Penulis : Arief Ihsan Rathomy
Penerbit : Research Center for Politics and Government (PolGov)
Tahun Terbit : 2006
Jumlah Halaman : 236
Pada pertengahan tahun 2018, ketika persaingan politik jelang pemilu mulai memanas, muncul sebuah video yang berisi ajakan untuk mengganti presiden dan juga mengganti sistem. Suara takbir “Allahuakbar” yang muncul setelahnya seolah membawa pesan, bahwa ajakan tersebut merupakan misi mulia agama Islam yang penting untuk dilakukan. Ajakan tersebut disampaikan oleh Ismail Yusanto, jubir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Mardani Ali Sera, salah seorang pejabat teras PKS.
Saya tidak hendak membahas aspek hukum dari ajakan yang diduga makar tersebut. Pun tidak ingin mendiskusikan eksploitasi agama di ruang publik, termasuk dalam ranah politik elektoral. Hanya saja kebersamaan Mardani Ali Sera dengan Ismail Yusanto, yang dalam video tersebut tampak sangat akrab, rasanya sulit dibayangkan terjadi pada masa-masa sebelumnya, terutama pada medio tahun 2000-an. Meski pun sama-sama berpijak pada gerakan islam, keduanya memiliki kecenderungan yang berseberangan. Perbenturan kepentingan PKS dan HTI terasa jelang pemilihan umum; ketika PKS berjuang menjaring sebanyak-banyaknya pemilih muslim, terutama di perkotaan dan kampus-kampus, HTI mengkampanyekan agar umat islam Indonesia menolak demokrasi, termasuk pemilu. Perang dingin di antara mereka pernah penulis rasakan sewaktu aktif di HMI pada masa kuliah dulu. Di tingkat kampus, organisasi mantel PKS dan HTI, yakni KAMMI dan Gema Pembebasan, seringkali berseteru ketika pertemuan antar-ormas mahasiswa terutama ketika menyikapi isu-isu yang bersinggungan dengan agenda ke-islaman. Tidak jarang, kehadiran yang satu menjadi penyebab ketidakhadiran yang lain dalam rapat aliansi mahasiswa.
Mengapa PKS dan HTI berbeda dalam memaknai demokrasi dan pemilu? Apa yang melatari perbedaan tersebut? Adakah persamaan diantara mereka? Buku Arief Ihsan Rathomy yang berjudul PKS dan HTI : Genealogi Pemikiran Demokrasi, merupakan salah satu karya akademik yang mengulas perbandingan antara kedua organisasi tersebut. Secara garis besar, buku ini membahas kemunculan dua organisasi islam tersebut beserta perbedaan pandangan keduanya terhadap demokrasi.
Lahirnya gerakan islam politik tidak bisa lepas dari beberapa peristiwa penting di negara-negara islam. Peristiwa pertama ialah pendudukan bangsa Yahudi ke tanah Palestina, yang kemudian memunculkan solidaritas di kalangan umat islam hampir di seluruh dunia. Kemenangan bangsa Yahudi, yang kemudian mendirikan negara Israel, memancing kemarahan umat islam. Terlebih karena pendudukan tersebut terdapat campur tangan negara-negara Barat, yang pada gilirannya membawa sikap anti Barat, termasuk sistem demokrasi.
Kemudian peristiwa kedua yang tidak kalah penting ialah meletusnya revolusi islam di Iran tahun 1979. Revolusi yang dimotori oleh para ulama/mullah Iran ini seolah menjadi contoh bagaimana agama islam dan negara terintegrasi sebagai iman dan hukum yang mengatur urusan dunia. Iran sendiri, melalui tokoh kharismatiknya Khomeini, secara gencar ‘mengimpor’ gagasan revolusi di negeri-negeri muslim lainnya dalam rangka menentang dominasi negara-negara Barat. Peristiwa revolusi ini kemudian mempengaruhi banyak negara, mulai dari Timur Tengah, hingga Asia Tenggara, menembus sekat mahzab sunni-syiah.
