Genre : Dokumenter
Sutradara : Dhandy Dwi Laksono
Ko-Sutradara : Hellena Y. Suisa
Produksi : Watchdoc
Tahun Rilis : 2014
Durasi : 1 Jam 15 Menit
Awal saya melihat judul film dokumenter ini, saya berpikir kalau film ini akan membahas soal kontroversi Pemilihan Presiden tahun 2014. Dari judul film, terlihat jelas bahwa di tahun tersebut, Indonesia memang sedang menanti Presiden yang ketujuh. Masih hangat di benak masyarakat Indonesia soal perbedaan hasil hitung cepat antara pasangan calon Presiden nomor urut 1 (Prabowo Subianto-Hatta Rajasa) dan pasangan calon Presiden nomor urut 2 (Joko Widodo-Jusuf Kalla). Media sukses membelah suara masyarakat. Terbukti sampai sekarang masih saja ada sebutan Kampret dan Cebong untuk pendukung Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Padahal sudah hampir 6 (enam) tahun lamanya Pemilihan 2014 berlangsung, bahkan sudah ada Pemilihan Presiden terbaru yaitu tahun 2019. Namun tetap saja, sebutan ini masih terus ada.
Setelah saya menonton film yang berdurasi 1 jam 15 menit ini, ternyata hal utama dari film ini bukan soal kisruh Pemilihan Presiden 2014 saja. Film yang melibatkan 19 videografer tersebut ingin menggambarkan realitas masyarakat Indonesia yang notabene sebagai pemilih di Pemilihan Presiden 2014 sekaligus ingin memotret reaksi masyarakat terhadap Pemilihan Presiden. Dhandy merangkai film Yang Ketu7uh dengan apik dan antimainstream. Saat itu, mayoritas bahasan dan obrolan di media, baik media mainstream maupun media sosial, soal beda hasil hitung cepat dan seolah publik dibuat menunggu siapa pemenangnya dan mengapa bisa terjadi perbedaan hitung cepat tersebut. Namun, Dhandy melihatnya secara berbeda.
Ada empat orang yang disorot kehidupannya. Empat orang tersebut berasal dari daerah yang berbeda. Mereka adalah Suparno dan Sutara yang tinggal di Jakarta, Nita yang tinggal di Ciputat (Kota Tangerang Selatan, Banten), dan Amin Jalalen, penduduk Kabupaten Indramayu (Jawa Barat). Pemilihan tiga lokasi tersebut cukup menggambarkan kehidupan masyarakat di sisi lain Jakarta, di pinggiran Jakarta, dan di daerah, dengan biaya transportasi yang cukup efisien untuk memproduksi sebuah film.
Film ini sukses memotret sisi lain Jakarta. Di Jakarta yang dikenal sebagai kota megapolitan, dalam film ini digambarkan masih ada, bahkan cukup banyak, daerah-daerah kumuh. Kekumuhan ini menunjukkan bahwa memang benar anggapan orang soal kerasnya hidup di Ibukota, atau seperti ungkapan bahwa “Ibukota Lebih Kejam Dibanding Ibu Tiri”. Tempat tinggal kumuh Suparno di Jakarta bahkan lebih kumuh dibandingkan tempat tinggal Amin di Indramayu.
Tiap sosok dalam film ini memperlihatkan sisi-sisi perjuangannya masing-masing. Nita yang berusia 60 tahun, harus menghidupi lima orang anak dan cucu-cucunya. Padahal anak-anak Nita termasuk usia produktif dan Nita sudah tidak masuk kelompok usia produktif. Potret mengenai usia senja yang masih harus bertempur di dunia kerja dengan menjadi asisten rumah tangga harian seolah mendukung gambaran soal sulitnya memenuhi kebutuhan pokok yaitu pangan meski hidup di pinggiran Jakarta. Nita menjelaskan bahwa dia bekerja untuk makan hariannya. Dia pernah mendapat 400 ribu per bulan. Uang sebesar itu jauh dari cukup untuk tinggal di pinggiran Jakarta, mengingat harga bahan pokok yang tinggi.
Dhandy sukses membangun argumentasi mengenai kerasnya hidup di pinggiran Jakarta. Lalu, bagaimana dengan imaji hidup di Jakarta? Suparno dan Sutara yang tinggal di Jakarta digambarkan bekerja serabutan sebagai tukang bangunan dan tukang ojek. Dhandy tidak menyorot pekerjaannya, melainkan kebutuhan primer berupa tempat tinggal yang ditempati oleh Suparno dan Sutara. Dari tempat tinggal tersebut, Dhandy menggambarkan bahwa rumah Suparno dan Sutara jauh dari kata layak. Mereka tinggal di kawasan Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat. Rumah mereka berdua masing-masing hanya berukuran 6,65 meter persegi. Kamar mandi dan dapur pun berada di luar rumah. Lebih naasnya lagi, Sutara harus tinggal dengan lima orang anak dan seorang istrinya di ruang sesempit itu. Tokoh Amin yang digambarkan tinggal di Indramayu, digambarkan sebagai seorang petani penggarap. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, mayoritas penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan. Amin adalah satu dari antara penduduk yang mencari nafkah di lapangan kerja tersebut. Dalam film tersebut dikisahkan Amin yang mencari nafkah dengan menggarap tanah milik negara karena lahan pertanian sudah sangat sedikit.
