Laporan Situasi Konflik Syiah Sampang di Karang Gayam, Madura.
Sebagai bangsa yang multikuktural, Indonesia dianugerahi kemajemukan baik dari segi sosial budaya maupun agama. Kondisi ini pada satu sisi merupakan nilai plus dalam kerangka memperkaya khazanah bangsa. Namun di sisi lain dapat menjadi ancaman serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa jika kebhinekaan tersebut tidak disikapi secara bijak. Konflik Syiah di Sampang Madura bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Bangsa ini telah banyak mengalami berbagai konflik sosial dan agama yang seharusnya dari peristiwa tersebut menyadarkan kepada kita semua betapa berharganya arti sebuah persatuan.
Konflik Syiah Sampang sendiri masih tetap berlangsung, setidaknya trauma konflik itu masih tetap ada. Lebih dari empat tahun korban konflik Syiah sampang masih tertahan di “barak” pengungsian tanpa kepastian kapan bisa kembali ke kampung halamannya. Kondisi ini jelas tidak menyelesaikan akar masalah, bahkan bisa menyulut persoalan baru dikemudian hari. Penulis tertarik dengan peristiwa ketika melakukan sampling desa terpilih pada survei Populi Center di Jawa Timur pada April 2017 lalu, yaitu desa Karang Gayam. Relawan yang ditugaskan di sana menolak ditempatkan, meskipun notabene berasal dari kabupaten yang sama.
Alasan yang dilontarkan bahwa desa itu rawan terhadap aktivitas atau kedatangan orang luar. Penulis awalnya tidak percaya begitu saja, karena acap kali relawan “manja” ditugaskan pada daerah tertentu. Penulis berusaha meminimalkan pergantian sampling, tetapi relawan tersebut bersikukuh: “Daripada saya kena carok, mending sampean yang ta’ carok!” Meskipun disampaikan setengah berkelakar khas Madura, tak bisa dipungkiri pada akhirnya penulis terpaksa mengganti sampling desa tersebut. Kalimat itu pula yang menggelitik penulis untuk memotret lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi di sana. Tulisan ini terutama didasarkan pada laporan investigasi Komisi Anti Kekerasan dan Orang Hilang (Kontras) Surabaya pada 2012.
Syiah di Pulau Garam
Di dunia Islam setidaknya terdapat dua aliran besar, yaitu Sunni (Ahlussunnah wal Jamaah) dan Syiah. Dalam perkembangannya Sunni menjadi aliran yang banyak diikuti umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia. Kelahiran Syiah bermula dari persoalan politik umat Islam pasca-wafatnya Nabi Muhammad, dilanjutkan dengan kelompok pendukung sahabat Ali bin Abi Thalib yang juga adalah Khulafaur Rasyidin yang terakhir. Secara etimologis, “syiah” berasal dari bahasa Arab yang berarti mengikuti atau mendukung. Menurut Ibnu Hazm dalam bukunya Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal Syiah, yaitu mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah sepeninggal Nabi. Pada perkembangannya Syiah terbagi menjadi golongan dengan keyakinan berbeda-beda.
Kemunculan Syiah di Indonesia masih menjadi perdebatan. Perkembangan pesatnya kemudian terkait erat dengan Revolusi Iran 1979 yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini. Di Indonesia, khususnya Pulau Madura, masuk dan berkembangnya Syiah terasa seperti tidak mungkin mengingat masyarakatnya sebagian besar berhaluan Sunni fanatik melalui ormas Nahdlatul Ulama (NU). Faktanya Syiah di “Pulau Garam” khususnya Sampang bisa masuk dan berkembang, sebagaimana dicatat dalam laporan investigasi Kontras Surabaya. Pada awal 1980-an Kyai Makmun dari Dusun Nangkernang Desa Karang Gayam Sampang mendapat kabar tentang keberhasilan ulama Iran memimpin revolusi menumbangkan monarki Syah Reza Pahlevi.