Peristiwa lainnya ialah digagalkannya kemenangan partai FIS (Front Islamic du Salute) di Aljazair pada tahun 1991. Saat itu FIS secara mengejutkan berhasil memenangkan pemilu lokal, dan kemudian pemilu nasional putaran pertama. Pencapaian partai fundamentalis islam ini disebut-sebut memunculkan kekhawatiran negara-negara Barat. Kemenangan FIS pada pemilu putaran kedua yang sudah di depan mata pun dibatalkan oleh pemerintah. Sementara kejadian yang hampir sama menimpa Partai Refah dan tokohnya Necmetin Erbekan di Turki tahun 1996. Pada pemilu yang digelar tahun sebelumnya, Partai Refah berhasil mengantarkan Erbekan menjadi Perdana Menteri. Namun keberhasilan tersebut dianggap mengancam kekuatan politik sekuler. Atas tuduhan mengembalikan islam sebagai ideologi dan menentang sekulerisme, Partai Refah dibubarkan, dan Erbekan pun dicopot dari jabatannnya.
Akibat dari berbagai peristiwa tersebut, gerakan revivalis islam menjadi semakin yakin bahwa untuk mengembalikan kejayaan Islam, demokorasi bukanlah arena yang sepenuhnya bersahabat untuk mencapai cita-cita tersebut. Sebagian kelompok gerakan islam yang lebih moderat mencoba belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut dengan tetap berada dalam koridor demokrasi. Sebagian lainnya, semakin mantap berada dalam posisi menolak demokrasi.
Sementara itu di dalam negeri, kelompok gerakan islam politik muncul bukan saja terpengaruh beberapa peristiwa diatas, melainkan juga oleh dinamika hubungan negara dan islam. Penulis buku menyebutkan beberapa peristiwa utama yang melatarbelakangi kemunculan gerakan revivalis islam, yaitu kekalahan terus menerus kelompok islam politik hingga sebelum tahun 1980an; represifitas negara terhadap aktifis dakwah kampus dan kalangan islam pada umumnya pada tahun 1980an; mulai diakomodirnya kepentingan umat islam oleh negara pada awal tahun 1990an, dan; tumbangnya Orde Baru dan kemunculan berbagai organisasi/kelompok sebagai wujud demokratisasi di tahun 1998, termasuk diantaranya PKS dan HTI.
Cikal bakal kemunculan PKS tidak bisa dipisahkan dari gerakan tarbiyah yang mulai muncul di kampus-kampus umum pada pertengahan 1970an. Masjid Salman ITB disebut-sebut sebagai tempat awal mula gerakan tarbiyah, melalui Lembaga Mujahid Dakwah yang dibentuk Imaduddin Abdurahim, mantan aktifis HMI. Ali Said Damanik (2002) menyebut kegiatan LMD yang cenderung puritan tersebut mengajak para mahasiswa untuk mewujudkan islam secara holistik dan nyata dalam kehidupan. Kegiatan dilakukan dengan metode usrah, sebuah kelompok-kelompok kecil berisi 5 – 20 orang yang dipimpin oleh seorang ustad, yang biasanya mahasiswa paling senior. Materinya terbagi menjadi dua bagian, yaitu pembentukkan karakter pribadi muslim, dan pembentukkan karakter aktifis gerakan. Pada perkembangannya, gerakan ini kemudian menyebar luas ke kampus-kampus lainnya di beberapa kota besar. Metode usrah rupanya dilakukan juga oleh sisa-sisa anggota Darul Islam yang bertujuan membentuk negara islam Indonesia. Hal ini membuat kegiatan usrah dicurigai oleh pemerintah, dan sejak itu aktifitas dakwah islam dikampus dilakukan di bawah tanah.
Pada tahun 1990an, ketika Orde Baru mulai berkompromi dengan kalangan islam, gerakan tarbiyah telah berhasil menempatkan orang-orangnya di posisi strategis di organisasi kemahasiswaan di kampus-kampus besar. Di saat yang hampir bersamaan, kalangan intelektual islam di Indonesia mulai bersentuhan dengan ide-ide gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir, yang dibawa oleh para sarjana lulusan Timur Tengah dan Mesir yang dulu diinisiasi Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDiI). Organisasi ini dibentuk oleh Mohammad Natsir tidak lama setelah keinginan rehabilitasi Partai Masyumi ditolak Orde Baru. Para lulusan Timur Tengah inilah kemudian aktif terlibat di gerakan tarbiyah di kampus-kampus, dan gencar menerbitkan buku-buku karangan tokoh IM seperti Sayyid Quthb, Hasal Al Banna, dan lain-lain.
