Book Review: Pembiayaan Perang dan Pembentukan Negara

Rafif Pamenang Imawan

Rafif Pamenang Imawan

Coercion, Capital, and European States, AD 990-1990

Penulis              : Charles Tilly

Penerbit            : Basil Blackwell Publisher

Tahun Terbit       : 1990

Jumlah Halaman : 278 hlm.

Pembiayaan perang mempengaruhi pembentukan negara. Demikian thesis statement Charles Tilly (selanjutnya ditulis Tilly) di bukunya yang berjudul “Coercion, Capital, and European States, AD 990-1990” dalam upaya menjelaskan bagaimana pembentukan negara di daratan Eropa. Di antara banyak hal yang berkembang dan berperan penting pada kurun waktu 990-1990, terdapat dua komponen penting pembentukan negara, yakni kapitalisme dan militer/instrumen paksaan. Keduanya bertemu dalam satu agenda bersama, yakni pembiayaan perang. Perang membutuhkan pembiayaan yang berasal dari perkembangan kapitalisme, pun demikian dengan kapitalisme yang membutuhkan perlindungan dari militer. Dalam buku ini, Tilly memberikan deskripsi menarik terkait bagaimana proses menjadi (menggunakan process tracing) sebuah negara. Utamanya dilihat dari bagaimana kekuasaan (power) dikonsolidasikan dan terkonsolidasikan.

Kembali ke rentang studi Tilly, pada medio 990-1990. Apabila kita membuat kembali lampiran sejarah perkembangan konsepsi negara-bangsa di Eropa daratan. Kita akan menemui kisah bagaimana kekuasaan terfragmentasi secara tidak merata. Kekuasaan ada pada suku-suku yang mendiami suatu wilayah yang kecil. Suku tersebut lambat laun membutuhkan perlindungan dari suku atau kekuatan lain yang memiliki kekuatan militer yang memadai. Tidak heran apabila kemudian sejarah Eropa daratan dikenal sebagai sejarah tanah berdarah, pembantaian, ekspansi wilayah, hingga hilangnya suku lain demi perebutan pengaruh.

Sejarah perkembangan Eropa daratan ini berkebalikan dengan sejarah perkembangan daratan luas di seberang Samudra Atlantik. Di daratan ini, terdapat konflik berdarah yang melibatkan komunitas-komunitas demi perebutan pengaruh dan wilayah. Sengitnya pertempuran yang terjadi antar komunitas, hingga Martin Scorsese mensutradarai Gangs of New York, sebuah film yang bercerita bagaimana perebutan kekuasaan di five points kawasan Manhattan. Alur cerita berujung pada kelompok yang tersisih dari arena five points tersebut. Pengaruh komunitas dan pembagian wilayah di dataran ini direkam pula oleh Alexis de Tocqueville, seorang sarjana hukum yang melakukan observasi di dataran ini. Hasilnya, meski terdapat pertumpahan darah, namun dikarenakan luas wilayahnya, maka konsensus dan pembagian wilayah antar kelompok dimungkinkan (Tocqueville, 2003). Dataran ini kelak dikenal sebagai Amerika Serikat.

Eropa memiliki luas wilayah yang terbatas. Akibatnya perebutan wilayah antar suku tidak dapat dihindarkan. Beberapa hilang, melebur dalam pengaruh negara, ada beberapa yang serasa melebur namun sebenarnya masih memegang entitas lama, seperti kasus Catalan di Spanyol. Proses konsolidasi kekuasaan ini menjadi fokus Tilly. Awal uraian gagasannya berangkat dari bagaimana mengejawantahkan konsepsi negara. Pada soal terminologi ini, Tilly memiliki definisi negara yang menyerupai konsepsi otoritas dalam Max Weber. Negara dipahami sebagai satu-satunya organisasi yang dapat menggunakan instrumen paksaan guna mengontrol otoritas kekuasaan, populasi, dan wilayah kekuasaannya. Dalam upaya membangun argumentasinya, Tilly menggunakan pendekatan process tracing dengan melacak perkembangan historis materialismenya, antara perkembangan kapitalisme dan militer.

Pada mulanya, keduanya tidak tumbuh dan berinteraksi pada ruang yang sama. Kapitalisme tumbuh terutama di kota-kota kecil yang berada di wilayah pinggir (periphery). Kekuatan militer berada di kerajaan yang berada di pusat suatu wilayah. Selain disokong oleh kekuatan militer, kerajaan memiliki pengaruh yang kuat dalam kuasa gereja. Meminjam istilah Louis Althusser, seorang filsuf Marxis, dengan perangkat kekuasaan tersebut, negara telah memiliki apparatus ideologisdalam diri gereja dan apparatus represif dalam diri militer (Althusser, 2007). Kedua mode kuasa ini tidak bergerak dengan waktu bersamaan. Ketika gereja kehilangan pengaruh dalam mengontrol masyarakatnya, maka militer mulai mengambil peran untuk menciptakan tertib sosial.