Terinspirasi oleh Revolusi Iran dan kekaguman terhada Ayatollah Khomeini, Kyai Makmun kemudian mendalami ajaran-ajaran Syiah. Sadar bahwa tidak mudah mengajarkan Syiah di desanya dan di Madura pada umumnya, Kyai Makmun melakukannya secara pelan-pelan dan tidak terbuka. Pada 1983 Kyai Makmun mengirim putera-puterinya, Iklil al Milal, Tajul Muluk, Roisul Hukama (Rois), dan Ummi Hani, ke pesantren yang dikelola oleh Yayasan Pesantren Islam (YAPI) di Bangil, Pasuruan. YAPI dikenal sebagai pesantren yang cenderung pada mazhab Syiah Ja’fariyah. Pada 1991 putera-puteri Kyai Makmun kembali ke Sampang.
Di antara mereka hanya Tajul Muluk yang kemudian melanjutkan belajar kepada Sayyid Muhammad Al-Maliki di Arab Saudi pada 1993. Karena terkendala biaya, pendidikannya berhenti di tengah jalan. Tajul Muluk yang bernama asli Ali Murtadha bertahan di Arab Saudi sebagai pekerja dan baru kembali ke Indonesia pada 1999. Tajul Muluk menetap di tempat kelahirannya di Karang Gayam, yang secara administratif masuk dalam Kecamatan Omben Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur (Jatim). Keluarga Kyai Makmun dan masyarakat di dusunnya menyambutnya dengan gembira. Sejumlah warga desa yang juga murid Kyai Makmun mewakafkan sebidang tanah untuk didirikan pesantren.
Secara gotong royong pada awal 2004 mereka mendirikan rumah kediaman Tajul Muluk yang berfungsi pula sebagai pesantren, dilengkapi mushola dan ruang-ruang kelas. Di pesantren Misbahul Huda ini Tajul Muluk beserta saudara-saudaranya sesama alumni YAPI mengajar. Berbeda dengan ayahnya, Tajul Muluk berdakwah ajaran Syiah secara terbuka. Didukung sikapnya yang egaliter dan cekatan membantu warga desa yang membutuhkan serta tidak mau menerima imbalan setiap berceramah, dakwah Tajul Muluk lebih mudah diterima. Dalam waktu hanya sekira tiga tahun, ratusan warga Desa Karang Gayam dan desa tetangganya Desa Blu’uren telah mengikuti ajaran Syiah sekaligus murid setia Tajul Muluk.
Perkembangan dakwah Tajul Muluk akhirnya mendapat respon dari para ulama setempat. Salah satunya Ali Karrar Shinhaji, pemimpin Pondok Pesantren Darut Tauhid di Desa Lenteng, Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan yang sebetulnya masih terhitung kerabat dekat Makmun. Dalam pertemuan dengan Tajul dan saudara-saudaranya pada awal 2004, Karrar menyatakan tidak setuju dengan aktivitas dakwah Tajul Muluk, bahwa Syiah adalah mazhab yang salah dan sesat. Ulama-ulama lain di Kecamatan Omben juga bersikap serupa, tetapi tidak bisa menghalang-halangi dakwah Tajul Muluk karena masih menaruh rasa hormat atas Kyai Makmun. Pada Juni 2004 Kyai Makmun yang sakit-sakitan meninggal dunia. Maka tidak ada lagi penghalang bagi mereka untuk menentang dakwah Syiah oleh putera-puteri Kyai Makmun.
Konflik Berdarah Syiah Sampang dan Upaya Penyelesaiannya
Konflik antara Syiah dan kelompok lainnya bukan hanya sekali terjadi di Indonesia, bisa dikatakan selalu berulang, termasuk di Sampang. Konflik pertama pada 29 Desember 2011 tidak sampai memakan korban jiwa, namun diyakini menjadi pemantik konflik selanjutnya pada 26 Agustus 2012. Konflik pertama terjadi Desa Bluaran menyebabkan beberapa rumah rusak. Polisi menetapkan Tajul Muluk dan beberapa orang lainnya sebagai tersangka. Konflik kedua pecah di Desa Karang Gayam, satu orang tewas dan satu orang lainnya kritis terkena sabetan celurit, puluhan orang menderita luka-luka, dan 49 rumah terbakar. Sejumlah tersangka kembali ditahan, di antaranya Rois yang notabene masih saudara Tajul Muluk dan sesama alumni YAPI tetapi kemudian bersimpang jalan.
