Book Review: Membatalkan Yang Tunggal di Tanah Batak

Erwinton Simatupang

Erwinton Simatupang

Perempuan Bernama Arjuna 4: Batalogi dalam Fiksi

Penulis        : Remy Sylado

Penerbit       : Nuansa

Tahun Terbit : 2016

O Tano Batak
Sai naeng hu tatap
Dapotnohonku tano hagodangan hi
(O Tano Batak)

Didampingi Gegana Matondang, saya dan Dimas Ramadhan mengelilingi (sebagian besar) Tanah Batak: Toba, Simalungun, Mandailing, dan Angkola—minus Karo. Bagi saya, perjalanan tersebut seperti menelusuri jejak kenangan di masa lalu. Beberapa tahun sebelum saya kembali ke tempat dengan nostalgia yang paling dalam tersebut, ada tertulis: Arjuna dan Jean-Claude van Damme, yang ditemani Washington Nadeak, menjelajahi Tanah Batak. Bagi Arjuna, perempuan yang sama sekali tidak mempunyai masa lalu dengan Tanah Batak itu, kunjungan tersebut layaknya menancapkan jejak kenangan untuk masa depan.

Dari Jakarta, sebagaimana Arjuna, saya pergi ke Tanah Batak dengan menaiki pesawat. Ketika mendarat di Bandara Kualanamu, kami bertiga berbicang-bincang sesaat, dan kemudian menuju Medan dengan mengendarai mobil. Dari ibu kota Sumatera Utara itu, kami melanjutkan perjalanan ke Padangsidimpuan. Selama melintasi sebagian besar Tanah Batak, kami membicarakan banyak hal: dari sejarah orang Batak sampai agama di Tanah Batak; dari silsilah Batak hingga kisah tempat-tempat di Tanah Batak. Tidak ketinggalan, sepanjang perjalanan menuju kota di mana Iwan Simatupang—seorang sastrawan yang kental dengan pandangan eksistensialisme—menghabiskan sebagian masa remajanya itu, kami singgah di sejumlah tempat unik atau bersejarah.

Setibanya di Padangsidimpuan, saya mengajak Mas Dimas dan Bang Gana, begitu saya memanggil keduanya, berkunjung ke rumah saya. Setelah disambut kedua orang tua saya, kami berbincang dengan kedua orang tua saya. “Gimana rasanya perjalanan ke sini (baca: Padangsidimpuan)?” tanya ibu saya. Saya pun langsung menjawab, “Mamak ingat gak novel Remy Sylado? Seperti itulah perjalanan kami.” Tentu saja, ibu saya mengetahui apa yang saya maksud. Pasalnya, beberapa tahun lalu, saya mengirimkan adik dan ibu saya sejumlah buku, juga karya sastra, dan salah satunya adalah karya Remy Sylado berjudul “Perempuan Bernama Arjuna 4: Batakologi dalam Fiksi.”

Yang Tunggal, Yang Batal

Kedatangan Arjuna dan Jean-Claude van Damme, pasangan suami-istri, ke Tanah Batak bertujuan untuk menuntaskan wasiat ayah Jean-Claude van Damme sebelum meninggal dunia: mencari orang bernama Jeanne Claudia Batubara di Pematang Siantar (hal. 11). Ayah Jean-Claude van Damme memang memiliki kenangan terhadap kota itu. Di sana, ayahnya lahir dan menghabiskan masa kecil hingga berusia 11 tahun (hal. 25-26). Ketika menginjakkan kaki di Bandara Kualanamu, seorang sopir taksi, Washington Nadeak, berhasil menarik perhatian mereka. Keduanya pun memutuskan untuk menggunakan jasa Nadeak untuk menemani mereka memenuhi permintaan terakhir ayah Jean-Claude van Damme (hal. 13).

Bermula dari Nadeak inilah, perbincangan bermutu dan cendekia terjadi di sepanjang novel ini. Selain kesepakatan, tidak jarang perbedaan pandangan mengemuka di antara tokoh-tokohnya. Hal itu tidak lepas dari identitas ketiganya yang berbeda-beda: Arjuna adalah peranakan Jawa dan Cina (hal. 72; hal. 157), dan beragama Islam (hal. 19); Jean-Claude van Damme merupakan orang Belanda-Vlam (hal. 17), Kristen Protestan, dan profesor di bidang Teologi Apologetika di Amsterdam (hal. 43); dan Nadeak adalah orang Batak, beragama Advent (hal. 19), dan memiliki gelar S-2 di bidang teologi (hal. 43).

Setelah beristirahat di Medan, ketiganya langsung menuju Pematang Siantar. Di kota itu, mereka terlebih dahulu menikmati kopi di ‘Kok Tong’, kedai kopi paling banyak dikunjungi orang-orang. Di warung kopi tersebut, Nadeak menjelaskan ciri khas budaya Batak kepada Arjuna dan Jean-Claude van Damme: Dalihan na tolu—makna harafiahnya adalah ‘tiga tungku sejerangan’. Semua Batak, entah itu Toba, Angkola/Mandailing, Simalungun, Dairi, dan Karo, memang memiliki penyebutan yang berbeda untuk menerangkan dalihan na tolu. Dalam adat Batak Toba, istilah yang digunakan adalah dongan sabutuha (teman atau saudara semarga), boru(saudara perempuan dan pihak marga suami, keluarga perempuan pihak ayah), danhula-hula (keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu). Sementara itu, adat Batak Mandailing menyatakannya dengan sebutan kahanggi, anakboru, dan mora(hal. 29).

