersohor dengan karya monumental lainnya seperti Museum Nasional dan Mesjid Istiqlal. Jika kita berdiri tepat di tugu tersebut pada waktu-waktu di atas, terjadilah fenomena ‘menghilangnya bayang-bayang’.
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), Kalbar pernah menyandang status Daerah Istimewa yang otonom atau tidak tergabung dalam negara-negara federasi hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, dengan Sultan Hamid II sebagai presidennya. Setahun setelahnya, ketika Mosi Integral disetujui oleh parlemen RIS, negara-negara federal sepakat untuk membubarkan diri dan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada 1 Januari 1957 barulah Kalbar disahkan menjadi provinsi, bersamaan dengan Kalimantan Selatan (Kalsel) dan Kalimantan Timur (Kaltim). Adji Pangeran Afloes dan Djenal Asikin Judadibrata ditunjuk sebagai penjabat sementara (Pjs) gubernur Kalbar pada 1957 hingga 1959. Hingga 2017, Provinsi Kalbar telah dipimpin oleh 11 orang gubernur.
Tabel 1. Daftar Gubernur Kalimantan Barat
No | Nama | Periode | Latar Belakang |
1 | Farel Pasaribu | 1953-1957 | |
2 | Adji Pangeran Afloes | 1957-1958 | Birokrat, Jaksa |
3 | Djenal Asikin Judadibrata | 1958-1959 | ABRI |
4 | J.C Oevaang Oeray | 1960-1966 | Partai Persatuan Dayak |
5 | Soemardi Bc.H.K | 1967-1972 | ABRI |
6 | Kol. Kadarusno | 1972-1977 | ABRI |
7 | H. Soedjiman | 1977-1982 dan 1982-1987 | ABRI |
8 | Parjoko Suryokusumo | 1987-1993 | ABRI |
9 | H. Aspar Aswin | 1993-1998 dan 1998-2003 | ABRI/TNI |
10 | H. Usman Ja’far | 2003-2008 | PPP |
11 | Drs. Cornelis | 2008-2013 dan 2013-2017 | PDIP |
Dengan luas daerah 146.807 km2, Kalbar masuk dalam provinsi terbesar ketiga setelah Papua dan Kalimantan Tengah (Kalteng). Pada 2015 jumlah penduduk Kalbar sekitar 4,8 juta jiwa. Kota Pontianak menjadi kota terpadat (5.637 orang per km2) sekaligus terbanyak jumlah penduduknya (607.618 jiwa). Saat ini terdapat 14 kabupaten/kota yang menjadi bagian wilayah Kalbar.
Tabel 2 Daftar Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat
No | Kota / Kabupaten | Pusat Pemerintahan |
1 | Kab Bengkayang | Bengkayang |
2 | Kab. Kapuas Hulu | Putussibau |
3 | Kab. Kayong Utara | Sukadana |
4 | Kab. Ketapang | Tumbang Titi |
5 | Kab. Kubu Raya | Kubu |
6 | Kab. Landak | Ngabang |
7 | Kab Melawi | Naga Pinoh |
8 | Kab. Mempawah (dulu Pontianak) | Sungai Pinyuh |
9 | Kab. Sambas | Pemangkat |
10 | Kab. Sekadau | Sekadau |
11 | Kab. Sanggau | Sanggau |
12 | Kab Sintang | Kota Tebelian |
13 | Kota Pontianak | Pontianak Timur |
14 | Kota Singkawang | Singkawang |
Kalbar memiliki potensi pertanian dan perkebunan yang cukup melimpah. Hasil pertanian Kalbar di antaranya adalah padi, jagung, dan kedelai, sedangkan hasil perkebunan di antaranya adalah karet, kelapa sawit, kelapa, dan lidah buaya. Lahan kebun kelapa sawit hingga Oktober 2012 mencapai 1.060.000 ha. Selain di kedua sektor, Kalbar juga kaya barang tambang. Wilayah Kalbar dikenal dengan jalur metalogen, yang berarti paling banyak memiliki kandungan mineral logam, misalnya besi, perak, tembaga, emas, antimoni, Mo, dan timbal. Kalbar juga mempunyai sumber daya mineral unggulan seperti bauksit di Kabupaten Mempawah, Bengkayang, Sanggau, Landak, Ketapang, Sekadau, Kubu Raya, dan Kayong Utara.
