Penulis : Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt
Penerbit : Routledge
Tahun Terbit : 2015
Jumlah Halaman : 266 hlm.
Ini bukan tentang fenomena kampanye di tahun politik. Tidak pula tentang perebutan popularitas publik. Ini semua tentang perkembangan paradigma ilmu administrasi negara yang sangat dinamis dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir yang lekat dengan perang tagar.
Saling lempar tagar dalam ilmu administrasi negara dimulai dari terbitnya tulisan David Osborne dan Ted Gaebler yang berjudul “Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector” pada tahun 1991. Mereka menganggap bahwa sudah tidak jamannya lagi pemerintah atau negara memiliki peran dominan dalam penyediaan layanan publik kepada masyarakat. Pemerintah dianggap hanya cukup memberikan panduan dan arahan sebagai jaminan agar pelayanan publik dapat benar-benar dijalankan oleh sektor swasta. Semakin sedikit peran pemerintah, maka publik akan semakin mendapatkan pelayanan yang efisien. Hal ini karena sektor swasta dianggap memiliki keunggulan terkait mekanisme pasar persaingan sempurna yang dapat menghadirkan barang dan jasa berkualitas bagi konsumen. Oleh karenanya pemerintah hanya perlu berperan sebagai katalisator. Dari gagasan-gagasan tersebut kemudian muncul adanya jargon steering than rowing, enabling than providing serta delapan pokok gagasan lainnya mengenai New Public Management.
Nampak Osborne dan Gaebler sangat mendasarkan gagasan mereka pada mekanisme pasar. Mereka sangat terilhami oleh Adam Smith dengan pandangan neoklasik ekonomi yang berpegang pada prinsip laissez-faire and laissez-passer. Pemerintah sebisa mungkin tidak boleh melakukan intervensi terhadap pasar, biarkan mekanisme pasar menyelesaikan segala kebutuhan dan persoalan di masyarakat dengan sendirinya.
Gagasan lainnya dalam buku Reinventing Government adalah adopsi prinsip-prinsip kewirausahaan pada sektor-sektor publik. Masyarakat lebih dipandang dan diperlakukan sebagai customer. Begitu juga dengan cara kerja birokrasi pemerintahan yang harus lebih responsif terhadap masyarakat. Buku tersebut juga menjadi peletak dasar munculnya paradigma New Public Management (NPM) dalam ilmu administrasi negara.
Namun dengan adanya paradigma NPM tersebut, pemerintahan atau negara seolah dijalankan layaknya bisnis. Padahal tidak selayaknya urusan-urusan yang menyangkut pelayanan publik khususnya, dapat dijalankan menggunakan prinsip bisnis seperti pada yang disarankan oleh Osborn dan Gaebler. Denhardt dan Denhardt mencoba untuk mengkritisi prinsip-prinsip adopsi cara-cara kerja kewirausahaan/swasta dalam birokrasi pemerintahan. Terlebih tidak semua jenis barang adalah barang privat, melainkan ada juga barang publik, barang klub, dan barang komunal yang sudah tentu memiliki cara-cara khusus dalam pengelolaannya dan seluruhnya tidak dapat dikelola oleh sektor swasta, melalui mekanisme pasar.
Dalam sub bahasan buku New Public Services, nampak jelas Denhardt dan Denhardt berfikir sangat dikotomis dan dengan gamblang menentang segala jargon yang disampaikan Osborn dan Gaebler. Pada chapter 1, yang berjudul Public Administration and the New Public Management, diulas bagaimana pentingnya menghadirkan sebuah perilaku dan penekanan baru dalam sebuah gerakan pembaharuan ilmu administrasi negara yang Denhardt dan Denhardt sebut sebagai New Public Service (NPS). Mereka menekankan hal yang paling signifikan dan berharga dalam ilmu administrasi negara adalah bagaimana kita melayani warganegara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Aparatur pemerintahan memiliki tanggungjawab meningkatkan kesehatan masyarakat, menjaga keselamatan publik, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan berbagai tugas lainnya. Bukan efisiensi yang ditekankan oleh Denhardt dan Denhardt, akan tetapi kontribusi pada kehidupan yang lebih baik untuk semua kalangan.
