Gerakan 212 Untuk Apa?

Deras wacana bahwa pada tanggal 2 Desember 2018 akan diadakan aksi reuni 212. Jika kita kembali mengingat aksi 212, latar belakang aksi ini sebenarnya cukup sederhana, yakni ingin menggulingkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Berangkat dari agenda terdahulu, tidak heran jika banyak kalangan menilai bahwa acara aksi reuni 212 kali ini tidak lagi relevan atau kehilangan momentum ideologis-nya. Pada Pilpres 2019, kedua pasang calon memiliki latar belakang yang sama yakni berasal dari kalangan muslim. Lantas, apa yang sebenarnya menjadi momentum aksi ini?

Untuk membahas permasalahan tersebut, Forum Populi edisi Pemilu 2019 pada Kamis (29/11) mengangkat tema “Gerakan 212 Untuk Apa?”. Pembicara yang hadir kali ini adalah Amin Mudzakkir (Peneliti LIPI) dan Usep S. Ahyar (Direktur Populi Center).

Amin Mudzakkir mengatakan gerakan 212 tidak bisa dimaknai sebagai bagian dari politik elektoral. Meskipun pada 2016 lalu, dimana aksi 212 digunakan sebagai instrument politik untuk memenangkan Pilkada Jakarta, pada perkembangannya aksi 212 ini mengalami pergeseran. Pada saat ini, aksi 212 saat ini mencerminkan kekuatan konservatisme yang semakin tumbuh di Indonesia. Oleh karenanya, permasalahannya bukan lagi terkait Islam dan Non-Islam, namun terlebih terhadap siapapun yang dianggap berlawanan dengan paham keagamaan mereka. Amin melanjutkan, “Jadi alih-alih memandang ini hanya sebuah ekspresi politik elektoral, ini memang menunjukkan kekuatan konservatisme Islam yang tentu bisa digunakan untuk apapun.”

Menurut Amin, pada level elit, pada dasarnya sudah terdapat perpecahan dalam gerakan ini, meski semangat atau spirit aksi ini masih terus dipelihara. Semangat ini terutama tumbuh di dalam komunitas-komunitas muslim yang secara historis kultural mempunyai ikatan yang kuat dengan imajinasi politik atau memiliki akar konservatisme. Aspirasi Islam politik adalah aspirasi yang mencoba untuk melihat Indonesia sebagai lahan munculnya masyarakat yang lebih islami. Lebih lanjut Amin menjelaskan, bahwa aspirasi yang didorong tidak harus menjadi negara Islam, namun sebuah bentuk kenegaraan di mana Syariah versi mereka bisa diaktualisasikan.

Oleh sebabnya, persoalan yang dilontarkan tidak hanya berkutat pada penistaan agama. Pada era Jokowi misalnya, persoalan atau narasi yang dilontarkan berkutat pada isu Jokowi anti Islam atau pro asing. Isu-isu yang dibentuk adalah isu yang menurut mereka tidak sesuai dengan keyakinan mereka.

Terkait dengan potensi gerakan ini, Amin menjelaskan bahwa hal ini tergantung pada sampai sejauh mana semangat yang terus dirawat oleh elit politik dalam gerakan ini bisa terwujud menjadi aspirasi yang konkrit pada politik elektoral. “Pertanyaannya adalah sejauh mana konsolidasi kelompok ini bisa diwujudkan dan pada akhirnya berujung pada pilihan elektoral yang lebih konkrit,” tukasnya.

Di sisi lain, Usep S. Ahyar meyakini bahwa gerakan 212 adalah gerakan politik. Meskipun pihak 212 menyebut aksi mereka adalah aksi sosial, namun Usep melihat gerakan ini diperuntukkan untuk kepentingan politik yang lebih panjang. Menurut Usep, aksi reuni 212 memiliki tujuan untuk melihat sejauhmana pengaruh politik gerakan 212 pada saat ini.

Lebih lanjut, Usep S. Ahyar menjelaskan, bahwa motif politik dari gerakan 212 ini adalah untuk menguasai ruang publik. Jika aksi reuni 212 ini tidak dilakukan, maka eksistensi dari gerakan 212 ini akan hilang. Gerakan ini tidak bisa masuk dalam politik formal (partai politik), oleh karenanya gerakan ini bergerak di luar politik formal (di luar parlemen). Usep menjelaskan “Mereka sedang menata eksistensinya agar mereka mempunyai posisi tawar yang baik. Bagi mereka yang memburu kekuasaan, maka kelompok ini akan didatangi.”

@ Populi Center 2021

id_IDIndonesian