Tinjauan Pustaka: Relasi Antar–Etnis di Kalimantan Barat
Secara umum, Kalimantan adalah tempat keberadaan etnis Dayak. Menurut Putra (2014), saat ini cukup sulit mengidentifikasi siapa orang Dayak dan bukan Dayak, meskipun beberapa ahli telah mencoba mendefinisikannya, seperti Ukur (1971), Lontaan (1975), Coomans (1987) serta Djuweng dan Krenak (1993). Meskipun demikian terdapat satu kesimpulan umum bahwa Dayak adalah etnis pribumi yang mendiami Pulau Borneo yang belum mendapatkan sentuhan agama asing atau pun pengaruh luar dirinya. Dilihat dari kategori ras, etnis Dayak termasuk dalam keturunan tiga ras primat, yaitu Austroloid, Austronesia, Melanesia, serta sejumlah kecil Mongoloid. Berdasarkan kesamaan adat istiadat, ajaran kepercayaan, bahasa, ciri-ciri fisik, ritual upacara, dan tempat tinggal, saat ini paling tidak terdapat sekitar tiga juta orang Dayak yang mendiami tiga negara di pulau Borneo, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Seiring dengan berdirinya kerajaan atau kesultanan Islam, maka terdapat anggapan umum bahwa orang Dayak yang memeluk agama Islam tidak lagi disebut sebagai orang Dayak, melainkan orang Melayu. Orang Dayak yang masuk Islam diwajibkan meninggalkan segala ajaran nenek moyang dan mengadopsi kebudayaan Melayu. Bagi orang Melayu, Islam bukan saja agama tapi juga sebagai kebudayaan dan pedoman hidup. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya kerajaan atau kesultanan Melayu yang telah memantapkan ajaran Islam sebagai bagian dari budaya Melayu. Beberapa kerajaan atau kesultanan Islam Melayu yang cukup besar yaitu Tanjungpura, Mempawah, dan Sambas. Pada umumnya orang Melayu menempati kota-kota yang terletak di pesisir pantai dan tepian sungai-sungai besar seperti Sungai Landak, Sungai Kapuas, dan Sungai Sambas.
Karena keterbatasan penulis, untuk sementara anggapan tersebut berlaku di Kalbar saja, belum tentu di provinsi-provinsi Kalimantan lainnya. Namun dalam konteks Indonesia, anggapan seperti ini juga terdapat di daerah lain seperti Sumatera Barat (Sumbar). Di sana orang Minangkabau pasti beragama Islam, dan jika bukan Islam pasti bukan orang asli Minangkabau (Budiman, 2012). Orang Dayak yang memeluk agama samawi selain Islam, dalam hal ini Katolik atau Protestan, tetap disebut sebagai orang Dayak. Mereka masih tetap mempertahankan berbagai unsur kebudayaan atau kepercayaan asli. Orang Dayak diketahui banyak menempati daerah-daerah pedalaman gunung atau hutan.
Dalam konteks Kalbar saat ini, Dayak dan Melayu adalah dua etnis dominan dengan agama sebagai garis pemisah. La Ode (2012) bahkan menyebut Dayak dan Melayu sebagai etnis pribumi di Kalbar. Etnis lain yang cukup banyak mendiami Kalbar adalah etnis Cina. Kedatangan terbesar etnis Cina di Kalbar terjadi pada abad ke-17, di mana mereka didatangkan oleh Kerajaan Sambas untuk dijadikan pekerja tambang emas di Bodok (sekarang masuk Kabupaten Sanggau) dan Monterado (Kabupaten Bengkayang). Etnis Jawa masuk ke Kalbar melalui program transmigrasi pemerintah Orde Baru (Orba) pada kurun 1967-1986. Terdapat pula etnis Madura, yang diperkirakan mulai datang ke Kalbar pada 1902, dengan tujuan antara lain Sukadana (sekarang masuk Kabupaten Ketapang), Pontianak, dan Sambas. Tiga tempat ini merupakan daerah yang dapat langsung dijangkau menggunakan perahu tradisional dari Pulau Madura. Selain itu ada pula etnis Bugis yang banyak berada di daerah pesisir sejak abad ke-18.
