Genre : Drama-Comedy
Sutradara : R. Balki
Tahun Rilis : 2018
Durasi : 140 Menit
“Jika hati bersih, semua akan bersih,” begitu kata Gayatri ketika suaminya, Lakshmikant Chauhan, memarahi dirinya yang menggunakan kain kotor saat menstruasi. Lakshmi merasa begitu kesal sekaligus sedih saat mengetahui istri yang teramat ia cintai itu menggunakan kain kotor sebagai ganti dari pembalut. Saking kotornya kain tersebut, Lakshmi bahkan enggan menggunakannya untuk sekedar mencuci sepeda. Sebagian besar perempuan di India bernasib sama dengan Gayatri. Penelitian mengungkapkan 89% perempuan di India masih menggunakan kain ketika menstruasi, sisanya sebanyak 2% menggunakan kapas (2%), 7% menggunakan pembalut, dan 2% menggunakan abu ketika menstruasi (Pallapothu, 2018). Bukan masalah jika kain yang dipergunakan adalah kain bersih. Namun, akan jadi masalah ketika kain yang digunakan adalah kain kotor yang dicuci ala kadarnya kemudian dijemur tanpa terkena sinar matahari langsung. Mitos, kesalahpahaman, serta stigma di India akan menstruasi yang membutakan kesehatan perempuan adalah isu yang coba diangkat dalam film Pad Man.
Pad Man adalah sebuah film yang terinspirasi dari kehidupan Arunachalam Muruganatham. Dia adalah seorang aktitivis sosial dari sebuah desa kecil di Tamil Nadu yang memperkenalkan pembalut berbiaya murah untuk perempuan di India. Ide pembalut murah tersebut berawal dari keprihatinan Muruga terhadap istrinya yang menggunakan kain kotor saat menstruasi. Oleh sutradara R. Balki kisah hidup Muruga dan sang istri diadaptasi menjadi kisah pasangan Lakhsmi dan Gayatri. Kehidupan pernikahan keduanya mulai diuji ketika sang suami mulai mempersoalkan praktik menstruasi yang tidak sehat yang dilakukan oleh sang istri.
Padman menjadi film yang menarik karena cukup berani mendemonstrasikan praktik menstruasi yang tidak sehat di India sebagai konsekuensi dari mitos, kesalahpahaman, serta stigma negatif akan menstruasi. Selama ini diskusi tentang perempuan, tubuh perempuan, apalagi soal cairan tubuh perempuan di India tidak menjadi topik yang umum untuk dibahas, bahkan dianggap menjijikan atau seringkali dijadikan bahan komedi misoginis. Salah satu mitos soal menstruasi yang diyakini di India adalah kain bekas menstruasi memiliki kemampuan jahat. Jika laki-laki melihat kain tersebut, baik dalam keadaan kering atau pun sebaliknya, laki-laki bisa kehilangan kemampuan untuk melihat alias buta. Mitos yang lain, jika seekor anjing, ular, atau sapi menemukan kain bekas menstruasi yang harus dibuang dengan cara dikubur di tanah, maka pengguna kain tersebut tidak akan bisa hamil (Garg, Goyal, & Grupta, 2012).
Dua mitos tersebut membuat perempuan diharuskan untuk mencari tempat tersembunyi untuk menyimpan kain, yang sering kali kondisinya cukup gelap, lembab, serta tidak higienis. Mencuci dan menjemur kain menstruasi pun harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi, jangan sampai siapa pun melihat kain tersebut. Hal ini dipraktikan oleh Gayatri di awal film, ia menjemur kain menstruasi yang baru saja dicucinya di bawah baju lain. Menjemur kain tanpa terkena sinar matahari membuat kain menstruasi menjadi lembab. Penggunaan kain yang lembab ini berpotensi menimbulkan masalah kesehatan yang serius, seperti infeksi saluran reproduksi, penyakit radang panggul, bakteri, kanker serviks, HIV/AIDS, interfilitas, kehamilan ektopik, bahkan hingga kematian (Garg et al, 2012).