Proses pembentukan negara dalam argumentasi Tilly, berada pada tiga cara dominan, meliputi tendensi perkembangan melalui jalur militer, melalui jalur penguatan kapitalisme, atau melalu jalur kombinasi antara keduanya. Pada tendensi pertama, dominasi militer terhadap suatu wilayah diperkuat dengan cara mengambil otoritas kekuasaan di wilayah-wilayah pinggiran. Wilayah semakin diperluas, namun di sisi lain, pengelolaan kekuatan militer semakin terpusat. Tendensi kedua, dominasi pengembangan kapitalisme. Perkembangan kapitalisme yang berada di kota-kota kecil pada akhirnya mendorong perluasan wilayah untuk mendapatkan pengaruh. Di dalamnya turut terbentuk kelas sosial baru, yakni kelas menengah yang memiliki tuntutan perluasan wilayah.

Tendensi terakhir ada pada kombinasi antara instrumen militer dan kapitalisme. Pada kombinasi model ini, kota yang telah berkembang kegiatan ekonominya, semakin membutuhkan pula keamanan untuk menjamin aktivitas ekonomi yang ada tidak terganggu. Pada sisi sebaliknya, kebutuhan perluasan wilayah kekuasaan, membutuhkan kegiatan ekonomi untuk mendukungnya. Pada titik ini pembiayaan perang menjadi agenda bersama, sehingga symbiosis mutualism terbentuk. Kombinasi keduanya memberikan pengaruh pada pembentukan instrumen-instrumen sosial lainnya, seperti pajak, kewajiban warga, serta tertib sosial.

Proses Pembentukan Negara

Dalam kerangka penjelasannya, proses pembentukan negara pada mulanya mengacu pada dua cara utama. Pertama, proses pembentukan negara dari bawah (bottom up). Proses dari bawah ini lekat dengan tendensi kapitalisme yang telah dipaparkan di paragraf sebelum ini. Pada intinya, perkembangan pasar yang dinilai akan mendorong terbentuknya negara. Kedua, proses pembentukan dari atas (top down ). Proses dari atas ini lekat dengan tendensi pengembangan militer. Tilly coba untuk keluar dari penjelasan yang telah ada dengan mengatakan bahwa proses pembentukan negara merupakan tarik menarik antara proses pembentukan dari bawah dan dari atas. Dalam bahasa yang berbeda, konsolidasi kekuasaan interaksi yang dinamis antara pengembangan kapitalisme dan militer-lah yang membentuk negara.

Dilihat dari bagaimana kekuasaan terkonsolidasikan, Tilly membaginya menjadi empat fase, meliputi fase patrionalisme, fase broker, fase nasionalisasi dan fase spesialisasi. Keempat fase tersebut terkelompokkan dalam dua kategori besar, yakni kategori (tantangan) internal dan kategori (tantangan) eksternal (Lihat Grafik 1). Pada kategori internal, fase yang termasuk di dalamnya adalah fase patrionalisme dan fase broker. Fase patrionalisme merujuk pada peran signifikan dari suku-suku yang ada. Kedaulatan pada fase ini masih terfragmentasi pada kekuatan-kekuatan kecil dalam bentuk suku. Fase broker, fase ini merujuk pada perkembangan kapitalisme, masyarakat telah memulai membangun sistem saling pinjam antar warga. Perkembangan sosial pada fase ini diikuti pula oleh pembentukan kelas-kelas sosial.

Pada kategori eksternal, fase yang termasuk di dalamnya adalah nasionalisasi dan spesialisasi. Fase nasionalisasi merupakan kelanjutan dari pengembangan kapitalisme. Pada fase ini, negara sudah mulai membangun kekuatan militer, menyusun sistem administratif, dan mendorong sistem fiskal. Perkembangan ini tidak dapat lepas dari tantangan untuk melindungi pengembangan kapitalisme yang telah ada dari kekuatan eksternal. Fase selanjutnya, spesialisasi, merupakan fase ketika terdapat pemisahan antara militer dan kegiatan fiskal. Sekali lagi, pembeda utama ada pada konsolidasi kekuasaannya. Fase internal menyoal konsolidasi ke dalam, fase eksternal menyoal bagaimana kekuasaan dikelola demi ambisi yang lebih besar, seperti ekspansi wilayah negara.

Tilly masuk pada kesimpulan akhir. Upaya mempertahankan perkembangan kapitalisme sembari tetap melakukan ekspansi wilayah di Eropa daratan, pada akhirnya mendorong terbentuknya sistem-sistem penunjang lainnya, seperti sistem sewa dan pajak. Perkembangan ini memiliki konsekuensi besar bagi konsepsi-konsepsi penting yang berkembang selanjutnya, sebut saja konsep kewarganegaraan (citizenship). Di bagian akhir bukunya, Tilly memfokuskan pada persoalan pembentukan negara (state making) di negara dunia ketiga. Fokus utama ada pada bagaimana negara-negara terbentuk di kawasan ini, mengingat struktur kekuasaan di negara dunia ketiga merupakan konsekuensi dari terbaginya dunia dalam dua blok besar, blok barat dan timur dalam periode perang dingin. Dalam bacaan saya, menurut hematnya, negara-negara dunia ketiga memiliki tendensi militer namun sedikit terseok-seok dalam pengembangan kapitalismenya. Tentu hal ini berdampak pada proses pembentukan maupun hasil proses tersebut atas negara yang berdiri.