Tabel 3. Etnis di Kalimantan Barat
No. | Etnis | Jumlah | Prosentase |
1 | Melayu | 1.259.890 | 33,75% |
2 | Dayak | 1.259.802 | 33,75% |
3 | Tionghoa/Cina | 373.690 | 10,01% |
4 | Jawa | 351.152 | 9,41% |
5 | Madura | 205.550 | 5,51% |
6 | Bugis | 123.000 | 3,20% |
7 | Sunda | 45.090 | 1,21% |
8 | Banjar | 24.756 | 0,66% |
9 | Batak | 20.824 | 0,56% |
10 | Lainnya | 69.194 | 1,85% |
Total | 3.732.950 | 100,00% |
Sumber: BPS 2003 (diolah)
Beragamnya etnis menjadi salah satu hal yang membuat Kalbar rentan terhadap konflik. Terdapat beberapa kajian tentang konflik etnis di Kalbar, di antaranya jumlah konflik dalam rentang waktu tertentu (Arkanudin, 2006). Arafat (1998) menyebut setidaknya 10 kali terjadi konflik etnis yang disertai kekerasan sejak 1933 hingga 1997. Sedangkan Alqadrie (1999) menyebut terjadi konflik antar etnis sebanyak 11 kali dari 1962 hingga 1999. Di sisi lain Petebang (2000) mencatat sejak 1952 hingga 1999 telah terjadi 12 konflik. Meskipun masing-masing menggunakan definisi sendiri mengenai batasan konflik, namun temuan mereka menunjukkan bahwa konflik terjadi secara berulang. Dalam kurun 50 sampai 60 tahun, telah terjadi 10 sampai 12 kali konflik, atau dengan kata lain, dalam waktu 4 sampai 5 tahun terjadi satu kali konflik. Kristianus (2011) mencatat sebanyak 17 kasus konflik etnis di Kalbar sejak 1966 hingga 2008 (Tabel 4).
Tabel 4.Waktu, Lokasi dan Etnis Yang Pernah Berkonflik Di Kalimantan Barat
No. | Waktu | Lokasi | Keterangan |
1. | 1966-67 | Kabupaten Sambas,Pontianak, Sanggau, Sintang, Ketapang | Konflik etnik Dayak dengan Cina. Seluruh etnik Cina diusir dari kampung-kampung pedalaman Kalimantan Barat. Konflik ini didukung oleh Militer yang dikaitkan dengan penumpasan PKI dan PGRS-Paraku. Pada masa ini terjadi penggulingan Gubernur Oevang Oerai dan 4 orang Bupati dari etnik Dayak |
2. | 1968 | Anjungan, Kabupaten Pontianak | Konflik enik Dayak dengan Madura, Konflik dipicu oleh pembunuhan terhadap Sani (Camat Sungai Pinyuh yang orang Dayak Kanayatn) oleh Sukri warga Madura. Pembunuhan ini dilatarbelakangi oleh penolakan Camat tersebut untuk melayani pengurusan surat keterangan tanah pada hari minggu karena Camat itu ingin ke Gereja. Pada masa ini suasana politik tidak menentu. |
3. | 1976 | Di Sungai pinyuh, Kabupaten Pontianak | Konflik etnik Dayak dengan Madura, Konflik dipacu oleh terbunuhnya seorang Dayak Kanayatn, yaitu Cangkeh asal Liongkong/Sukaramai yang dilakukan oleh seorang warga Madura yang mengambil rumput di tanah milik korban. Peristiwa ini terjadi sebelum Pemilu tahun 1977 |
4. | 1977 | Di Singkawang, kabupaten Sambas | Konflik ini, Dipicu oleh terbunuhnya seorang Dayak Kanayatn anggota Polri bernama Robert Lanceng oleh seorang warga Madura. Sebelum kejadian, korban menegur adik perempuannya agar jangan pergi keluar rumah malam hari bersama pemuda Madura tersebut. Peristiwa ini pada tahun yang sama dengan PEMILU dan sebelum pemilihan Gubernur |
5. | 1979 | Kabupaten Sambas | Konflik dipicu oleh pertengkaran masalah hutang yang menyebabkan Sakep (seorang Dayak Kanayatn) diserang oleh tiga orang Madura. Dua Dayak Kanayant lainnya hampir terbunuh. Konflik ini merupakan dampak dari kekecewaan dari etnik Dayak karena hanya sedikit etnik Dayak yang duduk di lembaga legislative dan eksekutive. |
