Populi Center dan Indonesia Visual Art Archive (IVAA) bekerjasama dalam sebuah diskusi dengan tema “Ke Timur Haluan Menuju: Mencari Jalan lain Kesenian Kita”. Diskusi ini berusaha membedah buku “Ke Timur Haluan Menuju” yang merupakah hasil penelitian tim Populi Center di Kepulauan Maluku. Acara ini dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 2 Oktober 2019 di Kantor IVAA Yogyakarta dan dihadiri oleh tiga narasumber yakni Ope’e Wardany, Phomat Wali, dan Hikmat Budiman. Adapun diskusi bedah buku kali ini dimoderatori oleh Yan Parhas.
Diskusi dibuka oleh Yan Parhas yang memberikan pengantar pentingnya buku “Ke Timur Haluan Menuju” dilihat dari perspektif seni. Hal ini didasarkan pada kritik ekosistem kesenian di Indonesia yang selama ini cenderung memihak pada pusat-pusat kesenian yang secara geografis berada di wilayah Indonesia bagian barat. Berbagai pertarungan wacana estetika, aktivisme, hingga pasar terjadi di ruang-ruang yang jauh dari Indonesia Timur. Situasi ini dapat ditafsirkan sebagai ketimpangan dalam dunia kesenian Indonesia. Konteks kesenian yang erat dengan lingkungan sosial, baik secara dialektik maupun bentuk fisik, sejatinya mampu berkontribusi dalam mengkonstruksi ide-ide tentang ke mana Indonesia harus berhaluan.
Ope’e mengawali diskusi ini dengan melihat bahwa dari buku tersebut kita dapat merefleksikan gerakan adat dengan gerakan lingkungan, mengingat yang terjadi di Indonesia di era modern saat ini adalah gerakan adat yang tidak terkoneksi dengan lingkungan, dan gerakan adat terkadang hanya dijadikan alat politik. Tipe-tipe kepempimpinan di Maluku yang tradisional, legal rasional, serta karimastik coba dieksploitasi sebagai senjata dalam memanfaatkan kepemimpinan adat sebagai alat kontestasi dalam politik modern. Berangkat dari hal ini, penting untuk melihat interkonektifitas sebuah karya yang seharusnya inheren dalam konteks pembangunan di Indonesia secara menyeluruh.
Phomat menambahkan bahwa berdasarkan pengalaman sebagai putra Maluku, dirinya hanya dikonstruksikan pada nilai-nilai yang erat kaitannya dengan konflik yang terjadi di Maluku. Buku ini menjadi sebuah pengantar bahwa ada nilai yang harus dilihat tentang Maluku, sehingga kita tidak terjebak pada studi-studi tentang Maluku yang hanya berbicara mengenai peperangan dan lain sebagainya.
Ia menambahkan bahwa kejayaan jalur perdagangan di masa lalu, tidak seharusnya turut menjebak kita pada konstruksi pengetahuan masa lalu. Kejayaan Maluku mungkin saat ini tidak terletak pada rempah, namun berada pada dimensi lain yang sebenarnya sadar atau tidak sadar, kita tidak mau menyentuhnya dikarenakan masih berkutat pada perspektif jalur perdagangan. Inilah tantangan kesenian ke depan, untuk melewati batas-batas pengetahuan masa lalu tersebut.
Hikmat Budiman berusaha merangkai apa yang menjadi perdebatan buku ini dengan konteks seni. Buku ini tidak mengharuskan Indonesia Timur atau Maluku sebagai lokus penelitian, harus menjadi tujuan bagi akademisi, seniman, atau siapa pun. Hasil penelitian ini adalah bentuk perhatian bahwa segala sesuatu jangan pernah dilihat tunggal, mengingat terdapat dimensi-dimensi lain yang harus dilihat dan ditempatkan dalam prioritas sebagai bagian dari komitmen berbangsa dan bernegara.
Memberi perspektif dari atau menuju ke Indonesia Timur bukan tanpa resiko, namun yang perlu digarisbawahi adalah semua tindakan atau hasil gerak manusia pasti memiliki resiko, tergantung bagaimana kita mengelola itu semua.
Selain itu, Indonesia Timur adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita, ia tidak berada di luar dari kehidupan kita, atau masa depan dan masa lalu kita. Melainkan ia adalah masa kini yang berada tepat di hadapan kita. Lalu kenapa Maluku? Ia adalah pendorong kita menjadi Indonesia, peran sentral Maluku dalam rempah mampu mengubah dunia, bahkan ia adalah cikal bakal dari wujud kapitalisme modern yang terjadi di dunia. Kenapa kita hari ini masih menjadi Indonesia, mungkin karena kita masih memiliki orang-orang yang secara tidak langsung menjadi obyek pelampiasan kemarahan kita. Orang di luar Jawa mencaci orang Jawa atau sebaliknya, orang Tionghoa menjadi sasaran kemarahan horizontal, atau kesukuan lain yang menjadi pelengkap diskursus dari perdebatan persatuan Indonesia.