Selain mitos, perempuan di India juga harus menghadapi stigma negatif atas menstruasi. Umat Hindu di India mengganggap menstruasi sebagai sesuatu yang kotor atau bisa mencemari kemurnian seseorang (Garg et al, 2012). Hal ini kemudian memunculkan berbagai jenis larangan terhadap perempuan selama masa menstruasi. Gayatri serta adik iparnya tidak diperkenankan untuk keluar rumah, termasuk untuk ke pasar pun ke sekolah. Perempuan harus mengisolasi diri, tidak boleh mengerjakan pekerjaan rumah tangga, hadir dalam kegiatan keagamaan, menghadiri kegiatan keagamaan, perkawinan, berhubungan seksual, atau sekedar menyentuh anggota keluarga laki-laki di rumah (Garg et al, 2012). Aturan ini berlaku selama darah kotor masih keluar dari tubuh perempuan yang kurang lebih berlangsung dari lima sampai tujuh hari. Jika dilanggar, masyarakat India percaya akan ada petaka yang datang. Ini artinya, sebut saja menstruasi berlangsung selama lima hari, perempuan di India kehilangan waktu untuk produktif selama 60 hari atau 2 bulan dalam satu tahun hanya karena menstruasi.
Sebagai seorang suami, Laksmi merasa tak tega melihat istrinya kesulitan harus mengasingkan diri selama menstruasi. Ia akhirnya memutuskan untuk membelikan Gayatri pembalut di apotek yang transaksinya jual belinya hampir sama dengan perdagangan narkoba atau organ tubuh manusia. Pembalut di India dijual dengan harga mahal. Hal ini membuat pembalut menjadi barang ekslusif yang hanya bisa diakses oleh kelas sosial tertentu. Menyerahkan pembalut pun harus dilakukan secara diam-diam serta sebisa mungkin tidak diketahui oleh orang lain. Susah payah Lakshmi membeli pembalut berakhir amarah dari Gayatri. Dia meminta suaminya itu segera mengembalikan pembalut tersebut ke tempat di mana ia membelinya. Selain karena harganya mahal, alasan Gayatri adalah takut kepada sang mertua yang pasti akan marah besar dan menyalahkannya jika mengetahui anak laki-lakinya itu ikut campur urusan perempuan, apalagi menyoal menstruasi.
Lakshmi memutar otak dan mencari akal supaya Gayatri bisa hidup sehat dengan pembalut tanpa perlu khawatir akan harganya yang mahal. Ia pun berinisiatif untuk membuat pembalut sendiri dari bahan kapas, kain, juga lem. Namun, keterbatasan pengetahuan membuat pembalut buatan Lakshmi selalu gagal. Gayatri yang selama ini menjadi kelinci percobaan Lakshmi untuk mencoba pembalut buatannya pun sudah lelah dan meminta suaminya untuk berhenti. Tidak lagi didukung Gayatri, Lakshmi meminta tetangganya untuk menjajal pembalut buatannya. Tentu saja, permintaan Lakshmi itu langsung membuat heboh seantero permukiman.
Maskulinitas dan budaya patriarki yang mengental di masyarakat India ditampilkan dalam film ini. Ibunda Lakshmi marah besar begitu mengetahui anak laki-lakinya tidak hanya memikirkan namun membuatkan pembalut untuk Gayatri. Laki-laki dianggap tidak boleh tahu serta ikut campur urusan perempuan, apalagi soal menstruasi. Stigma yang melekat pada laki-laki yang tertarik dengan urusan perempuan adalah mesum atau cabul. Satu persatu tetangga pun mulai menjauh hingga akhirnya mereka sepakat untuk mengusir Lakshmi yang dianggap memiliki kelainan seksual. Gayatri pun dijadikan pihak yang disalahkan oleh mertuanya atas pengusiran ini. Dia dianggap memberikan pengaruh buruk terhadap Lakshmi. Gayatri dan Lakshmi yang terhitung sebagai pasangan yang baru menikah pun akhirnya memutuskan untuk berpisah.