Pernyataan Denhardt dan Denhardt tentang persoalan kesehatan adalah hal empiris. Ketika kesehatan dipandang sebagai barang privat ketimbang barang publik, maka peran swasta lebih besar dalam menyediakan pelayanan tersebut. Pada akhirnya orientasi pelayanan berubah menjadi orientasi bisnis. Keuntungan menjadi motivasi utama sektor swasta dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Alhasil akan tercipta sebuah mekanisme harga berdasar permintaan dan penawaran akan layanan kesehatan. Dalam permintaan agregat, harga keseimbangan tercermin dari agregasi individu-individu dalam pasar layanan kesehatan. Tetapi jika ditarik pada level disagregat, maka tidak semua orang sejatinya mampu membayar layanan kesehatan pada harga keseimbangan pasar. Yang terjadi kemudian tidak semua masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan dapat tertangani dengan baik. Apabila kemudian diterapkan diskriminasi harga oleh pihak produsen layanan kesehatan, maka otomatis tidak semua masyarakat yang mendapatkan layanan kesehatan dengan harga murah akan mendapatkan kualitas layanan yang setara dengan mereka yang mampu membayar dengan harga yang lebih mahal (contoh: penerapan kelas layanan rumah sakit).
Pemahaman mengenai Old Public Administration (OPA) sedikit diulas dalam chapter 1 tulisan Denhardt dan Denhardt. Woodrow Wilson, yang dikenal sebagai peletak dasar paradigma OPA menekankan dua aspek penting perkembangan ilmu adaministrasi. Pertama, dikotomi politik dan administrasi dalam ilmu administrasi negara, karena pejabat publik yang dipilih melalui mekanisme politik harus bersifat netral dalam menjalankan fungsi administrasi. Kedua, fokus penekanan pada struktur untuk menciptakan kerja organisasi publik yang efisien. Tak heran jika Wilson menekankan dua hal tersebut karena kala itu memang kerja-kerja organisasi publik tidak testruktur dan cenderung tanpa terencana, serta sarat kepentingan politik elektoral. Sebelum kemudian NPM dengan sepuluh prinsip utamanya, dikenal sebagai paradigma yang menyempurnakan kehadiran OPA. Kala itu kerja-kerja birokrasi dianggap sangat kaku dan sulit menerima perubahan dan melakukan inovasi untuk pelayanan publik.
Pada chapter 2 dibahas mengenai akar dari NPS yang lebih meletakkan dasar epistimologis pada teori demokrasi dengan cara pandang positivistik, intepretatif, dan kritis. Kepentingan umum dalam NPS dipandang sebagai hasil dari dialog tentang nilai bersama, dibanding NPM yang menekankan pada agregasi atas kepentingan individu. Sedangkan NPS memandang masyarakat sebagai citizen bukan sebagai customers seperti dalam NPM, atau clients and constituents dalam cara pandang OPA. Alhasil pemerintah harus berperan sebagai pelayan dengan menegosiasikan dan menjembatani kepentingan antara citizens dan community groups dalam menciptakan nilai bersama. Sehingga NPS lebih membangun koalisi antara publik, aktor nonprofit dan agen swasta untuk mencapai kesepakatan bersama dalam pemenuhan kebutuhan publik. Bedahalnya dengan NPM yang melihat persoalan publik hanya dipenuhi melalui penciptaan mekanisme antara agen publik dan privat, layaknya perlombaan perahu naga, pemerintah di depan (steering) dan swasta di belakang (rowing).
Chapter 3 berisi mengenai ulasan tagar yang sangat berlawanan dari tulisan Osborn dan Gaebler yakni serve citizen, not customers. Penekanan Denhardt dan Denhardt adalah pentingnya pemerinah untuk tidak secara ekslusif mementingkan sisi egois individu (customers) dalam mengakses layanan publik yang pada akhirnya menekankan logika “ada uang maka ada barang”, seperti layanan yang diberikan oleh pihak swasta. Pemerintah juga harus memastikan bahwa semua warga negara harus dilayani tanpa terkecuali apakah ia mampu atau tidak dan apapun status maupun golongannya.
Chapter 4 berisi mengenai pemaknaan kepentingan umum yang bukan dibangun atas tujuan pencarian solusi jitu berdasar pilihan individu akan tetapi dibentuk atas kepentingan dan tanggungjawab bersama. OPA melihat pelayanan publik sebagai proses teknis yang bebas nilai oleh karenanya kepentingan umum dianggap sebagai rasionalisasi proses pengambilan keputusan sebagai wujud pengejawantahan kehendak publik. NPM yang popular pada tahun 1980-an hingga 1990-an, melihat pemerintah harus menciptakan arena pasar atas pilihan individu (yang dipandang sebagai customers) yang dalam mengambil keputusan tidak memandang kepentingan sesamanya. Sehingga, secara otomatis tak ada perbincangan mengenai kepentingan umum di dalamnya. NPS dalam memandang kepentingan umum mencoba melakukan langkah-langkah deliberatif dengan meletakkan tanggung jawab kepada aparatur pemerintah untuk memastikan penyelesaian masalah publik dijalankan berdasar keadilan dan kesetaraan.