Ketika akhirnya Orde Baru tumbang, para aktifis gerakan tarbiyah memanfaatkan momentum perubahan sosial politik tersebut dengan mendirikan Partai Keadilan, yang pada tahun 2003 kemudian berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera.
Sementara itu cikal bakal HTI kurang lebih mirip dengan PKS. Penyebarannya di Indonesia diyakini pada awal tahun 1980an melalui Abdurrahman Al Baghdadi, aktifis HT asal Australia keturunan Yordania, ke pondok pesantren Al Ghazali di Bogor. Kedatangannya ke Indonesia atas permintaan pemilik pondok pesantren yaitu Abdullah bin Nuh, dosen Universitas Indonesia, untuk menetap dan mengajar di pesantrennya. Sebagai bagian dari gerakan internasional Hizbut Tahrir, gagasan tentang pembentukkan khilafah Islamiyah menjadi tema sentral. Seperti hal nya kelompok tarbiyah, penyebaran gagasan HTI melalui masjid kampus, dalam hal ini Masjid Al Ghifari di IPB. Proses penyebaran ide-ide HTI dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena represifnya pemerintah Orde Baru terhadap kelompok-kelompok islam. Selain membentuk pengajian dalam bentuk halaqah-halaqah, aktivisnya juga menerbitkan bulletin-buletin seperti Al-Wa’ie dan Al-Islam. Tidak lama gagasan yang dibawa HT menyebar ke kampus-kampus lainnya, seperti Unpad, UI, ITB, Unhas, Unair dan lainnya. Iklim kebebasan berserikat dan berpendapat setelah Suharto jatuh membuat kelompok HTI berani menyampaikan ide khilafah Islamiyah secara luas, bersaing dengan ide-ide kebangsaan lainnya yang juga muncul. Konferensi Internasional Khilafah Islamiyah pada tahun 2000 di Senayan menandai eksistensi HTI secara terbuka.
Dalam diskursus hubungan islam dan negara, persoalan kedaulatan rakyat selalu menjadi perdebatan karena pengakuan terhadap hal tersebut seringkali diartikan menegasikan sumber hukum yang diwariskan nabi, yaitu Al Qur’an dan Hadis. Secara prinsip, PKS tidak setuju dengan kedaulatan rakyat dalam konteks suara rakyat adalah suara Tuhan, karena kedaulatan yang hakiki ialah milik Allah. Argumen dari pendapat ini didasarkan pada kepercayaan dalam islam bahwa alam dan seluruh isinya adalah ciptaan Allah. Dengan demikian setiap muslim wajib hukumnya menjalankan Syariah (aturan) yang telah ditetapkan Allah, dan wajib menolak aturan yang dibuat oleh manusia terutama yang bertentangan dengan Syariah. Meski demikian, PKS berpendapat saat ini belum ada sistem ideal yang dapat menjamin terlaksananya penerapan hukum-hukum Allah setelah era Nabi Muhammad dan para sahabat. Oleh karenanya, umat islam harus memanfaatkan pilihan-pilihan yang ada, termasuk sistem demokrasi yang hari ini berlaku. Dengan memanfaatkan sistem demokrasi, perjuangan PKS ialah agar kedaulatan rakyat yang menjadi prinsip dasar demokrasi, tidak bertentangan dengan kedaulatan Allah. Berkaitan dengan itu, keterlibatan PKS dalam sistem demokrasi ialah dalam rangka mempengaruhi pengambilan kebijakan agar produk kebijakan tidak bertentangan dengan Syariah.
Keterlibatan PKS dalam demokrasi dilandasi oleh prinsip bahwa islam menuntut agar setiap muslim untuk memberi perhatian pada seluruh persoalan umat dengan memanfaat sarana demokrasi. Keterlibatan PKS dalam demokrasi tentu memiliki konsekuensi-konsekuensi, termasuk ialah pengambilan keputusan melalui suara terbanyak. Dalam prinsip one man one vote tersebut, bukan tidak mungkin demokrasi melahirkan pemimpin atau kebijakan yang jauh dari syariat islam, seperti misalnya isu mengenai LGBT, legalisasi judi, dan sejenisnya. Agar produk demokrasi dapat menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan Syariah, maka menempatkan wakil-wakil rakyat di parlemen sebanyak mungkin menjadi penting.
