Sebagai salah satu organisasi yang konsisten menyuarakan moderatisme beragama, perdamaian dan kemanusiaan, Nahdatul Ulama (NU) senantiasa mendorong dan mendukung tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilandasi kesetaraan hak dan kewajiban warga Negara, termasuk dalam hubungan antar bangsa. Pada tahun 2016, dalam forum International Summit of Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) di Jakarta, di dalam salah satu poin deklarasinya, NU secara tegas menawarkan wawasan dan pengalaman Islam Nusantara kepada dunia sebagai paradigma Islam yang layak diteladani.
Salah satu inti dari Islam Nusantara ada pada gagasan bahwa agama menyumbang kepada peradaban dengan menghargai budaya yang telah ada serta mengedepankan harmoni dan perdamaian. Selain itu NU juga menyeru siapa saja yang memiliki iktikad baik dari semua agama dan kebangsaan untuk bergabung dalam upaya membangun konsensus global untuk tidak mempolitisasi Islam, serta memarjinalkan mereka yang hendak mengeksploitasi Islam sedemikian rupa untuk menyakiti sesama.
Dalam konteks kekinian, gagasan yang dilakukan NU untuk Indonesia maupun dunia memiliki relevansi mengingat konflik atas nama politisasi ajaran agama terus dan masih terjadi hingga saat ini. Oleh karenanya NU sangat mendukung lahirnya Watsiqat al-Ikhwah al-Insaniah (Piagam Persaudaraan Kemanusiaan) yang baru-baru ini ditandatangani oleh dua tokoh agama dunia, yaitu Paus Fransiskus dan As-Syekh al-Akbar Jami’ah al-Azhar As-Syekh Ahmad Al-Tahyyib (Syaikh al-Azhar) di Abu Dhabi (4/2/2019).
Semangat yang sama muncul pada forum Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar (Munas-Konbes) NU 2019.Dalam forum tertinggi setelah Muktamar, NU tidak hanya membahas persoalan keagamaan saja. Isu-isu kebangsaaan dan lingkungan juga menjadi fokus pembahasan dalam forum tersebut. Dari sekian isu penting, isu yang paling menyedot perhatian publik adalah hasil bahasan di tema “Negara, Kewarganegaraan, Hukum Negara, dan Perdamaian.”
Hasil keputusan Munas NU menyatakan, Indonesia adalah “negara kesepakatan”. Dalam terminologi modern, negara Indonesia adalah negara yang dihasilkan oleh “kontrak sosial” berbagai komponen bangsa dari berbagai macam suku bangsa, etnis dan agama. Oleh karenanya, warga negara (muwathin) yang hidup di dalamnya tidak pantas lagi disebut “kafir”, seperti dalam terminologi politik Abad Pertengahan. Selama itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, orang-orang Islam yang hidup di negara tersebut harus tunduk dan patuh pada hukum dan Undang-Undang.
Pertanyaan besar: ‘Bagaimana NU menghadapi dinamik politik elektoral’
Dinamika pro-kontra terhadap NU pasca Munas 2019 terkait keputusan tersebut tidak hanya berasal dari luar kelompok NU, namun juga berasal dari internal. Langkah pertama tentu harus dijelaskan secara jelas dan luas soal alasan-alasan keputusan tersebut dihasilkan. Seperti sudah diduga kelompok-kelompok yang selama ini gemar memberikan label “takfiri” sepertinya meradang dengan keputusan tersebut, hingga serangan di media sosial seperti dikomando. Penolakan ini setidaknya disebabkan oleh dua hal.
NU DAN PARADIGMA KEBANGSAAN
Salah satu keputusan dalam Munas NU 2019 terkait tidak relevansinya penyebutan istilah “kafir” bagi non-muslim, dalam kultur perjalanan NU, bukanlah sebuah sikap yang aneh. Setidaknya hal ini dapat ditarik dari sejarah panjang pendirian dan kiprah NU dari masa ke masa. Komitmen NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta turut serta dalam menciptakan tatanan dunia global yang berkeadilan, dapat dilihat dari beberapa peristiwa berikut.