Diusir dari kampung halaman tidak meredam semangat Lakshmi. Ambisinya malah semakin membesar. Ia tidak hanya ingin menciptakan pembalut murah untuk istrinya, tapi juga untuk adik perempuannya dan seluruh perempuan di India. Selain pendidikan serta kesadaran akan kesehatan yang rendah, kemiskinan adalah penyebab lain perempuan di India, terutama mereka yang tinggal di perdesaan atau daerah-daerah tertinggal, tidak memiliki akses untuk pembalut. Untuk itu, Lakhsmi bercita-cita untuk menciptakan mesin sederhana yang bisa memproduksi pembalut dengan harga murah. Lakshmi pun mulai berkeliling ke berbagai perguruan tinggi untuk mengembangkan idenya, browsing di internet, hingga akhirnya bertemu dengan Pari Walia.
Pari adalah putri dari seorang professor yang menjadi partner Lakhsmi dalam mempromosikan pembalut murah buatan Lakshmi. Cara yang ditawarkan Pari adalah dengan merekrut ibu-ibu rumah tangga untuk menjual pembalut tersebut dengan metode door-to-door. Metode ini terbilang cukup berhasil. Selain berhasil memperluas jangkuan pengguna pembalut murah, perekrutan ibu-ibu rumah tangga juga membuat mereka mandiri secara finansial. Pari juga meminta Lakhsmi untuk memamerkan mesin buatannya tersebut dalam ajang pameran inovasi di Delhi. Singkat cerita, penemuan Lakshmi diakui sebagai ‘Inovasi yang Mengubah Hidup Tahun Ini’ oleh para juri. Mesin buatannya pun disebar ke seluruh desa di India dan berhasil mempermudah kehidupan perempuan untuk mengakses pembalut murah yang higienis. Tanpa Pari, Lakshmi mungkin hanya akan berakhir sebagai pria mesum di mata masyarakat.
Stigma soal menstruasi dan manajemen menstruasi adalah dua masalah penting yang berhubungan dengan perempuan, yang biasanya keduanya itu saling berbanding terbalik satu sama lain. Semakin besar stigma dalam masyarakat, biasanya manajemen menstruasinya semakin buruk. Johnston Robledo dan Chrisler mengatakan bahwa stigma menstruasi dapat ditantang lewat budaya populer. Contonya karya seniman Vanessa Tiegs dan Petra Paul, keduanya menggunakan darah menstruasi di kanvas untuk membuat karya seni yang indah dan menarik, museum virtual Harry Finley di mana ia mengumpulkan cerita perempuan dan artefak budaya tentang menstruasi, Ani DiFranco (1993) Blood in the Boardroom, dan buku Inunt Muscio (2002). Pad Man adalah tambahan penting untuk repertoar yang sudah ada.
Lewat film Pad Man, pesan yang ingin disampaikan bahwa masalah yang terjadi di kehidupan perempuan, seperti stigma buruk akan menstruasi serta praktik menstruasi yang tidak sehat, penyelesaiannya bukan hanya menjadi tanggung jawab perempuan. Diperlukan keterlibatan seluruh pihak, termasuk laki-laki, untuk menyelesaikan masalah tersebut. Perubahan sosial dan transformasi sikap mengenai topik-topik yang dianggap tabu seperti menstruasi dapat terjadi jika laki-laki ikut berpartisipasi di dalamnya. Pad Man mengajak laki-laki untuk ikut berpartisipasi memerangi praktik menstruasi yang tidak sehat. Jika negara-negara barat memiliki pahlawan super seperti Spider Man, Batman, hingga Antman, maka India memiliki Pad Man. Pad Man mengungkapkan bahwa tidak semua pahlawan super memerlukan adegan tembak-menembak, entri yang dramatis, atau patah tulang. Manusia biasa bisa menjadi pahlawan super dengan inovasi luar biasa yang membawa dampak besar bagi kehidupan manusia.
Garg, R., Goyal, S., & Gupta, S. (2012). India moves towards menstrual hygiene: Subsidized sanitary napkins for rural adolescent girls – issues and challenges. Maternal and Child Health Journal, 16(4), 767–774.
Johnston-Robledo, I., & Chrisler, J. C. (2013). The menstrual mark: Menstruation as social stigma. Sex Roles, 68(1–2), 9–18.
Singh, Shailendra Kumar. 2019. Interrogating Stigma: Menstrual Management and Maternal Masculinity in R. Balki’s Padman, Women’s Reproductive Health, 6:2, 118-127.