Pada chapter 5, Denhardt dan Denhardt mencoba mengeksplorasi nilai citizenship dibandingkan dengan entrepreneurship. Kunci utama dalam NPS adalah pada pengejawantahan pemerintahan demokratis dan keterlibatan masyarakat dalam setiap kebijakan publik. Kritik pedas terhadap NPM secara gamblang disampaikan bahwa kepentingan umum lebih baik dijalankan dengan aparatur pemerintah yang memiliki kemauan untuk berkontribusi kepada warganegara dibandingkan manajer swasta yang seolah-olah uang masyarakat adalah miliknya.
Sub bahasan selanjutnya pada chapter 6, menekankan bahwa kebijakan dan program untuk kepentingan publik secara efektif tercapai melalui aksi kolektif dan kolaboratif. Hal ini menekankan pada NPS yang mencoba menggunakan cara-cara deliberatif dan komunikasi kepada publik untuk menentukan nilai dan kepentingan bersama. Perdebatan teoritik antara NPM dan NPS tentu tidak hanya sekedar persoalan semantik. NPS menekankan bahwa program kebijakan tidak hanya harus difokuskan pada efisiensi dengan cara pandang penghematan biaya semata, tetapi bagaimana membuat semua pihak bergerak serempak dalam menyelesaikan persoalan publik nampak lebih efisien dari pada hanya sekedar persoalan penghematan biaya dalam kacamata NPM.
Chapter 7 selanjutnya membahas mengenai akuntabilitas. Denhardt dan Denhardt menekankan bahwa memahami akuntabilitas dalam lingkup NPS tidaklah sederhana, aparatur pemerintah harus lebih memperhatikan pasar, mereka juga harus memperhatikan peraturan perundang-undangan, konstitusi, nilai-nilai komunitas, norma politik, standar prodesi dan kepentingan warganegara. Oleh karenanya akuntabilitas adalah hal yang kompleks karena aparatur pemerintah harus bertanggungjawab kepada semua pihak. Sedangkan menurut Denhardt dan Dengardt OPA maupun NPM terlalu sederhana dalam memandang akuntabilitas publik yang hanya berdasar kepada serangkaian prosedur maupun mengedepankan tindakan pasar.
Serve rather than steer merupakan topik bahasan dalam chapter 8. Kepemimpinan diulas dalam chapter ini secara mendalam dalam mewujudkan pelayanan publik yang prima bagi masyarakat. Terdapat kesepakatan bahwa model kepemimpinan tradisional yang top-down seperti yang diterapkan pada organisasi militer sudah tak lagi relevan pada masyarakat modern. Hal ini karena kini dinamika di masyarakat sangatlah tinggi dan dibutuhkan kerjasama antar berbagai sektor serta kreatifitas dalam menyelesaikan masalah publik. Sehingga, butuh organisasi publik yang adaptif dan fleksibel dari pada sebelumnya. Denhardt dan Denhardt menuntut aparatur pemerintah untuk mengembangkan kepemimpinan yang berbeda terkait administrasi negara dibandingkan dengan OPA maupun NPM. Paling tidak, peran pemimpin publik adalah (1) untuk membantu masyarakat dan warganya memahami kebutuhan dan potensi mereka, (2) untuk mengintegrasikan dan mengartikulasikan visi komunitas dan berbagai organisasi yang aktif di bidang tertentu, dan (3) bertindak sebagai pemicu atau stimulus untuk bertindak. Rekonseptualisasi kepemimpinan publik ini diuraikan secara beragam sebagai kepemimpinan bersama, kepemimpinan berbasis nilai, dan kepemimpinan street-level. Diskresi lebih dibutuhkan dalam kepemimpinan publik NPS, dibanding OPA yang lebih kaku dan struktural dan NPM yang mana kepemimpinan tidak melekat pada diri seseorang melainkan keteraturan layanan publik dibentuk dari sistem insentif yang diterapkan.
Pada chapter 9, Denhardt dan Denhardt membahas persoalan nilai yang dalam NPS lebih penting dikedepankan ketimbang sekedar produktivitas seperti dalam NPM. Organisasi publik dinilai akan berhasil dalam jangka panjang jika mereka dioperasikan melalui proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama yang menjunjung tinggi penghormatan kepada semua orang. OPA menggunakan kontrol untuk menciptakan produktivitas, sedangkan NPM menggunakan insentif untuk mendorong produktifitas.