Pertama, Komite Hijaz (1925), yang merupakan nama sebuah kepanitian kecil yang diketuai oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah. Delegasi ini bertugas menemui raja Ibnu Saud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk melakukan negosiasi terkait kepentingan kehidupan ajaran Islam, khususnya di Indonesia yang sudah berjalan harmomis serta menjunjung tinggi kearifan lokal yang ada.
Berkah besar bagi kita semua
Sejak Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) di tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh. Saat itu terdapat eksodus besar-besaran para ulama dari seluruh dunia yang berkumpul di Haramain, mereka pindah atau pulang ke negara masing-masing, termasuk para santri asal Indonesia. Dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari musyrik dan bid’ah, berbagai tempat bersejarah, baik rumah Nabi Muhammad dan sahabat termasuk makam Nabi hendak dibongkar. Dalam kondisi seperti itu umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa sangat prihatin, hingga kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kelak kemudian disebut dengan Komite Hijaz.[1] Komite Hijaz diinisiasi oleh tokoh-tokoh yang berfikir jauh ke depan terhadap kehidupan bangsa Indonesia, khususnya dibidang sosial keagamaan. Beberapa bulan setelahnya Nahdhatul Ulama dibentuk secara resmi (31/1/1926) sebagai sebuah lembaga.
Kedua,menyetujui Pancasila sebagai Dasar Negara (1945). Penetapan dasar Negara Indonesia pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 hampir saja menemui jalan buntu. Penolakan terhadap asas Islam sebagai dasar Negara dan penghapusan klausul kalimat pada sila pertama yang lebih dikenal sebagai Piagam Jakarta, merupakan salah satu usulan tokoh NU sebagai jalan tengah untuk menerima Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketiga,Resolusi jihad, resolusi ini dicetuskan oleh Pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya untuk mencegah kembalinya tentara kolonial Belanda yang mengatasnamakan NICA. Pada saat itu, KH. Hasyim Asy’ari sebagai ulama pendiri NU menyerukan jihad dengan mengatakan bahwa “Membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu’ain atau wajib bagi setiap individu“. Melalui resolusi jihad ini, kemudian lahirlah konsep “Hubbul wathan minal iman” (Cinta tanah air adalah sebagian dari iman). Untuk memperingati resolusi jihad tersebut, maka kini setiap tanggal 22 Oktober dikenal sebagai hari santri, penetapan ini dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.
Keempat, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal (1984). Keputusan ini bukan tanpa dasar. Sedari awal NU menyadari betul bahwa sebagai sebuah bangsa, Indonesia diperjuangkan dan didirikan atas konsesus bersama semua kelompok. Pancasila diyakini sebagai pemersatu bangsa dimana di dalamnya terdapat manifestasi dari nilai-nilai agama yang wajib diamalkan oleh seluruh warganya.
Kelima, Trilogi ukhuwah. Dalam kaitan kehidupan beragama, berbangsa dan pergaulan dunia, NU memperkenalkan konsep trilogi persaudaraan yang merupakan intisari muammalah (hubungan sosial) dalam ajaran Islam, meliputi ukhuwah Islamiyah (Persaudaraan sesama muslim), ukhuwah wathaniyah (Persaudaraan sesama bangsa) dan ukhuwah insaniah/basyariah (Persaudaraan sesama manusia).
REKOMENDASI YANG (DAPAT) MENGUBAH SEJARAH
Salah satu keputusan dalam Munas NU 2019, terutama terkait tidak relevannya penyebutan istilah “kafir” bagi non-muslim, dalam konteks sosiologis diyakini akan berdampak luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia atau bahkan di dunia. Konsep ini mempertegas bahwa perlu adanya upaya dan kesadaran bersama untuk mewujudkan kesetaraan hak dan kewajiban sebagai warga negara maupun warga dunia dalam rangka mewujudkan harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tentu keputusan ini tidak serta merta diterima oleh semua kalangan. Dinamika pro-kontra terhadap NU pasca Munas 2019 terkait keputusan tersebut tidak hanya berasal dari luar kelompok NU, namun juga berasal dari internal. Langkah pertama tentu harus dijelaskan secara jelas dan luas soal alasan-alasan keputusan tersebut dihasilkan. Seperti sudah diduga kelompok-kelompok yang selama ini gemar memberikan label “takfiri” sepertinya meradang dengan keputusan tersebut, hingga serangan di media sosial seperti dikomando. Penolakan ini setidaknya disebabkan oleh dua hal.
