Debat cawapres antara KH. Ma’ruf Amin dan Sandiaga Salahuddin Uno telah berlangsung pada Minggu kemarin (17/3). Sosok KH. Ma’ruf Amin yang adalah seorang ulama dan dipersepsikan sebagai tokoh konservatif muslim ternyata tidak memunculkan narasi Islam dalam debat. Lalu, apakah politik dengan narasi Islam masih akan dominan dalam sisa-sisa waktu menuju 17 April 2019? Apalagi, di sisi lain terdapat peristiwa penangkapan Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy oleh KPK. Apakah label Islam baik secara figur personal ataupun partai masih memberikan pengaruh terhadap arah suara politik?
Untuk membahas persoalan ini lebih lanjut, Forum Populi Edisi Pemilu 2019 pada Kamis (21/3) mengangkat tema “Arah Politik Islam”. Dalam diskusi kali ini hadir pembicara Wahyudi Akmaliah (Peneliti Masyarakat dan Budaya LIPI) dan Ade Ghozaly (Peneliti Populi Center).
Wahyudi Akmaliah mengatakan praktik intoleransi dan demokrasi pada era Jokowi mengalami penurunan, bila dibanding dengan era sebelumnya. Kondisi ini dikarenakan kepemimpinan Jokowi yang fokus pada pembangunan infrastruktur sehingga anggaran bantuan sosial dipotong. Akibatnya, agenda organisasi masyarakat (ormas) tidak terlaksana karena tidak mempunyai pemasukan dan membuat ormas marah.
Pada perkembangannya, kelas menengah naik menjadi konservatif ketika Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta. Hingga sekarang ini, gelombang Islam dari kelompok menengah masih terjadi. “Partai Islam pun tidak bisa merangkul ini. Maka dari itu, penting menarasikan simbol-simbol Islam untuk elektoral kita sekarang,” ujar Wahyudi.
Mengenai debat cawapres kemarin, menurut Wahyudi, KH. Ma’ruf Amin bisa memberikan narasi yang moderat dan tidak masuk dalam narasi Islam. Di samping itu, cawapres nomor urut 01 tersebut juga mempunyai retorika yang baik. Latar belakang dirinya yang adalah seorang ulama menjadi sosok yang bisa menahan isu-isu agama ataupun hoax (berita bohong). Pertanyaanya, sampai sejauh mana KH. Ma’ruf Amin dapat menaikkan elektabilitas suara.
Di sisi lain, Ade Ghozaly menjelaskan politik Islam ke depan tidak bisa mengesampingkan nasionalisme. Tidak ada satupun partai politik saat ini di Indonesia yang secara jelas menamakan dirinya Islam tanpa embel-embel nasionalisme. Partai memiliki dua sisi, di satu sisi memperjuangkan memperjuangkan aspirasi Islam, sedangkan di sini lain juga mendorong sisi ke-Indonesia-an.
Ke depan, menurut Ade Ghozaly, simbol-simbol keagamaan perlu dihindari di ruang publik. Hal yang perlu diperlihatkan adalah substansi dari ajaran-ajaran keagamaan. “Termasuk bagaimana konsep-konsep lalu ide-ide untuk mensejahterahkan umat,” terangnya.
@ Populi Center 2021