6. | 1982 | Pak Kucing, Kabupaten Sambas | Konflik dipicu oleh pembunuhan terhadap Sidik seorang warga Dayak Kanayatn oleh Aswandi seorang warga Madura karena korban menegur Aswandi yang mengambil rumput disawah miliknya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Pada tahun ini juga dilaksanakan PEMILU. |
7. | 1983 | Sungai Enau, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak | Konflik dipicu oleh Dul Arif seorang warga Madura yang melakukan pembunuhan atas seorang warga Dayak Kanayatn yang bernama Djaelani karena masalah tanah. Peristiwa terjadi setelah PEMILU dan menjelang pemilihan Gubenur |
8. | 1992 | Pak Kucing, Kabupaten Sambas | Konflik dipicu oleh pemerkosaan terhadap anak Sidik (yang terbunuh ada tahun 1982) yang dilakukan oleh seorang warga Madura. Peristiwa terjadi pada masa yang sama dengan PEMILU. |
9. | 1993 | Kotamadya Pontianak | Konflik massal dipicu oleh perkelahian antar pemuda Dayak dengan pemuda Madura yang mengakibatkan perusakan dan pembakaran terhadap Gereja Paroki Maria Ratu Pencinta Damai dan Persekolahan Kristen Abdi Agape. Peristiwa ini terjadi setelah PEMILU dan menjelang Pemilihan Gubernur. |
10. | 1994 | Tubang Titi, Kabupaten Ketapang | Konflik dipicu oleh penusukan seorang Dayak oleh seorang Madura yang sedang bekerja diproyek pembangunan jalan. Pada masa ini dilaksanakan pemilihan Bupati Sintang. Calon Dayak dikalahkan etnik Melayu karena ada pengkianatan. |
11 | 28 Des 1996 | Sanggau Ledo, Kabupaten Sambas | Konflik dipicu oleh tertusuknya Yakundus dan Akim, dua pemuda Dayak Kanayatn di Sanggau Ledo oleh pemuda Madura, yaitu Bakri dan empat temannya. Konflik ini terjadi menjelang Pemilu. |
12. | 15 Jan–28 Feb 1997 | Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sanggau Kapuas, dan Kotamadya Pontianak | Konflik Dayak-Madura di daerah kabupaten Sambas mulai mereda, tetapi kemudian meledak lagi setelah terjadi penyerangan terhadap kompleks persekolahan SLTP-SMU Asisi di Siantan. Dalam peristiwa ini dua perempuan Dayak Jangkang (Sanggau Kapuas) dan Dayak Menyuke (Landak) luka-luka. Kemudian, terbunuhnya seorang warga Dayak Kanayatn asal Tebas-Sambas, yakni Nyangkot oleh sekelompok warga Madura di Peniraman. Pada tahun ini dilaksanakan PEMILU, Pemilihan Bupati Sanggau dan pemilihan Gubernur. Selain itu keadaan politik Nasional di Jakarta juga sedang memanas. |
13 | 17 Jan 1999 | Kab Sambas | Dikenal sebagai kasus parit Setia, kerusuhan antara Melayu dan Madura. Peristiwa ini terjadi pada tahun diadakannya Pemilu 1999. |
14 | Maret 1999 | Kabupaten Sambas, dan Kotamadya Pontianak | Berbarengan dengan konflik Melayu Sambas-Madura, terjadi pembunuhan terhadap Martinus Amat warga Dayak Kanayatn Samalantan sehingga mengundang simpati warga (Dayak Kanayatn) di Samalantan dan Sanggau Ledo untuk membalas. Pada masa ini juga berlangsung pemilihan Bupati Pontianak yang rusuh karena gedung DPRD Mempawah dibakar massa. Di Bengkayang juga terjadi kekacauan pada pemlihan Bupati Bengkayang. Yang menarik bahwa Pada masa ini juga bersamaan dengan pemilihan anggota MPR yang akan mewakili etnik di Kalimantan Barat. |
15 | Maret 2003 | Sei Duri | Melayu sambas marah karena pemukiman mereka di Sei Duri dimasukan ke dalam wilayah kabupaten Bengkayang yang dipimpin Dayak Selako. Pada tahun ini juga dilaksanakan pemilihan Gubenur Kalimantan Barat dan Pemilu.. |
16 | 2007 | Kota Pontianak | Melayu rusuh dengan Cina , kasusnya dipicu oleh tergores mobil seorang etnik Melayu. Paristiwa ini terjadi setelah Pemilihan Gubernur , calon dari Melayu Kalah. Selain itu pada Pemilihan Wali kotaSingkawang, etnik Cina yang menang sedangkan calon dari Melayu kalah. |