Selanjutnya, chapter terakhir berupa praktik-praktik empiris NPS yang ada di Amerika yang menggambarkan bagaimana perlunya memikirkan kembali proses, struktur dan aturan organisasi untuk membuka akses dan partisipasi kepada masyarakat dalam setiap proses tata kelola layanan publik. Tugas kedepan, Denhardt dan Denhardt menekankan bagaimana aparatur pemerintah dapat menjawab pertanyaan seperti Bagaimana kita akan memperlakukan tetangga kita? Apakah kita akan bertanggung jawab atas peran kita dalam pemerintahan yang demokratis? Apakah kita mau mendengarkan dan mencoba memahami pandangan yang berbeda dari kita sendiri? Apakah kita rela melupakan kepentingan pribadi kita demi orang lain? dan Apakah kita mau berubah pikiran?. NPS sedang dan akan terus direalisasikan baik dalam momen kecil maupun aktivitas besar, dalam percakapan dan pernyataan publik, dalam aturan formal dan perilaku informal. Kunci NPS adalah bagaimana mencoba untuk meningkatkan layanan dan keterlibatan warga negara dalam persoalan publik.
Menyimpulkan, Denhardt dan Denhardt telah mencoba menghadirkan kerangka teoritis yang memberikan prioritas penuh terhadap demokrasi, kewarganegaraan dan pelayanan dalam kepentingan umum. NPS hadir sebagai alternatif terhadap pendekatan tradisional dan model dominan managerial dalam mengelola publik. Pengakuan dan keterlibatan kewarganegaraan sangat penting untuk pemerintahan yang demokratis dalam NPS. Kewarganegaraan penting karena tidak hanya menyangkut kepentingan pribadi, tetapi juga melibatkan nilai-nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap orang lain. Warga negara dipandang sebagai pemilik pemerintahan dan mampu bertindak bersama dalam mengejar tujuan yang lebih besar.
Selain tulisan Denhardt dan Denhardt yang mengkritik NPM, terdapat tulisan Osborne (2010) tentang The New Public Governance yang hadir dalam melengkapi gagasan NPM dan melihatnya sebagai batu pijakan untuk sebuah gagasan baru yang disebut sebagai NPG. Meski tak menyinggung NPS sama sekali sebagai sebuah gagasan baru dalam administrasi negara paska NPM, NPG sama sama mengedepankan prinsip deliberatif. Namun, tulisan mengenai NPG tak lebih komprehensif dalam mengkritisi NPM layaknya NPS karena hanya berupa tulisan bunga rampai yang diuntai dalam lima pokok bahasan mengenai, sosio-politik pemerintahan, tatakelola kebijakan publik, tata kelola administrasi, tata kelola kontrak, dan tata kelola jaringan. NPG memandang sifat negara secara plural, beda halnya dengan paradigma NPM yang lebih sebagai regulator. Pada akhirnya fokus NPG lebih kepada penciptaan lingkungan kelembagaan yang lebih mendorong kajian New Institutional Economic ketimbang NPM yang hadir dalam kerangka neo klasik sebagai nirinstitutional theory.
Tulisan dalam buku The New Public Service bagi saya memberikan perspektif yang bagus dalam membenahi celah-celah kosong yang tidak mampu dijawab oleh kehadiran NPM dalam pengelolaan kepentingan umum. Meski bagi beberapa pihak seolah perdebatan yang muncul dalam paradigma-paradigma ilmu administrasi negara tersebut tak lebih dari sekedar semantik, akan tetapi dalam praktik administrasi, tulisan Denhardt dan Denhardt begitu juga dengan tulisan Osborn dan Gaebler (1992) dan Osborne (Ed.) (2010) perbedaannya sangat kontras sekali dalam tataran praktik. Hal ini karena paradigma tersebut dibangun atas dasar empiris yang terjadi di era tulisan-tulisan mengenai hadirnya OPA, NPM, NPS dan NPG. Kita tidak bisa memandang bahwa masing-masing paragidma tersebut meniadakan satu dengan lainnya. Meski Denhardt dan Denhardt sangat baik dalam memaparkan pergeseran dan perbedaan dari OPA, NPM dan NPS. Kunci dalam pengelolaan kepentingan umum adalah upaya mengkontekskan persoalan yang terjadi. Tentu organisasi militer tidak cocok menerapkan prinsip NPM yang sangat berorientasi bisnis ataupun NPS yang menekankan diskresi dalam pandangan street-level leadership. Begitu juga dengan pengelolaan kesehatan di rumah sakit yang tidak bisa dengan cara NPM yang pada akhirnya cenderung diskriminatif karena menekankan public interest pada personal interest, begitu juga dengan OPA yang sangat strukturalis dan anti diskresi. Pada akhirnya perang tagar yang terjadi antara penggemar OPA, NPM, NPS maupun NPG bukan hanya sekedar persoalan semantik dalam ilmu administrasi negara.
Denhardt, Janet V. dan Dehardt, Robert B. 2015. The New Public Service: Serving not Steering 4th Edition. New York: Routledge.
Osborn, David dan Gaebler, Ted. 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. New York: Plume.
Osborne, Stephene P. 2010. The New Public Governance: Emerging Perspectives on The Theory and Practice of Public Governance. New York: Routeldge.