Citizen journalism atau jurnalisme warga adalah praktik yang lumrah terjadi dalam era digital seperti sekarang. Masyarakat bisa berperan aktif dalam mengumpulkan informasi dan mempublikasikannya seperti layaknya jurnalis. Begitu pula halnya dengan Tabloid Indonesia Barokah. Tabloid yang baru-baru ini ramai diperbincangkan masyarakat karena memuat tulisan provokatif merupakan produk citizen journalism. Dewan Pers sendiri telah memberikan pernyataan bahwa tabloid tersebut bukan merupakan produk jurnalistik. Oleh karena itu, mereka yang merasa dirugikan dengan adanya Indonesia Barokah tidak bisa menggunakan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai dalil. Masih kita ingat sebelumnya pada Pilpres 2014 lalu, Tabloid Obor Rakyat juga muncul di ruang publik. Sebetulnya, bagaimana praktik jurnalisme warga dalam era demokrasi saat ini?
Untuk membahas itu, diskusi Forum Populi Edisi Pemilu 2019 pada Kamis (31/1/019) mengangkat tema “Jurnalisme Warga dalam Kontestasi Politik”. Dalam diskusi ini hadir pembicara Uni Zulfiani Lubis (Pemimpin Redaksi IDN Times) dan Dr. Afrimadona (Peneliti Senior Populi Center).
Uni Lubis mengatakan jurnalisme warga muncul atau marak terjadi mulai tahun 2008 melalui hadirnya blog dan media sosial. Dewan Pers dalam aturannya hanya mengurusi produk jurnalistik sehingga tidak bisa turun tangan dalam mengurusi konten jurnalisme warga. Namun, Dewan Pers sendiri sejak 2010 banyak melakukan pelatihan terhadap pewarta warga di berbagai daerah, selain terhadap para jurnalis sendiri.
Menurut Uni, sejak dirinya menjadi anggota Dewan Pers banyak warga yang meminta kepada Dewan Pers agar konten mereka dilindungi. Hal ini dikarenakan konten yang mereka buat bisa terjerat UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Misalnya, sudah ada 381 kasus yang menjadi korban dari pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik yang ditransmisikan secara elektronik baik itu melalui blog ataupun satus di media sosial. “Keuntungannya adalah kalau ada pihak yang berkeberatan terhadap konten, perlakuannya adalah berdasarkan UU Pers yang tidak akan dikriminalisasikan. Sedangkan, jika terkena UU ITE dapat dikriminalisasikan,” ujarnya.
Terkait dengan Tabloid Indonesia Barokah, Uni menjelaskan, Indonesia Barokah tidak dapat dikatakan sebagai jurnalisme warga karena cenderung pada konten propaganda. Apa yang ditulis dalam tabloid tersebut adalah hasil kutipan dari berbagai media. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah apakah media yang mereka kutip itu faktual dan benar. Permasalahan ini, akunya, pada 2005 lalu ketika Kementerian Luar Negeri RI bekerja sama dengan Pemerintah Norwegia menyelenggarakan Global International Dialogue pernah menjadi pembahasan. Bagi negara-negara maju seperti Skandinavia, jurnalisme warga lebih ketat daripada jurnalisme pers itu sendiri.
Di sisi lain, Afrimadona menuturkan jurnalisme warga merupakan bagian dari partisipasi politik dan juga bagian dari kampanye politik. Secara umum, jurnalisme warga muncul dari media-media mainstream yang bias dan menutup diri dari preferensi ideologis yang lain. Kondisi ini terjadi di Amerika. Di Amerika, persoalan ideologi terlihat sangat jelas. Untuk media, meskipun mereka netral namun unsur bias tetap terjadi. Di sini, jurnalisme warga hadir.
Mengenai dampak jurnalisme warga itu sendiri, Afri mengakui, dalam banyak riset kampanye negatif justru akan membuat orang golput semakin banyak. Publik yang melihat berbagai informasi tersebut akan mempengaruhi sudut pandang mereka, terutama kelompok tengah yang bukan kelompok liberal ataupun konservatif. Akan tetapi, perubahan ini mengarah pada pesimis. “Akhirnya banyak komisi pemilu (di Amerika) yang meminta kandidat menurunkan kampanye negatif mereka karena efeknya buruk. Banyak cendekiawan yang menyimpulkan secara umum ini (kampanye negatif) tidak bagus bagi demokrasi,” tutur Afrimadona.
@ Populi Center 2021