17 | 2008 | Kota Singkawang (Sambas) | Melayu rusuh dengan Cina di Singkawang, dipicu pembangunan patung Naga. Pada masa ini juga berlangsung Pemilu 2009. |
Sumber: Kristianus (2011)
Jika diperhatikan lebih rinci etnis, yang paling sering terlibat konflik adalah antara etnis Dayak dan Melayu dengan Madura, atau Dayak dan Melayu dengan Cina. Sementara antara Melayu dengan Dayak hampir tidak pernah terlibat konflik kekerasan satu sama lain. Pada saat terjadi konflik besar antaretnis pada 1996-1997 di Sambas, orang Madura berupaya merapat dan mengajak orang Melayu sebagai sesama penganut Islam agar berada di pihak mereka dengan mengaktifkan isu perang agama terhadap orang Dayak. Namun tokoh Melayu tidak pernah melihat konflik tersebut sebagai isu agama, melainkan perlawanan orang Dayak terhadap orang Madura yang seringkali sewenang-wenang. Menurut Suparlan (2009), etnis pendatang mampu menyesuaikan diri dengan adat dan pranata sosial politik yang ada di Kalbar, sehingga kalaupun terjadi gesekan dengan orang Melayu atau orang Dayak lebih dilihat sebagai konflik perorangan. Orang Bugis misalnya, yang biasa membawa badik ke tempat umum dan menggunakannya apabila harga dirinya terusik, menanggalkan kebiasaannya. Mereka bahkan menjadi seperti orang Melayu dalam menyelesaikan perkara dan meminta maaf lebih dulu jika perlu.
Ini sebabnya banyak yang menyebutkan bahwa konflik etnis yang terjadi di Kalbar merupakan konflik antara “etnis pribumi” dan “etnis pendatang”. Bagi penulis, hubungan antara orang Melayu dan orang Dayak terhitung unik meskipun keduanya memiliki adat, prinsip hidup, dan agama yang berbeda. Orang Dayak dan orang Melayu cenderung bisa berjalan beriringan satu sama lain ketimbang dengan etnis pendatang lainnya. Dari wawancara penulis dengan narasumber Bambang Hermansyah, antara orang Melayu dan orang Dayak tak ubahnya seperti saudara. Orang Melayu menganggap orang Dayak sebagai “saudara tua”, karenanya orang Melayu sering menggunakan sebutan “abang” kepada orang Dayak. Sebaliknya, orang Dayak menganggap orang Melayu sebagai “saudara muda” mereka. Hubungan baik dalam kehidupan sehari-hari antara orang Melayu dan orang Dayak terjadi karena keduanya menyadari eksistensi dan dominasi kebudayaan etnis di wilayah masing-masing dan saling menghormatinya (Suparlan, 2009). Oleh sebab itu hubungan di antara keduanya relatif harmonis dan bercorak simbiotik atau saling membutuhkan.
Menguatnya Politik Identitas Dayak
Jika selama ini hubungan antara orang Dayak dan Melayu berjalan harmonis, lantas bagaimana kita memaknai ketegangan yang terjadi sehubungan dengan penghadangan ulama FPI dan GNPF-MUI yang berbuntut demo besar-besaran oleh Persatuan Orang Melayu? Ketua Program Studi Magister Sosiologi Universitas Tanjung Pura Ema Rahmaniah menilai penolakan terhadap FPI bukan didasarkan pada ketidaksukaan terhadap agama Islam yang banyak dipeluk orang Melayu, melainkan potensi ajaran intoleransi yang mungkin dibawa oleh ulama tersebut. Dengan kata lain, yang ditolak adalah ulama dan organisasinya, bukan agama Islam dan kegiatan dakwahnya. Oleh karena itu, meskipun isu agama menjadi wacana dominan dalam kasus penghadangan tersebut, Ema menolak menyebutnya sebagai konflik agama. “Lebih tepat disebut sebagai radikalisasi orang Dayak,” kata Ema.
