Penulis : Robert A. Dahl
Penerbit : Yale University Press
Tahun Terbit : 2006
Menjelang akhir 1990-an, salah satu koran ternama Jepang bertanya kepada Amartya Sen. Jika diringkas dalam sebuah kalimat, pertanyaan itu kurang lebih seperti ini: Apa kejadian paling penting di abad ke-20? Peraih nobel ekonomi pada 1998 itu tanpa kesulitan memberikan jawaban: kebangkitan demokrasi (Sen, 1999:3). Kitab sejarah menuturkan, demokrasi memang tidaklah diterima begitu saja, baik sebagai gagasan maupun sistem politik di seluruh dunia. Ia bermula dari ide pinggiran, dan seiring dengan cita-cita mewujudkan kebebasan dan kesetaraan—yang diraih dengan tumpahan keringat, darah, dan air mata—berhasil menjadi ide dominan, dan direalisasikan di banyak negara.
Belakangan ini, demokrasi mengalami kemunduran, atau istilah lainnya resesi, di berbagai negara. Sejumlah lembaga internasional melaporkan bahwa kemunduran tersebut tidak lepas dari efek globalisasi, krisis 2008, dan kemunculan populisme di level global. Setelah pandemi korona muncul, pemerintah di sejumlah negara, seperti Hungaria, malahan menggunakan pandemi itu sebagai alasan untuk memperlemah institusi demokrasi (Edgell et al., 2020). Di tengah kemunduran demokrasi tersebut, saya membagikan hasil pembacaan saya, juga sejumlah catatan, atas karya Robert Dahl berjudul “On Political Equality”. Membaca (kembali) teks politik itu setidaknya terasa krusial hari-hari ini, sebab kesetaraan politik merupakan topik penting dalam perbincangan demokrasi. Bahkan, tanpa kesetaraan politik, demokrasi boleh dikatakan tidaklah ada.
Bagi Dahl, kesetaraan politik merupakan premis mendasar dari demokrasi (hal. ix). Secara ideal, lanjutnya, demokrasi minimal memiliki karakteristik seperti ini: 1) partisipasi yang efektif; 2) kesetaraan dalam memilih (voting); 3) pemahaman terkait kebijakan yang relevan dan konsekuensinya; 4) kontrol terhadap agenda kebijakan; 5) inklusi; dan 6) pemenuhan hak-hak fundamental (hal. 8-10). Meskipun begitu, kata Dahl, demokrasi ideal tidaklah pernah seutuhnya bisa terwujud di tataran praktis. Memang, institusi politik perlu untuk mencapai level (lebih) tinggi dari demokrasi. Namun, institusi politik tidak akan mampu mendapatkan demokrasi yang sempurna atau ideal (hal. 10). Pasalnya, luas wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang tidak sedikit (hal. 11). Meminjam ungkapan Diamond (2015:12-13), di tengah suatu masyarakat yang jumlahnya terbatas, katakanlah tidak melebihi 10.000 orang, melaksanakan, mengelola, dan mencapai kesepakatan melalui diskusi tatap muka dari seluruh warga lebih memungkinkan dibandingkan dengan suatu masyarakat yang angkanya melebihi 10.000 orang.
Walaupun demokrasi secara ideal tidak bisa dicapai, berdasarkan penilaian moral, kesetaraan politik merupakan tujuan yang dikehendaki dan masuk akal (hal. 6). Ada setidaknya tiga alasan untuk menjelaskannya. Pertama, seperti disebutkan Lord Acton, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut pasti korup. Kedua, sebagaimana dikemukakan John Stuart Mill, penting untuk mengetahui kebenaran dari setiap gagasan atau opini. Di sini, kebebasan berpikir dan berbicara memainkan peran sentral. Tanpa itu, kebijakan pemerintah bukan tidak mungkin berujung pada malapetaka. Terakhir, sejumlah kelompok di masyarakat, seperti kaum minoritas, masih tereksklusi dari partisipasi politik, dan kepentingan mereka belum menjadi perhatian pemerintah (hal. 5). Sebagaimana dituliskan Dahl di bagian pembukaan buku ini, pengertian kesetaraan politik setidaknya bisa dilacak dari karyanya sebelumnya. Dalam “Politics Economics and Welfare: Planning and Politico-Economic Systems Resolved into Basic Social Processes”, Dahl dan Lindblom (1953:41) menjelaskan bahwa kesetaraan politik merupakan kontrol terhadap keputusan pemerintah yang dilakukan secara bersama-sama, sehingga tidak ada preferensi satu warga negara yang diuntungkan atau dirugikan lebih besar dibandingkan dengan preferensi warga negara lainnya.