Selain mengikuti keseharian empat tokoh tersebut dan menanyakan apa mimpi serta pilihan politiknya, film ini juga menceritakan soal perjalanan kampanye dari tahun 2009. Namun yang paling dominan digambarkan adalah sesuai dengan judul film yaitu perjalanan kampanye di tahun 2014 hingga beda hasil hitung cepat dan pengumuman pemenang Pemilu Presiden 2014. Imaji perjalanan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014 digambarkan secara hingar bingar seperti kampanye yang dipadati massa dan pidato yang berapi-api, serta beberapa simbol Pemilu seperti pemilihan nomor urut, suasana kantor KPU, suasana pencoblosan di TPS oleh masing-masing calon Presiden, hasil hitung cepat, hasil Pemilu hingga pidato kemenangan.
Secara preferensi politik, Dhandy cukup netral dalam membuat film ini. Dhandy memotret Joko Widodo dan Prabowo Subianto secara imbang. Dua tokoh tersebut yang menjadi satu sama lain dalam pemilihan presiden, memiliki porsi cerita yang sama. Ada gambaran soal kampanye Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang dihadiri lautan orang. Begitupun dengan partai politik peserta Pemilu 2014. Hingar bingar pesta rakyat betul-betul tergambar di film ini.
Film ini membawa penonton untuk berpikir ulang sebetulnya bagaimana hubungan interaksi antara para politikus dan masyarakat. Pola interaksi politikus dan masyarakat yang dibangun oleh Dhandy seolah mengamini teori Bruno Latour yaitu politik hal (dalam bahasa Jerman “dingpolitik” dan dalam bahasa Inggris “politics of things” ), sebagai pergeseran makna dari politik praktis (dalam bahasa Jerman dikenal sebagai “realpolitik”) atau politik yang tidak berakhlak/ bermoral. Politics of things atau politik-hal pertama kali dikemukakan oleh neologis di Jerman dan diterjemahkan sebagai serangkaian eksperimen yang berisiko dalam menyelidiki apa yang bisa berarti bagi pemikiran politik untuk membalikkan keadaan menjadi lebih realistis. Sementara itu, politik praktis dideskripsikan sebagai suatu yang materialis, tanpa basa basi, dan hanya minat semata.
Ada makna ganda dari visualisasi film terkait politik-hal. Di satu sisi, lewat visualisasi dari potret keinginan masyarakat soal pemimpin negeri, Dhandy ingin memberi pesan kepada para politikus, minimal mereka peduli terhadap kaum menengah ke bawah sehingga hubungan yang terbangun antara politikus dan pemilih kaum marginal merupakan hubungan simbiosis mutualisme: politikus mendapatkan suara dari kaum marjinal dan kaum marjinal mendapatkan keuntungan berupa peningkatan kesejahteraan hidup. Namun di sisi lain, seolah pesimis terhadap politik niat baik tersebut dan kembali lagi ke politik praktis, setelah adegan pidato kemenangan, digambarkan kehidupan kaum marjinal yang tidak berubah. Nita yang masih menjadi asisten rumah tangga harian, Suparno yang masih menjadi buruh bangunan harian, Sutara yang masih menjadi tukang ojek, dan Amin yang masih menjadi petani penggarap. Secara tersirat, film ini membangunkan kita dari mimpi indah akan politik niat baik dan kembali ke realitas nyata politik praktis di mana politikus mementingkan kelompoknya saja dan mengesampingkan tanggung jawab moral terhadap kaum marjinal ini.
Pesimisnya Dhandy terhadap politikus di negeri ini tidak terlepas dari imaji yang dibangun oleh media tentang politikus. Penelitian telah mengungkapkan bahwa penggambaran media tentang kelompok sosial dapat berkontribusi terhadap pengembangan dan pelestarian stereotip, sehingga memengaruhi interpretasi dan kecenderungan perilaku menuju target stereotip (Oliver, Hoewe, Ash, Kim, Chung, & Shade, 2014). Dalam konteks politik di Indonesia, kelompok sosial ini adalah politikus dan stereotip yang dimaksud adalah perbuatan buruk dari politikus seperti ingkar janji, korupsi, dan hanya mementingkan kelompoknya saja.
Jauh sebelum ada stereotip korupsi, media sudah sukses membuat priming effect stereotip tersebut. Jika hubungan kognitif yang kuat antara politikus dan korupsi sudah ada dalam ingatan, maka ketika masyarakat dihadapkan pada politik yang tidak bermoral, masyarakat sepertinya sudah lumrah dengan situasi tersebut. Media memang berpengaruh, namun di era yang berkembang seperti saat ini audiens seharusnya lebih cerdas dalam menghadapi priming effect media. Pandangan tersebut menurut saya bias karena dalam kenyataannya ada juga politikus baik meski jumlahnya sedikit. Pemikiran Bruno Latour tentu tidak mustahil. Seharusnya film Yang Ketu7uh lebih optimis dalam membangun argumentasi soal aktor politik di tanah air. Setidaknya masyarakat menjadi sadar bahwa mereka tidak boleh bias dalam melihat aktor politik dan membangun masyarakat untuk lebih percaya (trust) kepada aktor politik pilihan mereka. Atau paling tidak dengan menghadirkan harapan akan politik niat baik dalam film, aktor politik yang menonton film ini bisa lebih optimis dalam mengubah stereotip yang melekat pada diri mereka.
“Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama 1986-2017”. In Badan Pusat Statistik, Agustus 2017 <https://www.bps.go.id/statictable/2009/04/16/970/penduduk-15-tahun-ke- atas-yang-bekerja-menurut-lapangan-pekerjaan-utama-1986—2019.html>
Latour, Bruno. “From Realpolitik to Dingpolitik: How To Make Things Public”. Atmospheres of Democracy 1444,2005.
Arendt, F dan Marquart, F. “Corrupt Politicans? Media Priming Effects on Overtly Expressed Stereotypes Toward Politicians.” In Communications 40, no.2 (2015): 185-197