Narasumber lain, Bambang Hermansyah, tidak memungkiri bahwa saat ini orang Dayak memang sedang mendominasi orang Melayu. Menurut Bambang, penguatan politik identitas Dayak tidak terlepas dari peminggiran politik yang selama ini dialami terutama pada masa Orba. Panggung politik lokal Kalbar saat itu hampir-hampir tidak mengakomodasi perwakilan orang Dayak, baik dalam jajaran birokrasi, eksekutif maupun legislatif. Bahkan tidak jarang elit politik dari kalangan etnis Dayak yang berasal dari Partai Persatuan Dayak (PPD) dicap sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI). Di sisi lain, elite politik Melayu mendapat keuntungan baik secara politik maupun pembangunan daerah dan pengembangan kualitas manusia. Namun Bambang menolak menyebut orang Melayu sebagai penyebab ketertinggalan orang Dayak, tetapi lebih disebabkan pada faktor tempat tinggal dan akses terhadap kekuasaan. Orang Melayu yang banyak tinggal di pesisir pantai lebih mudah mendapatkan akses terhadap lembaga pendidikan, fasilitas kesehatan, dan pengurusan administrasi pemerintahan, dibandingkan orang Dayak di pedalaman.
Dalam hal politik lokal, orang Melayu juga diuntungkan dengan kesamaan agama dan kemiripan budaya dengan mayoritas pemegang kekuasaan di tingkat pusat, sehingga elite Melayu lebih dominan di Kalbar. Kecilnya peluang elite Dayak dalam politik lokal di Kalbar juga ditunjang oleh sistem politik Orba yang militeristik, yang cenderung tidak memberikan kepercayaan lebih kepada elite sipil lokal dalam memimpin daerahnya. Dalam periode tersebut, hanya satu orang Dayak yang pernah menjadi gubernur, yaitu J.C Oevaang Oeray pada 1960-1966. Dari sembilan orang yang pernah menjabat sebagai gubernur Kalbar hingga masa reformasi, mayoritas berlatar belakang ABRI yang didominasi orang Jawa, sementara sisanya birokrat dan bangsawan lokal Melayu. Berdasarkan penelitian Tanasaldy (2007), pada 1968 lima dari tujuh bupati dan walikota di Kalbar berlatar belakang perwira militer.
Beberapa tahun menjelang berakhirnya rezim Orba, elite Dayak mulai berani unjuk gigi dengan tampil lebih agresif dalam dalam ruang publik, termasuk dalam percaturan politik local di tingkat kabupaten/kota. Kebangkitan ini tidak bisa dilepaskan dari suksesnya penyelenggaraan seminar nasional tentang etnis Dayak pada 1993. Pada pemilihan bupati (Pilbup) Sintang 1994, Golongan Karya (Golkar) sebagai penyokong kepentingan politik pemerintah pusat, mencalonkan L.H. Kadir, seorang birokrat Dayak, meskipun akhirnya kandas. Baru pada Pilbup Kapuas Hulu 1995, untuk pertama kalinya selama rezim Orba berkuasa, orang Dayak berhasil terpilih sebagai bupati. Sejak saat itu, perlahan tapi pasti orang Dayak mulai dapat mengimbangi dominasi Melayu di tingkat kabupaten/kota di Kalbar.
Berturut-turut sejumlah bupati berlatar belakang orang Dayak berhasil terpilih. Pada 1999 Yacobus Lima terpilih sebagai bupati Bengkayang. Pada 2001 Cornelis yang sempat gagal dalam Pilbup Pontianak 1998 terpilih sebagai bupati Landak. Elyakim Simon Djalil, calon bupati Sintang pada 2002, menggenapi keberhasilan orang Dayak dalam memenangkan calonnya pada era sistem pemilihan di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ketika sistem Pilkada secara langsung mulai diberlakukan sejak 2005, Kabupaten Sintang, Sekadau, Bengkayang, dan Landak berhasil “diamankan” oleh orang Dayak. Puncaknya ketika Cornelis berhasil memenangkan Pilgub Kalbar dua kali berturut-turut.
Upaya Mempertahankan Dominasi
Pengalaman diskriminasi dalam hal representasi etnis pada politik dan pemerintahan lokal pada masa lalu membuat orang Dayak bangkit unjuk gigi. Penghadangan ulama FPI dan GNPF-MUI, sengaja atau tidak, dan apa pun alasannya, bisa dilihat sebagai bagian dari upaya orang Dayak udalam mempertahankan dominasi politiknya di Kalbar. Hal ini diperkuat oleh Bambang yang menyebutkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir upaya mempertahankan dominasi orang Dayak di Kalbar telah dilakukan dalam banyak bentuk, termasuk dengan melibatkan sentimen keagamaan. Karena itu Bambang agak kurang setuju dengan pernyataan Ema, yang menyebutkan bahwa penghadangan ulama di Bandara Supadio “hanya” sekadar radikalisasi etnis tanpa adanya sentimen keagamaan. Bagi Bambang, sekalipun FPI dan GNPF-MUI dikenal sebagai organisasi intoleran, namun mereka tetap ulama bagi etnis Melayu yang muslim.