Menurut PKS, terdapat kesesuaian nilai antara islam dan demokrasi. Pertama yaitu adanya ruang untuk berpartisipasi. Meski pun demokrasi bukanlah sistem yang berasal dari islam, namun demokrasi merupakan pintu masuk untuk berdakwah, yang memungkinkan pelibatan umat untuk mengelola pemerintahan. Kemudian kesesuaian nilai yang kedua ialah dalam demokrasi terdapat ruang untuk saling mengingatkan dan memberi nasihat. Dalam hal ini, demokrasi memungkinkan umat untuk mengkoreksi para wakil atau pemimpinnya apabila kebijakannya melenceng dari nilai-nilai islam. Sementara mengenai kesetaraan gender dalam politik, PKS berpendapat keterlibatan perempuan dalam parlemen masih dibolehkan, dengan pengecualian pada posisi presiden.
Secara garis besar, pemikiran PKS yang moderat tentang demokrasi banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir, seperti Hasan Al Banna dan Yusuf Qardhawi. Pendapat PKS mengenai demokrasi sebagai sarana untuk melakukan dakwah dan perbaikan persoalan umat merupakan buah pemikiran Al Banna. Metode usrah sebagai sarana kajian keislaman juga terinspirasi dari pemikiran tokoh IM tersebut. Sementara itu, buah pemikiran Yusuf Qardhawi yang mempengaruhi PKS dalam memandang demokrasi ialah Fikih Prioritas. Fikih ini menjadi pijakan bagi PKS untuk melakukan kompromi dan toleransi atas berbagai realitas yang ada hari ini, yaitu sistem politik yang kufur atau tidak sesuai dengan Syariah islam. Keterlibatan umat islam dalam sistem politik sekuler tidak hanya dimaknai sebagai bagian dari mencegah kemungkaran yang lebih parah, melainkan sebagai strategi jangka panjang untuk menciptakan sistem islam yang sesungguhnya.
Sementara itu HTI memiliki pandangannya sendiri mengenai demokrasi. Jika PKS banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh IM, sikap dan pandangan HTI terhadap demokrasi dipengaruhi oleh tokoh utama dan pendirinya, terutama Taqiyuddin Nabhani dan Abdul Qadim Zallum. Dari pandangan kedua orang tersebut, HT secara organisatoris berpendapat bahwa kaidah yang ada dalam demokrasi tidak dikenal dalam islam, sehingga penggunaan istilah tersebut dapat menimbulkan kerancuan interpretasi, yang berpotensi bertentangan dengan islam. Ketidaksesuaian utama antara islam dan demokrasi ialah pada prinsip kedaulatan rakyat. Dalam demokrasi, apa-apa yang diinginkan rakyat ialah sumber hukum, sementara dalam islam, sumber hukum hanyalah dari Allah. Oleh karena itulah HT memandang demokrasi sebagai sistem yang kufur karena tidak bersumber dari islam.
Secara politik, HT berpendapat demokrasi adalah kedok bagi negara-negara kafir barat untuk melakukan penjajahan kepada negeri-negeri muslim, dengan demikian siapa pun yang mendukung demokrasi berarti turut mendukung upaya kolonialisasi negara barat. Terlibat dalam demokrasi juga berarti menunda-nunda tujuan menciptakan sistem politik dan pemerintah yang berlandaskan islam. Konsekuensi dari sikap tersebut ialah HT menolak berpartisipasi dalam demokrasi. Sikap ini berlaku di seluruh cabang-cabang HT di negara mana pun. Agenda politik utama HT ialah merombak keseluruhan sistem demokrasi yang berlaku, dan menggantinya dengan sistem yang sesuai dengan ketentuan islam dengan Al Qur’an sebagai pedoman hukum.
Selain pengaruh pemikiran Taqiyuddin Nabhani dan Abdul Qadim Zallum, HT juga sepertinya dipengaruhi oleh pandangan pemikir islam lain, terutama Sayid Quthb dan Al Maududi. Pengaruh Quthb, yang merupakan salah satu tokoh IM, nampak pada pandangan HT mengenai istilah demokrasi dan sumber kedaulatan. Bagi Quthb, seorang muslim harus meletakan islam diatas semua ideologi buatan manusia, karena semua buatan manusia bersifat temporal dan dapat berubah sewaktu-waktu, sementara ajaran islam, yang didalamnya telah mengatur segala urusan, berlaku sepanjang masa. Pandangan mengenai kedaulatan oleh Quthb senada dengan Al Maududi. Menurutnya, pengakuan terhadap kedaulatan rakyat sebagai sumber hukum berarti mengesampingkan kekuasaan Tuhan. Oleh karena itu, Al Maududi menyebut kedaulatan rakyat dalam demokrasi adalah sesuatu yang menyekutukan Tuhan, atau bahkan meniadakan Tuhan sama sekali.