Pertanyaannya, apakah yang menggerakkan orang-orang untuk bertindak dalam mewujudkan kesetaraan politik? Harus diakui, manusia dikarunia kemampuan luar biasa untuk melakukan penalaran (reasoning). Namun, Dahl menekankan bahwa kemampuan nalar manusia tergantung pada pengalaman manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, ia bukanlah bersifat kodrati (nature), melainkan dibentuk oleh kondisi sosial (nurture). Dengan mengutip Antonio Damasio, Dahl juga menegaskan bahwa nalar tidak bisa dipisahkan dari emosi dan perasaan, juga pembelajaran dan pengalaman. Perasaan, sebagaimana dikatakan Damasio, melekat dan tidak terhindarkan dari proses penalaran manusia dan pengambilan keputusan manusia (hal. 40).
Keterbatasan penalaran tersebut menjadikan Dahl berbeda titik tolak dengan sebagian besar filsuf, seperti Immanuel Kant, dalam menjelaskan penggerak utama keadilan atau tindakan moral, dan lebih memilih mengikuti David Hume. Jika Kant menekankan akal sebagai pemandu keadilan, Dahl justru menegaskan kekuatan perasaan (feelings) dan gairah (passion), seperti bela-rasa (compassion), cemburu, kemarahan, dan kebencian, sebagai pembimbing tindakan moral (hal. 32-34). Sebagai ilustrasi, ketidakadilan membangkitkan emosi yang kuat di benak orang-orang. Emosi tersebut kemudian diekspresikan dalam tindakan, seperti ucapan atau aksi yang dilakukan untuk membawa kondisi yang lebih adil dan layak (hal. 39). Yang menarik, tidak jarang orang-orang dengan privilise terlibat dalam mewujudkan kesetaraan politik. Pada titik ini, mereka ikut serta membantu orang-orang yang tersubordinasi. Menurut Dahl, keterlibatan mereka pada satu sisi boleh jadi disebabkan oleh empati dan simpati. Pada sisi lain, ia juga bisa dipicu oleh rasa takut orang-orang dengan privilise terhadap kekerasan atau revolusi (hal. 44). Terlepas itu empati atau rasa takut, tampak jelas di benak Dahl bahwa emosi memainkan peran sentral dalam menggerakkan orang-orang baik itu dengan privilise ataupun mereka yang tersubordinasi.
Dahl juga mencoba untuk membaca tentang masa depan kesetaraan politik di Amerika Serikat (AS). Untuk mengetahuinya, terdapat sejumlah hambatan fundamental terhadap kesetaraan politik yang perlu diketahui, seperti: 1) distribusi sumber daya politik, keterampilan, dan insentif; 2) keterbatasan waktu untuk mengurusi soal-soal publik (hanya sebagian kecil populasi yang terlibat dalam mempengaruhi keputusan politik); 3) dilema ukuran unit sistem politik (semakin kecil unit politik, semakin potensial partisipasi terjadi); 4) ekonomi pasar melahirkan persoalan serius, seperti kemiskinan dan pengangguran, pada beberapa warga negara, dan pada akhirnya berimplikasi terhadap ketidaksetaraan politik di antara warga negara; 5) eksistensi sistem internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, yang bisa saja penting, akan tetapi tidak demokratis; 6) krisis, entah itu disebabkan perang, kelaparan, bencana alam, dan lain-lain, bisa menyebabkan negara-negara yang belum mapan demokrasinya tergelincir ke dalam kediktatoran, sedangkan negara-negara yang mapan demokrasinya bisa terjerumus ke dalam kekuasaan eksekutif yang terlalu besar (hal. 50-76).
Dari keseluruhan hambatan itu, Dahl mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah hambatan yang mungkin saja semakin meningkat, dan pada akhirnya, menyebabkan ketidaksetaraan politik yang semakin memburuk di AS. Pertama, distribusi sumber daya politik. Pada titik ini, ketimpangan pendapatan dan kekayaan berimplikasi terhadap ketidaksetaraan politik. Senator di AS, misalnya, lebih responsif terhadap preferensi konstituen kaya dibandingkan dengan konstituen miskin (hal. 84-85). Kedua, kapitalisme pasar. Banyak penduduk AS yang beranggapan bahwa biaya waktu yang dihabiskan untuk menekan ketimpangan dalam sumber daya politik terlalu besar, sebab mereka memandang manfaat yang diperoleh terlalu kecil, bahkan tidak ada. Pandangan ini disebabkan norma budaya (cultural norms) yang dilahirkan oleh kapitalisme pasar. Di sini, ia melahirkan budaya konsumerisme, dan pada akhirnya, melemahkan beragam gerakan perlawanan terhadapnya (hal. 87).