Bambang menyebut beberapa contoh lain, misalnya dalam hal pembangunan rumah ibadah di Pontianak. Pada Desember 2014 Cornelis meresmikan secara besar-besaran Gereja Katedral Santo Yoseph yang mampu menampung 3.000 orang di Kota Pontianak. Bagi Cornelis, hal tersebut merupakan upaya dominasi berbau agama, mengingat selama ini Kota Pontianak merupakan basis orang Melayu, dengan simbol Kesulatanan Pontianak yang dahulu pernah ada. Beruntung, tidak sampai dua bulan kemudian, Mesjid Raya Mujahidin juga diresmikan pada 20 Januari 2015. Peresmian mesjid yang mampu menampung 9.000 orang ini dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan anggota DPD RI Oesman Sapta Odang.
Contoh lainnya, atribut keagamaan pada hari raya di gedung Gubernur Kalbar. Pada saat hari raya umat Kristen seperti kelahiran Yesus, ornamen Natal dibuat mewah. Sedangkan pada saat Idul Fitri, kantor Gubernur hanya memasang hiasan beduk dalam ukuran kecil sebagai simbol peringatan hari raya umat Islam. Menurut Bambang, peringatan hari raya orang Cina juga lebih mewah dibandingkan hari raya umat Islam. Mengenai penghadangan ulama FPI, Bambang menyebutkan sebelumnya juga pernah terjadi pada Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) MUI Tengku Zulkarnain di Bandara Susilo, Kabupaten Sintang, pada awal Januari 2017. Bagi Bambang, rentetan kejadian penghadangan itu makin nyata menunjukkan adanya upaya dominasi agama walaupun dalam skala kecil.
Beberapa Implikasi Dari Dominasi
Sejumlah peristiwa yang dianggap sebagai upaya mempertahankan dominasi orang Dayak di Kalbar pada dasarnya dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan yang kini sedang mereka pegang. Pada 2018 Kalbar akan melaksanakan Pilkada Serentak, mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, yaitu Kota Pontianak, Kabupaten Mempawah, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Kubu Raya. Sayangnya upaya mempertahankan dominasi tersebut tidak dibarengi dengan perbaikan kinerja pemerintahan.
Dalam bidang pemerintahan, dominasi orang Dayak dikukuhkan dengan mengangkat banyak pegawai pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalbar dari kalangan orang Dayak. Dari perbincangan ringan penulis dengan dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Hermansyah, diketahui bahwa sekitar 90% kepala dinas (Kadis) di jajaran Pemprov Kalbar adalah orang Dayak, dan sekitar 60-70% jabatan kepala bagian (Kabag) juga diisi oleh birokrat dari kalangan orang Dayak.
Belum diketahui apakah pemlihan jabatan tersebut berdasarkan ketentuan perundang-undangan atau tidak, namun penulis mendapatkan data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Kalbar pada 2015 yang menunjukkan terjadinya penurunan skor “peran birokrasi pemerintah daerah” secara drastis dari tahun sebelumnya, yaitu -58,42 (Tabel 5). Selain itu, penurunan skor juga terjadi pada kebebasan sipil dalam hal “ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat”, “aturan tertulis yang diskriminatif dalam hal gender, etnis, dan kelompok”, dan “tindakan/pernyataan pejabat yang diskriminatif dalam hal gender” (Tabel 6).
Tabel 5.
Perkembangan Skor Variabel IDI 2014 dan 2015 Provinsi Kalbar
Tabel 6.
Perkembangan Skor Variabel IDI 2014 dan 2015 Bidang Kebebasan Sipil Provinsi Kalbar
Penutup
Provinsi Kalbar terkenal sebagai daerah yang punya sejarah konflik kekerasan antaretnis. Namun sejarah menunjukkan bahwa konflik kekerasan hampir tidak melibatkan dua etnis besar yaitu Melayu dan Dayak. Hal ini dikarenakan keduanya mampu menyadari eksistensi dan pranata sosial di wilayah masing-masing. Selain itu pada dasarnya kedua etnis tersebut berasal dari etnis yang sama sebelum kesultanan Islam hadir, yaitu etnis Dayak, sehingga persoalan sehari-hari yang melibatkan orang Melayu dan orang Dayak dapat diselesaikan dengan cara yang baik. Meskipun begitu, persaingan kedua etnis dalam bidang politik tetap berlangsung, bahkan melibatkan sentimen keagamaan. Pada masa lalu, orang Melayu mendominasi politik dan pemerintahan lokal di Kalbar. Seiring dengan semakin menguatnya politik identitas, kini orang Dayak telah mampu bersaing, kalau tidak bisa dikatakan lebih unggul, dari saudara mudanya.