Islam dan demokrasi di Indonesia selalu menjadi topik yang menarik untuk dikaji. Betapa tidak, di negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia ini demokrasi langsung dipraktekkan. Meski pun begitu, bukan berarti demokrasi telah diterima oleh seluruh penduduknya, karena sejarah juga menunjukkan bahwa dalam perjalanannya, disrupsi terhadap demokrasi terjadi beberapa kali. Kehadiran buku ini melengkapi salah satu disrupsi tersebut, dengan menjadikan PKS dan HTI sebagai objek.
Pandangan PKS dan HTI terhadap demokrasi banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh intelektual Mesir dan Timur Tengah, yang membuat keduanya memiliki pandangan yang lebih kritis dalam menilai demokrasi. Oleh sebab itu karakter keduanya juga berbeda dengan organisasi atau partai politik berbasis pemilih muslim di Indonesia, seperti NU, Muhammadiyah, PPP, PAN, PKB dan lainnya. Organisasi dan partai-partai politik tersebut boleh dikatakan telah menerima demokrasi, meminjam istilah Przeworski (1991), sebagai ‘the only rule of the town’.
Penerimaan PKS terhadap kedaulatan rakyat terkesan samar-samar karena pemilik kedaulatan ialah Tuhan. Namun karena demokrasi telah menjadi kenyataan objektif yang tidak terhindarkan, maka PKS melakukan kompromi, bahwa keterlibatan dalam demokrasi bersifat sementara sambil melakukan dakwah dan perbaikan-perbaikan aturan agar sesuai dengan syariat islam. Sayangnya, meski pun penulis buku mendapatkan data primer melalui wawancara dengan tokoh-tokoh utama PKS, tidak disebutkan contoh-contoh kiprah PKS dalam sistem demokrasi dengan cara pandang seperti itu. Akibatnya, perbedaan antara PKS dan partai politik lainnya tidak terlihat, sekalipun jika dibandingkan dengan sesama partai-partai politik berbasis pemilih islam. Namun jika melihat terbitan tahun buku ini, yaitu 2006, barangkali memang belum ada yang bisa ditunjukkan karena baru dua tahun setelah pemilu 2004, pemilu pertama setelah bertransformasi menjadi PKS, yang kemudian menghasilkan fraksi di DPR. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa penerimaan PKS terhadap demokrasi bersifat sementara, karena sistem ideal berdasarkan islam belum ada setelah era Nabi Muhammad dan para sahabat. Oleh karena itu, tidak salah jika mengatakan ada sesuatu yang bersifat laten dalam diri PKS, yaitu bahwa partai ini berpotensi mengkhianati demokrasi.
Sementara HTI sebaliknya, mereka menolak berpartisipasi dalam demokrasi. Secara prinsipil, HTI tidak bisa menerima kedaulatan rakyat dalam demokrasi, yang dianggap mengesampingkan, atau bahkan menghilangkan sama sekali kedaulatan Tuhan. Sikap ini sarat dengan muatan ideologis, terutama nilai-nilai ketauhidan. Satu hal yang menarik dari uraian buku ini ialah bahwa pada perkembangannya HT, paling tidak di Indonesia, sedikit menggeser pandangannya terhadap keterlibatannya dalam sistem demokrasi. Dalam sebuah wawancara antara penulis buku dengan salah satu narasumber dari HTI, disebutkan bahwa bukan tidak mungkin suatu saat HTI berpartisipasi sebagai partai politik peserta pemilu. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa beberapa aktifis HT yang secara individu menjadi anggota parlemen di beberapa negara. Pergeseran sikap ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan karena sejarah menunjukkan HT sempat meminta ijin pendirian sebagai partai politik pada pemerintah Yordania. Permintaan tersebut ditolak. Sebuah keputusan yang tepat bahkan ketika mereka belum terorganisir dan mempropagandakan sikap anti-demokrasi.