Ketiga, dilema sistem internasional yang tidak demokratis. Bagi Dahl, pengaruh lembaga internasional akan semakin kuat. Juga, keberadaan lembaga tersebut penting untuk mencapai tujuan yang dikehendaki penduduk AS. Namun, pengelola kekuasaan di internal lembaga tersebut tidaklah demokratis (hal. 91-92). Keempat, terorisme. Bagi Dahl, terorisme merupakan bentuk krisis yang mungkin menghambat kesetaraan politik. Berbagai kasus terorisme yang memukul AS bukan tidak mungkin akan memberikan wewenang yang lebih besar kepada eksekutif. Semakin berkurangnya kontrol warga AS terhadap keputusan pemerintah, termasuk melalui anggota legislatif, akan membuat ketidaksetaraan politik semakin memburuk. Terlebih, pengalaman AS sudah memperlihatkan bahwa ancaman terorisme telah menyebabkan kontrol dan penangkapan warga dan bukan warga AS, bahkan dengan cara-cara yang mencederai hak dan kebebasan (hal. 93-94).
Di sisi lain, Dahl juga menjelaskan bahwa ketidaksetaraan politik mungkin saja semakin menurun selama ada keinginan politik untuk merealisasikan sejumlah kebijakan. Menurutnya, beberapa kebijakan itu bisa dibagi ke dua kategori. Pertama, kebijakan langsung yang bisa mereduksi ketidaksetaraan politik, yang terdiri dari reformasi keuangan kampanye, reformasi pemilihan umum, dan reformasi penetapan batas-batas wilayah ke dalam pengelompokan konstituen (redistricting reform). Sementara itu, kebijakan tidak langsung yang bisa mereduksi ketidaksetaraan politik adalah jaminan kesehatan universal, program peningkatan tabungan orang miskin, peningkatan upah minimum, dan akses pendidikan tinggi terhadap orang miskin (hal. 100-104).
Selain kebijakan dan keinginan merealisasikannya, Dahl juga menyatakan bahwa keberhasilan budaya konsumerisme akan melahirkan budaya kewarganegaraan. Peningkatan kebahagiaan, atau bahkan kesejahteraan, orang-orang akan membuat mereka mencari bentuk lain pencapaian yang lebih memuaskan. Pada titik ini, mereka akan menemukan bahwa keterlibatan politik lebih bermanfaat daripada menghabiskan uang, waktu, dan energi terhadap barang dan jasa yang diproduksi kapitalisme (hal. 106-107). Tentang ini, Dahl mengilustrasikannya melalui orang-orang dengan privilise, seperti gerakan Students for a Democratic Society (SDS), yang terlibat dalam aksi warga negara (civic action) (hal. 116-118).
Bagi Dahl, jika semakin banyak penduduk AS menyadari bahwa kekayaan tidak membawa kebahagiaan, maka mereka mungkin menemukan bahwa kualitas hidup mereka bisa ditingkatkan dengan aksi warga negara. Mereka akan mempertanyakan realitas kehidupan mereka, dan mencocokkannya dengan janji demokrasi. Di sini, mereka akan mencurahkan waktu dan energi mereka untuk mengupayakan perubahan (hal. 119). Menjadi catatan, Dahl menyebutkan bahwa kesetaraan politik yang utuh berada di luar jangkauan penduduk negara manapun, termasuk AS. Meskipun begitu, ketika semakin banyak orang menyadari bahwa terdapat kekosongan dalam budaya konsumerisme, dan memberikan penghargaan terhadap aksi warga negara, mereka akan semakin mendekatkan AS ke tujuan yang jauh dan sulit dipacai tersebut (109-120).
Sebagai sebuah teks politik, setidaknya terdapat sejumlah catatan yang bisa saya berikan terhadap buku ini. Secara teknis, Dahl memang sudah menjelaskan kesetaraan politik di dalam buku ini. Namun, di dalam buku ini, ia sama sekali tidak memberikan batasan yang jelas secara konseptual terkait kesetaraan politik. Yang ada adalah ia menyarankan pembaca untuk memeriksa sejumlah karyanya terdahulu, yang tidak disebutkan secara spesifik yang mana. Padahal, selama hidupnya, ia memiliki karya yang tidak sedikit. Kekurangan ini sedikit banyak menyulitkan pembaca, terlebih pembaca yang baru pertama kali, atau ingin mengetahui, gagasannya di buku ini.