Berdasarkan informasi dari narasumber, peristiwa penghadangan ulama FPI oleh orang Dayak yang memicu ketegangan dengan orang Melayu beberapa waktu lalu, merupakan upaya orang Dayak mempertahankan dominasi kekuasaannya dengan melibatkan sentimen keagamaan. Perlu analisis lebih lanjut apakah ini masih berhubungan dengan menguatnya politik identitas di Pilgub DKI Jakarta. Namun yang jelas, pada 2018 Provinsi Kalbar akan mengadakan Pilkada Serentak di tingkat provinsi dan empat kabupaten/kota.
Pada dasarnya upaya mempertahankan dominasi kekuasaan, baik itu kelompok, suku, ataupun agama, jamak terjadi di wilayah lain. Hanya saja upaya untuk mempertahankan dominasi tersebut cenderung mengorbankan hal-hal pokok yang lebih prinsip. Dalam kasus Kalbar, pengukuhan dominasi etnis Dayak dibidang pemerintahan telah mengorbankan beberapa hal, mulai dari indikasi pelayanan publik yang diskriminatif, hingga menurunnya kebebasan sipil. Hal ini semakin diperparah dengan absennya peran partai politik, yang sebenarnya mampu memainkan peran yang lebih strategis dalam mencegah terjadinya disintegerasi sosial di Kalbar. Meskipun begitu, kita patut bersyukur bahwa tidak lama setelah adanya ketegangan antara orang Melayu dan orang Dayak, para elite politik bersedia turun tangan dengan menandatangani deklarasi damai, yang dihadiri oleh tokoh besar kedua etnis di Kalbar, yaitu Cornelis dan Oesman Sapta Odang.
Daftar Pustaka
Arkanudin. 2006. “Menelusuri Akar Konflik Antaretnik di Kalimantan Barat” dalam MediaTor Vol. 7 No. 2 Desember 2006.
Budiman, Hikmat (ed). 2012. Kota-Kota Di Sumatra Enam Kisah Kewarganegaraan dan Demokrasi. The Interseksi Foundation. ID: Jakarta.
Kristianus. 2011. “Nasionalisme Etnik di Kalimantan Barat” dalam Masyarakat Indonesia Edisi XXXVII No. 2. LIPI. ID: Jakarta.
La Ode, MD. 2012. Etnis Cina Indonesia Dalam Politik: Politik Etnis Cina SIngkawang dan Pontianak di Era Reformasi 1998-2008. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. , 2012
Putra, Masri Sareb. 2014. 101 Tokoh Dayak Yang Mengukir Sejarah. Surya University.
Suparlan, Parsudi. 2009. Konflik Antar Sukubangsa Melayu dan Dayak Dengan Madura Di Kab. Sambas, Kalbar. Tautan URL: https://etnobudaya.net/2009/09/29/konflik-antar-sukubangsa-melayu-dan-dayak-dengan-madura-di-kab-sambas-kalbar/ (diakses pada 30 Mei 2017 pukul 18:23 WIB).
Surbakti, Eka Endamia. 2016. Kebijakan Pembinaan Politik Dalam Negeri terkait Peningkatan IDI di Kalimantan Barat (Materi Presentasi). Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.
Tanasaldy, Taufiq. 2007. Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat, dalam Politik Lokal Indonesia. KITLV Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Gambar 1. Penghadangan Ketua DPP FPI dan Ketua GNPF-MUI di Bandara Supadio (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Gambar 2. Aksi Protes Persatuan Orang Melayu, di Pontianak (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Gambar 3. Penandatanganan deklarasi damai di Mapolda Kalbar (Sumber: Tribun Pontianak)
Gambar 4. Wawancara dengan Ketua Magister Sosiologi Untan Ema Rahmaniah (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Gambar 5. Wawancara dengan Pemuda Sambas, di DPD RI (Sumber: Dokumentasi pribadi)