Pertama. Kurangnya pemahaman yang utuh terhadap konsep “takfiri” baik secara teologis maupun sosial-politis. Dalam konteks Islam, penggunaan istilah kafir bisa bermakna “teologis” atau “politis”. Al-Quran seringkali menyapa orang-orang non-Muslim dengan sebutan kafir atau musyrik. Kafir secara bahasa adalah menutup diri, artinya orang yang hatinya tertutup menerima kebenaran Islam, sedangkan musyrik digunakan untuk menyebut orang yang menyekutukan Allah SWT. Pada perkembangan selanjutnya, setelah Islam tampil sebagai kekuatan politik dan mendirikan pemerintahan-pemerintahan Islam, konsep kafir berkembang menjadi politis dengan tetap tidak menghilangkan makna teologisnya.
Berkaitan dengan relasi non-Muslim dengan negara Islam, para ulama (fuqaha) kemudian mengklasifikasi dalam empat kategori: kafir dzimmy (non-Muslim yang hidup di negara Islam dan mau membayar jizyah/pajak), kafir mu’ahad (negara non-Muslim yang mengadakan hubungan diplomatik dengan negara islam), kafir muta’man (non-Muslim yang meminta perlindungan negara Islam/suaka politik) dan kafir harbi (non-Muslim yang memusuhi orang Islam). Keempat ketegori ini bukan dalam perspektif teologis, melainkan berlaku bagi non-Muslim dalam relasinya dengan negara Islam. Sama halnya di negara Indonesia terkait istilah WNI penyebutan bagi Warga Negara Indonesia dan WNA bagi Warga Negara Asing.
Kedua. Kelompok yang selama ini gemar memberikan label “takfiri” dan mereka yang selalu mempromosikan berdirinya khilafah, tentu merasa terganggu dengan adanya keputusan NU dalam Munas tersebut. Manuver narasi yang coba dibangun oleh kelompok ini adalah membenturkan NU dengan umat muslim lainnya di Indonesia. Narasi teologis digelindingkan untuk “menuduh” NU bermain-main dalam soal teologis. Bagi meraka ini sangat merugikan karena jika konsep/keputusan NU terkait tidak relevannya penyebutan kafir bagi non-muslim dipahami dan dapat diterima seluruh bangsa Indonesia, tentu akan membuat “dagangan” mereka tak lagi laku. Sebagai negara Pancasila yang menjamin kebebasan beragama bagi semua warganya, tentu penyebutan idiom kafir pada ranah publik dalam relasi warga negara di Indonesia bukan hanya tidak tepat tetapi juga mengingkari sunnatullah atas penciptaan manusia yang heterogen suku, bangsa dan budaya.
Jika rekomendasi NU dalam Munas 2019 kompak diamini mayoritas masyarakat Indonesia, tentu hal ini akan menjadi serangan telak sekaligus antitesa bagi mereka yang selama ini mencoba memaksakan kehendak untuk mengubah konsesus Pancasila sebagai dasar negara yang sudah final. Terlebih eskalasi politisasi SARA kian marak menjelang Pemilu 17 April 2019. Menjaga negara bukan hanya sebuah kewajiban, tetapi juga bagian dari keimanan (hubbul wathan minal iman) dan sekaligus manifestasi syukur atas anugerah pada bangsa Indonesia. Untuk itu diperlukan kesadaran kolektif untuk bersikap tasammuh (toleran), tawazzun (moderat), I’tidal (konsisten) dan al-Adlu (berkeadilan) sekaligus sinergi bersama untuk membangun kehidupan berbangsa yang lebih harmoni. Semoga.