Dari segi substansi gagasan, kendati Dahl menjelaskan bahwa demokrasi minimal memiliki sejumlah karakteristik, akan tetapi ia juga menegaskan bahwa demokrasi ideal, juga kesetaraan politik yang utuh, tidak akan pernah terwujud di dalam realitas kehidupan manusia. Berdasarkan pernyataan itu, demokrasi dan kesetaraan politik cukup aman untuk dikatakan seperti sebuah ilusi. Pada titik ini, Dahl bak ilmuwan politik yang (seperti) kurang percaya diri, atau mungkin terlalu hati-hati, untuk memberikan kepastian kepada pembaca, khususnya pembuat kebijakan, kaum intelektual, dan warga negara yang tertarik pada politik, terkait sistem politik (baca: demokrasi) yang membawa kebermanfaatan kepada khalayak banyak. Memang, tidak ada cita-cita yang terlalu tinggi. Namun, bukankah cita-cita yang tidak akan pernah bisa diraih tidak layak untuk diperjuangkan?!
Kedua, Dahl menyebutkan bahwa emosi merupakan penggerak utama menuju kesetaraan politik. Yang jadi pertanyaan, seandainya Dahl masih hidup, bagaimana ia menjelaskan fenomena populisme belakangan ini? Seperti diketahui, aktor politik, seperti politisi, partai politik, dan gerakan politik, tidak jarang memainkan aspek psikologi untuk memperoleh dukungan politik, walaupun ketidakadilan relatif rendah—untuk tidak mengatakan sama sekali tidak ada. Di Republik Ceko, misalnya, angka pengangguran berada di level terendah di Uni Eropa, dan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3 persen pada 2017. Secara bersamaan, imigran dan pencari suaka relatif kecil di negara tersebut dibandingkan dengan negara Eropa lainnya. Meskipun begitu, partai populis mampu menarik dukungan empat dari setiap 10 pemilih di sana (Velasco, 2019). Keberhasilan populis terkadang tidak lepas dari kemahiran atau kecerdikan mereka dalam memainkan emosi pemilih, bukan (hanya) digerakkan oleh persoalan ketimpangan sosial dan ekonomi.
Lepas dari keterbatasan itu, buku ini layak dibaca bagi siapa saja yang tertarik dengan politik, terkhusus demokrasi dan kesetaraan politik. Terlebih, apa yang dituliskan oleh Dahl pada 2006 ini masih relevan sekarang ini. Paling mutakhir adalah krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi korona. Seperti disinggung sebelumnya, krisis bukan tidak mungkin menjerumuskan negara-negara ke jurang kediktatoran. Sejauh ini, arah menuju sana setidaknya sudah terlihat. Kendati mengangkat kasus AS, pernyataan Dahl saat ini bisa disaksikan di Hungaria dan Filipina. Pemerintah di dua negara itu, misalnya, menggunakan krisis ini untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar. Dalam sebuah prediksi yang kelam, Fukuyama (2020:28-29) menyebutkan bahwa pendemi ini bisa saja berdampak pada kebangkitan fasisme—dalam ramalan yang cerah, ia menyatakan bahwa pandemi bisa saja menghidupkan kembali demokrasi. Selamat membaca (kembali)!
Dahl, R. A. dan Lindblom, C. E. 1953. Politics Economics and Welfare: Planning and Politico-Economic Systems Resolved into Basic Social Processes. Harper & Row Publishers: New York.
Diamond, J. 2015. The World Until Yesterday (Dunia Hingga Kemarin): Apa yang Dapat Kita Pelajari dari Masyarakat Tradisional?. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta.
Edgell, A. B., Grahn, S., Lachapelle, J., Luhrmann, A., dan Maerz, S. F. 2020. An Update on Pandemic Backsliding: Democracy Four Months After the Beginning of the Covid-19 Pandemic. Tersedia di https://www.v-dem.net/media/filer_public/b9/2e/b92e59da-2a06-4d2e-82a1-b0a8dece4af7/v-dem_policybrief-24_update-pandemic-backsliding_200702.pdf
Fukuyama, F. 2020. The Pandemic and Political Order: It Takes a State. Foreign Affairs, 99 (4), 26-32.
Sen, A. 1999. Democracy as a Universal Value. Journal of Democracy, 10(3), 3-17.
Velasco, A. 2019. Populism is Rooted in Politics, Not Economics. Tersedia di https://www.ips-journal.eu/regions/global/article/show/populism-is-rooted-in-politics-not-economics-3168/