Konflik agama yang berujung pada kekerasan acapkali bersinggungan dengan faktor non-agama. Meletusnya konflik Syiah Sampang adalah akumulasi konflik yang sudah lama terjadi. Kehadiran paham Syiah di tengah basis massa Sunni (NU) menampakkan riak-riak penolakan khususnya dari kalangan tokoh-tokoh agama. Munculnya komunitas Syiah di Desa Karang Gayam dianggap sebagai pengingkaran terhadap kehidupan bersama masyarakat Sampang yang diikat oleh nilai-nilai ke-NU-an sebagai common values-nya. Berbagai upaya dilakukan untuk menarik kembali Tajul Muluk dan jama’ah Syi‘ahnya untuk meninggalkan akidahnya dan kembali menjadi Sunni. Untuk melegitimasi hukuman sosial atas komunitas yang berbeda, dikembangkan instrumen pengabsah, yaitu label Syiah sebagai sesat dan Sunni kebenaran.
Selain itu pergerakan Syiah pimpinan Tajul Muluk, melalui aktivitas dakwahnya yang lambat laun diterima dan berkembang, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi tokoh agama yang beraliran Sunni. Kehadiran Tajul Muluk dan pengikutnya dianggap sebagai upaya delegitimasi otoritas tokoh Sunni. Sebagaimana diberitakan Detikcom, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menemukan lima penyebab konflik Syiah Sampang. Pertama, adanya fatwa dan seruan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim, Pimpina Wilayah (PW) NU Jatim, dan ulama yang tergabung dalam Badan Silaturahmi Ulama dan Pesantren Madura (BASSARA), bahwa Syiah adalah aliran sesat sehingga penganutnya harus dibaiat menjadi Sunni.
Kedua, pernyataan dari bupati terdahulu yang menolak keberadaan penganut Syiah di wilayah Kabupaten Sampang. Ketiga, putusan Pengadilan Negeri (PN) Sampang bahwa Tajul Muluk sebagai tokoh Sunni dianggap telah melakukan penistaan agama dan menjatukan hukuman penjara dua tahun. Pada proses banding, Pengadilan Tinggi (PT) Jatim memperberat menjadi empat tahun penjara. Keempat, konflik pribadi antara Rois dengan Tajul Muluk yang kemudian diikuti oleh masing-masing pengikutnya secara berkepanjangan. Kelima, pada masa-masa tersebut tengah diselenggarakan pemilihan bupati Sampang, di mana aspirasi masyarakat Sunni digalang sebagai sarana untuk menggalang massa dan suara.
Pemerintah bergerak cepat mengupayakan penyelesaian konflik Syiah Sampang dengan membentuk tim investigasi dan dan mendorong terjadinya rekonsiliasi. Proses hukum terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab dijalankan untuk menunjukkan adanya supremasi hukum. Selain itu banyak unsur dari kalangan masyarakat sipil pun dilibatkan, tetapi tidak berjalan mudah. Terjadi penolakan warga terhadap kedatangan kembali pengungsi Syiah. Mediasi untuk memulangkan pengungsi ke kampung halamannya berakhir buntu, sehingga pemerintah merelokasi ke rumah susun (rusun) Rusun Puspa Argro di Sidoarjo pada 20 Juni 2013. Opsi ini dipandang dapat meredam konflik, tetapi tidak menyentuh akar persoalan. Selama empat tahun di tempat relokasi, penganut Syiah masih belum bisa pulang ke kampung halamannya.