Kolonialisme dan Ketimpangan Politik Internasional

Sebelum saya mencoba melihat limitasi dari kajian Tilly, saya akan coba untuk melihat bagaimana kontribusi kajian ini. Sebagai sebauh karya, buku ini memberikan gambaran yang utuh dengan argumentasi yang meyakinkan, terutama bagi para pembaca yang hendak mengetahui bagaimana sebuah kajian dengan pendekatan process tracing dilakukan. Selain proses penulisannya yang memakan waktu yang tidak sedikit, kerangka yang dibangun oleh Tilly masih relevan dalam hal membaca bagaimana negara-negara sulit terbentuk atau terkonsolidasikan di era modern. Pada masa modern ini, paska kolonialisme, banyak negara-negara yang kesulitan untuk mengatur secara internal negaranya, maupun secara terus menerus menghadapi tantangan global (kepentingan ekonomi politik internasional) dalam upaya konsolidasinya.
Mari ambil contoh negara-negara di Afrika. Kita ambil kasus Somalia, sebuah negara yang indah dengan latar halaman samudra Hindia, namun dikenal pula sebagai penghasil bajak laut yang ditakuti. Somalia menjadi negara yang menghadapi persoalan tidak terkonsolidasinya kekuasaan di dalam negeri. Disamping pula, tentu saja, tekanan dari sistem internasional yang semakin menyulitkan konsolidasi terbentuk. Stabilitas politik dan eksploitasi pada politik identitas memegang peranan penting dalam konsolidasi kekuasaan, terlebih terdapat benturan yang kuat antara ikatan-ikatan agama di Somalia dan agenda internasional. Pada akhirnya negara berdiri di kelompok-kelompok kecil yang menjalankan cara pemerintahannya sendiri (self governing community).

Tidak ada pengembangan kapitalisme yang memadai di kota-kota. Instrumen kekerasan hanya dikuasai oleh satu kelompok suku. Terdapat intervensi kekuasaan internasional melalui UN untuk dapat mendorong perubahan dari atas (top down ) di negara ini. Dengan banyaknya fragmentasi kekuasaan ini, maka konsolidasi kekuasaan pada dasarnya tidak tercapai. Kasus-kasus seperti terjadi di Somalia menunjukkan bahwa kekuasaan terlalu terpusat pada suku-suku. Penjelas bahwa pembiayaan perang (dalam kasus ini menciptakan stabilisasi dalam negeri) memang relevan, namun Tilly tidak melihat bahwa suku dan ideologi dapat memainkan peranan penting dalam menghambat pembentukan negara. Meski memiliki kekurangan, kerangka dari Tilly banyak membantu kita untuk melihat bagaimana proses dan elemen pembentukan sebuah negara.
Limitasi dari kajian dari Tilly ada pada perlunya secara hati-hati melakukan kontekstualisasi untuk membaca bagaimana negara modern saat ini. Tilly telah menjelaskan bahwa pembiayaan perang menjadi faktor yang membentuk sebuah negara, namun Tilly lupa bahwa ekspansi dari negara-negara di Eropa daratan tidak hanya berada di wilayah itu saja. Keperluan proses pembiayaan perang mendorong negara-negara di Eropa daratan untuk mendirikan negara-negara koloni di belahan bumi bagian selatan, melingkupi India hingga wilayah Asia Selatan. Pola ekspansi kolonialisasi mengikuti komoditas dunia apa yang saat itu sedang dominan. Tidak heran apabila kemudian sampai ada kapal bangsa Portugis yang bersandar di Banda Neira, demi sebuah pala, komoditas utama pada waktu itu.

Dengan kata lain, struktur internasional telah timpang sejak awal, sejak kolonialisme mengambil peran. Dengan ketimpangan struktur yang ada, maka dinamika internal pembentukan negara tidak akan pernah sama. Proses kemerdekaan Indonesia tidak dibangun dari suku yang saling bunuh dan menjatuhkan. Kebalikannya, proses kemerdekaan Indonesia dibangun dari terbentuknya kelas sosial pribumi terdidik akibat dari praktik politik etis. Lapis kelas sosial inilah yang kemudian menciptakan, meminjam istilah Bennedict Anderson, imajinasi terkait Indonesia. Oleh karenanya, dengan melihat upaya penjelasannya, kerangka penjelas dari Tilly relevan dalam menjelaskan unsur-unsur pokoknya, namun kehilangan daya penjelasnya dalam konteks negara-negara post-colonial.


Daftar Pustaka

Althusser, L. (2007). Filsafat sebagai Senjata Revolusi. Resist Book.
De Tocqueville, A. (2003). Democracy in America. Regnery Publishing.
Tilly, C. (1990). Coercion, Capital, and European States, AD 990-1990. Oxford: Blackwell.

Bagikan Postingan:

Ikuti Info Rana Pustaka

Terbaru

Copyright @ Populi Center
id_IDIndonesian