Hal yang tidak kita sadari, mereka yang kita anggap berbeda adalah bagian langsung dari kehidupan kita, tidak terkecuali Maluku, yang mungkin kita anggap berada nun jauh di sana namun sebenarnya ia adalah bagian dari hidup kita saat ini. Demikian pula dengan seni, bentangan cakrawala harus dapat diekspresikan dengan seluas-luasnya. Horizon kesenian yang tidak mengenal jangkauan inilah yang dapat dimanfaatkan untuk mengeskpresikan wujud ke-Indonesiaan secara lebih merata.
Diskusi dibuka oleh Yan Parhas yang memberikan pengantar bahwa buku “Ke Timur Haluan Menuju” coba dilihat dari perspektif seni, hal ini didasari bahwa selama ini ekosistem kesenian di Indonesia cenderung memihak pada pusat-pusat kesenian yang secara geografis berada di wilayah Indonesia bagian barat. Berbagai pertarungan wacana estetika, aktivisme, hingga pasar terjadi di ruang-ruang yang jauh dari Indonesia Timur. Situasi ini dapat ditafsirkan sebagai ketimpangan dalam dunia kesenian Indonesia. Konteks kesenian yang erat dengan lingkungan sosial baik secara dialektik maupun bentuk fisik, sejatinya mampu berkontribusi dalam mengkonstruksi ide-ide tentang ke mana Indonesia harus berhaluan.
Ope’e mengawali diskusi ini dengan melihat bahwa dari buku tersebut kita dapat merefleksikan gerakan adat dengan gerakan lingkungan. Karena yang terjadi di Indonesia di era modern ini adalah gerakan adat yang tidak terkoneksi dengan lingkungan. Bagaimana gerakan adat terkadang hanya dijadikan alat politik. Tipe-tipe kepempimpinan di Maluku yang tradisional, legal rasional, serta karimastik coba dieksploitasi sebagai senjata dalam memanfaatkan kepemimpinan adat sebagai alat konstelasi politik modern. Berangkat dari hal ini, pentingnya kita melihat bahwa interkonektifitas sebuah karya seharusnya inheren dalam konteks pembangunan di Indonesia secara menyeluruh.
Phomat menambahkan bahwa berdasarkan pengalaman sebagai putra maluku, ia hanya dikonstruksikan pada nilai-nilai yang erat kaitannya dengan konflik yang terjadi di Maluku. Buku ini menjadi sebuah pengantar bahwa ada nilai yang harus dilihat tentang Maluku, sehingga kita tidak terjebak pada studi-studi tentang Maluku terdahulu yang hanya berbicara mengenai peperangan dan lain sebagainya.
Ia menambahkan bahwa kejayaan jalur perdagangan sudah masa lalu, dan kita sebagai manusia yang berpengetahuan tidak terjebak dari konstruksi pengetahuan masa lalu. Kejayaan Maluku mungkin saat ini tidak terletak pada rempah, namun berada pada dimensi lain yang sebenarnya sadar atau tidak kita tidak mau menyentuhnya karena masih berkutat pada perspektif jalur perdagangan, dan inilah tantangan kesenian ke depan, berusaha melihat apa yang seharusnya dilihat.
Hikmat Budiman berusaha merangkai apa yang menjadi perdebatan buku ini dengan konteks seni. Buku ini tidak mengharuskan bahwa Indonesia Timur, atau Maluku sebagai lokus penelitian harus menjadi tujuan bagi akademisi, seniman, atau siapa pun. Hasil penelitian ini adalah bentuk perhatian bahwa sesuatu jangan pernah dilihat tunggal, ada dimensi-dimensi lain yang harus dilihat dan ditempatkan dalam prioritas sebagai bagian dari berbangsa dan bernegara. Memberi perspektif dari atau menuju ke Indonesia Timur bukan tanpa resiko, namun yang perlu digarisbawahi adalah semua tindakan atau hasil gerak manusia pasti memiliki resiko, tergantung kita bagaimana kita mengelola itu semua.
Selain itu, Indonesia Timur itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita, ia tidak berada di luar dari kehidupan kita, atau masa depan dan masa lalu kita, melainkan ia adalah masa kini yang berada tepat dihadapan kita. Lalu kenapa Maluku? Ia adalah pendorong kita menjadi Indonesia, peran sentral Maluku dalam rempah mampu merubah dunia, bahkan ia adalah cikal bakal dari wujud kapitalisme modern yang terjadi di dunia. Dan kenapa kita hari ini masih menjadi Indonesia, mungkin karena kita masih memiliki orang-orang yang secara tidak langsung menjadi obyek pelampiasan kemarahan kita.
Orang di luar Jawa mencaci orang Jawa atau sebaliknya, orang Tionghoa menjadi sasaran kemarahan horizontal, atau kesukuan lain yang menjadi pelengkap diskursus dari perdebatan persatuan Indonesia. Namun yang tidak kita sadari, mereka yang kita anggap berbeda adalah bagian langsung dari kehidupan kita, tak terkecuali Maluku, yang mungkin kita anggap berada nun jauh di sana namun sebenarnya ia adalah bagian dari hidup kita kini. Pun demikian dengan seni, bentangan cakrawala harus dapat diekspresikan dengan seluas-luasnya. Horizon kesenian yang sangat tak kenal jangkauan inilah yang dapat dimanfaatkan untuk mengeskpresikan wujud ke-Indonesiaan secara lebih merata.