Kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 dibuka dengan kegaduhan mahar politik. Kegaduhan ini bermula dari tudingan Partai Demokrat melalui Wasekjen Andi Arief yang mengatakan adanya politik uang yang diberikan Cawapres Sandiaga Salahudin Uno ke partai PKS dan PAN untuk melenggang dalam bursa Pilpres 2019. Tudingan ini apabila benar, maka dapat berujung panjang. Bukan hanya persoalan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu saja, melainkan juga pencederaan demokrasi secara keseluruhan. Pemilihan umum yang seharusnya berdasarkan pada asas jujur dan adil, ternyata hingga sekarang ini masih identik dengan politik uang. Apa yang dinamakan mahar politik? Bagaimana konsekuensi hukum isu mahar ini diletakkan dalam Pilpres 2019? Populi Center menyelenggarakan Forum Populi edisi Pemilu 2019 dengan mengusung tema “Mahar Politik Pilpres 2019” pada Kamis (16/8/2018) di Kantor Populi Center. Pada diskusi kali ini, Forum Populi menghadirkan pembicara Ray Rangkuti (Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia) dan Donal Fariz (Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW).
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti mengatakan kasus mahar politik yang terjadi saat ini bukan kali pertama. Pada waktu pilkada serentak 2018 lalu terdapat beberapa orang yang tersandera isu mahar politik. Salah satunya adalah Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur La Nyalla Mahmud Mattalitti di saat dirinya akan maju sebagai Calon Gubernur Jawa Timur. Kasus tersebut kemudian tidak mempunyai keputusan hukum yang jelas. Akibatnya, upaya untuk melakukan pelaporan pelanggaran pun disambut dengan keengganan oleh mereka yang menjadi korban politik. Bawaslu sebagai otoritas yang berwenang, menurut Ray, tidak mempunyai respon politik yang cepat. Hal ini kembali terulang pada kasus Andi Arief. Dalam permasalahan ini, terdapat bukti yang lumayan lengkap untuk diproses oleh Bawaslu. Pertama, pengakuan Andi Arief. Hingga saat ini Andi tidak pernah mencabut pengakuan tudingan mahar tersebut. Kedua, pernyataan Andi diperkuat oleh beberapa orang dari Partai Demokrat. Ketiga, alih-alih dicabut , Andi justru memberikan kronologi yang lebih jelas di mana ada 6 (enam) orang yang bertemu terkait mahar dan tiga di antaranya adalah Fadli Zon, Amir Syamsuddin, dan Syarief Hasan. Subjek-subjek lain tersebut dapat langsung dimintai keterangan oleh Bawaslu. “Bawaslu membiarkan ini mengambang. Lazimnya diperdebatkan seminggu lalu menghilang. Bawaslu tidak sensitif terhadap isu-isu ini,” ujar Ray.
Mengenai mahar politik sendiri, Ray menjelaskan, ada pengakuan Sandiaga yang menyatakan bahwa ada komitmen untuk membantu tim pemenangan. Komitmen inilah yang perlu ditelusuri lebih jauh. Apabila komitmen untuk membantu tersebut dilakukan setelah adanya rekening dana khusus kampanye, lalu ada pentransferan uang maka tidak menjadi masalah. Ini pun berhubungan dengan tim pemenangan yang tidak boleh secara langsung dibantu oleh kandidat dan harus melalui wadah dana kampanye. Namun, apabila komitmen ini dilakukan di depan dengan adanya transaksi uang maka termasuk dalam kategori mahar politik. Mahar politik ini, lanjut Ray, tidak hanya persoalan uang namun juga janji. Jika kandidat menjanjikan sesuatu kepada partai politik atau orang tertentu agar dirinya mendapatkan posisi tertentu dalam pencalonan, maka sudah termasuk dalam mahar. “Entah itu dieksekusi seketika atau berjarak (ada waktunya), itu sudah masuk dalam kategori mahar politik. Janji saja sudah masuk dalam kategori mahar dengan cukup dibuktikan kalimat itu keluar pada saat proses negosiasi,” ungkap Ray. Dalam persoalan ini, Ray menyarankan Bawaslu bisa bekerja sama dengan PPATK untuk melihat apakah sudah ada proses transaksi. Asalkan, Bawaslu mempunyai keinginan yang kuat.
Di sisi lain, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz mengungkapkan persoalan mahar politik dalam demokrasi elektoral khususnya pilpres akan terus terjadi sepanjang kita masih menggunakan presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden) sebesar 20%. Partai akan terpaksa untuk berkoalisi. Pada Pilpres 2014 lalu pun terjadi praktik mahar. Namun, perbedaannya adalah semua partai merasa gembira karena mendapat jatah dan pembagian yang sama. Di Pilpres 2019, terjadi pengungkapan mahar karena ada yang kecewa. Kondisi ini menggambarkan kondisi bahwa penegakan hukum hanya terjadi dan diawali dari pihak yang kecewa dan bukan karena inisiatif penyelenggara pemilu. Bawaslu, tutur Donal, mempunyai lipat ganda kewenangan yang besar untuk menindak pelanggaran.
Bawaslu pun bukan bekerja seperti layaknya delik aduan yang baru mengusut jika ada yang melapor. Tudingan mahar yang dilontarkan Andi Arief adalah fakta notoir yang sudah diketahui masyarakat umum, sehingga Bawaslu bisa bergerak memanggil nama-nama terkait. “Bawaslu RI dan PPATK pun sudah memiliki MoU. Jadi menurut saya kasus mahar politik ini ujian dan pertaruhan bagi kredibilitas Bawaslu bahwa mereka mampu menangani kasus pemilu,” terang Donal. Selaras dengan tanggapan Donal, Ray juga menyarankan agar Bawaslu tidak hanya menjadi pengawas pasif, tetapi juga harus mampu dalam menindak pelanggaran-pelanggaran pemilu. Mengenai penanganannya, Donal menerangkan, ada dua proses hukum yang bisa dilakukan bersamaan.
Bawaslu bisa mengambil ranah partai politik dan KPK bisa masuk ke ranah pemberi atau penerima mahar. KPK bisa masuk dalam kasus ini karena jika dilihat dari subjeknya, maka orang-orang yang terlibat adalah penyelenggara negara. Sandiaga Uno dan ketua partai politik terduga penerima mahar adalah penyelenggara negara. Maka dari itu, ICW dalam hal ini mendorong dua proses bersamaan dalam dugaan politik ini. Lebih lanjut, Donal bilang, penyebab terjadinya korupsi politik di Indonesia adalah transaksi politik yang transaksional baik itu di pilkada ataupun pilpres. Demokrasi sendiri murah namun perilakunya yang membuat mahal, baik itu dari perilaku partai yang suka mengambil uang, kandidat yang suka memberikan uang, ataupun pemilih yang juga suka meminta uang ketika akan mencoblos orang tertentu. “Demokrasi kita ini mahal karena perilaku,” pungkasnya.
@ Populi Center 2021