KPU telah menuntaskan rekapitulasi nasional Pilpres 2019 dengan menetapkan pasangan Joko Widodo-KH. Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, kali ini Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno beserta Badan Pemenangan Nasional (BPN) terus gencar menarasikan kecurangan dalam pemilu.
Sikap terbaru adalah mengajukan banding ke MK. Pasangan nomor urut 02 ini menganggap adanya kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan massif di dalam Pilpres. Melihat perkembangan terkini, lantas bagaimana wajah pemerintahan Indonesia dalam kurun lima tahun ke depan?
Untuk membahas hal ini, Forum Populi Edisi Pemilu 2019 pada Kamis (23/5) mengangkat tema “Pasca Penetapan Pemenang”. Dalam diskusi ini hadir Adi Abidin (Research Fellow Populi Center) dan Arya Fernandes (Peneliti CSIS).
Pada kesempatan pertama, Arya Fernandes mengatakan tahapan penetapan presiden terpilih 2019-2024 masih membutuhkan beberapa tahapan. Pertama, terdapat waktu 3×24 jam bagi pasangan yang keberatan terhadap hasil rekapitulasi KPU untuk melayangkan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, apabila terdapat gugatan maka MK akan melakukan sidang paling lama selama 14 hari. Artinya, pada 9 Juni 2019 nanti MK akan menetapkan putusan apabila terdapat gugatan, yaitu siapa yang akan menjadi presiden.
Menurut Arya, sejak awal pemilih berharap pasangan calon menunjukkan komitmen konstitusional yang jelas. Misalnya, pasangan nomor urut 02 sudah memberikan pernyataan untuk melakukan gugatan hukum melalui MK sedari pertama. Namun, pernyataan tersebut baru muncul kemarin setelah terjadinya demonstrasi. “Sebelum 21 Mei kita belum mendengar secara jelas (pasangan 02) menyampaikan itu. Tetapi, bahwa pasangan 02 sudah memberikan kepastian kepada publik untuk menyampaikan keberatan melalui MK, perlu kita apresiasi,” ujarnya.
Di sisi lain, Arya melihat adanya politik identitas memberikan peran dalam pemilu. Dari sisi pemilih, akunya, politik identitas membelah pemilih terutama di daerah yang cukup homogen. Ambil contoh, terjadi pengerasan di Aceh, Riau, Sumatera Barat, dan hampir seluruh Sumatera bila dibanding Pilpres 2014 lalu. Suara pasangan Prabowo-Sandiaga mengalami kenaikan yang cukup signifikan di wilayah Sumatera, sementara itu, untuk daerah-daerah Indonesia Timur suara Prabowo-Sandiaga mengalami penurunan yang cukup signifikan.
“Politik identitas ini tentu sangat merusak bangunan bernegara kita. Pemilih menjadi terbelah sekali. Daerah-daerah yang sebelumnya relatif polarisasinya tidak begitu besar, sekarang polarisasinya sangat besar,” terang Arya.
Adapun, Adi Abidin menambahkan masing-masing pihak yaitu pasangan 01 dan 02 mempunyai basis pemilih yang imbang. Pada satu sisi, wilayah barat Indonesia yaitu Sumatera, pasangan Prabowo-Sandiaga unggul dengan cukup dalam. Pada sisi lain, pasangan Jokowi-Ma’ruf unggul di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua.
Yang perlu menjadi catatan, lanjut Adi, adalah perhatian kepada masyarakat Indonesia yang majemuk. Maka dari itu, pembentukan kabinet periode kedua ini hendaknya tidak hanya memperhatikan unsur kepartaian. Akan tetapi, pemerintah terpilih harus memberikan tempat pada proporsi wilayah. “Saudara kita di Aceh, Papua, NTT misalnya, masih perlu kita berikan tempat dalam kancah nasional. Kita tidak tahu apabila nanti akan ada perpindahan ibukota,” tutur Adi. Untuk ke depan, Adi mengakui, perpolitikan Indonesia tidak bisa mengabaikan politik identitas. Politik identitas adalah pertarungan yang akan terus berlangsung. Oleh karenanya, dalam perhelatan pilpres ke depan hendaknya calon presiden Indonesia memiliki lebih dari dua kandidat. “Jadi memecah polarisasi ke berbagai pihak supaya tidak terlalu mendalam perbedaan di antara kita,” pungkasnya.
@ Populi Center 2021