Meskipun berbeda, inti dari penyebutan yang beragam itu sejatinya sama: tiga unsur hubungan kekeluargaan dalam adat Batak (hal. 29). Dalihan na tolu ini jugalah yang membuat orang Batak mempunyai jiwa kekerabatan yang teladan (hal. 128). Untuk menentukan hubungan kekeluargaan itu, orang Batak selalu menanyakan marga (hal. 29) ketika berkenalan dengan orang Batak lainnya, sebagaimana sepenggal lirik lagu Batak berjudul “Si Gulempong“: Jolo sinukkun margaAsa binoto partuturan (Tanyakan dulu nama keluarga… Agar bisa menentukan hubungan kekeluargaan)¬—Gens G. Malau, kata Nadeak, dalam bukunya berjudul “Dolok Pusuk Buhit” mencatat ada 456 nama marga Batak (hal. 30).

Setelah bermalam di Pematang Siantar, kabar suka cita pun datang kepada Arjuna dan Jean-Claude van Damme: Nadeak mengetahui di mana Jeanne Claudia Batubara berada (hal. 53). Sayangnya, ketika tiba di rumah Jeanne Claudia Batubara, mereka mendapati bahwa perempuan itu sudah meninggal dunia (hal. 55). Yang mereka temukan di rumah itu adalah Regina, adik Jeanne Claudia Batubara. Menurut Regina, kakaknya diberi nama Jeanne Claudia karena ayah mereka berteman baik dengan ayah Jean-Claude van Damme. Setelah Jean-Claude van Damme lahir, ayah Jeanne Claudia juga ingin memberikan nama Jean-Claude kepada anaknya. Namun, karena yang lahir adalah perempuan, nama yang diberikan pun menjadi Jeanne Claudia (hal. 54). Selain itu, lanjut Regina, kakaknya memilih hidup sendiri selama 50 tahun setelah gagal melangsungkan pernikahan (hal. 56). Pernikahan yang tinggal di depan mata itu batal dilangsungkan karena tidak dibenarkan adat, pernikahan semarga (hal. 59-60).

Dalam adat Batak, pernikahan semarga memang dilarang. Namun, dewasa ini, sebagian orang Batak sudah mengabaikan aturan adat tersebut. Secara umum, pernikahan yang dibenarkan adat bediri di atas dalihan na tolu. Tentang ini, penjelasan Regina kepada Arjuna setidaknya bisa merangkumnya: “Prinsipnya, tidak boleh ada perkawinan semarga. Masalahnya, nanti ketika pihak istri misalnya menjadi hula-hula, yaitu keluarga yang menjadi tinggi, fungsi boru sebagai anggota keluarga yang kawin dengan putri semarga, akan hilang, dan hak boru akan menjadi dongan sabutuha dengan hula-hula tersebut” (hal. 59-60). Sementara itu, nasib calon suami Jeanne Claudia tidak kalah tragis. Ia mati ditembak di zaman Orde Baru karena menolak pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) (hal. 64). Walaupun tidak bisa, dan tidak akan pernah bisa, berjumpa dengan Jeanne Claudia Batubara, pertemuan dengan Regina tampaknya membuat Jean-Claude van Damme puas. Terlebih, ia bisa menyaksikan secara langsung kota kelahiran ayahnya (hal. 66).

Esoknya, mereka bertiga berangkat menuju Parapat. Sebelum ke sana, mereka singgah membeli kudapan roti khas Pematang Siantar di pusat kota: Roti Ganda (hal. 69-70). Toko roti tersebut pernah dipukul kabar burung bahwa rotinya dicampur dengan bahan-bahan haram. Arjuna dan Nadeak mengulas, fenomena seperti itu tidak lepas dari konkurensi ekonomi di pasar, dan sudah ada sejak era kolonialisme. Gesekan bertameng agama itu acap kali melahirkan hasutan dengan pemberian label kafir. Padahal, pemberian cap itu keliru, sebab kata ‘kafir’ pada awalnya digunakan oleh orang-orang Yahudi untuk menggambarkan ‘orang yang tidak percaya satu Allah, tuhannya Ibrahim’ (hal. 71-74). Bagi Arjuna, menerima Allah melalui sejarah Nabi Ibrahim—dengan silsilahnya yang menurunkan Nabi Muhammad di satu pihak dan Almaseh Isa ibni Maryam di pihak lain—merupakan dasar menerima kesungguhan ayat Al-Kafirun 6: “Lakum dinukum waliya din” (hal. 75).

Dari Pematang Siantar, mereka bertiga kemudian melanjutkan perjalanan ke Parapat. Setelah melintasi jalanan dengan tikungan-tikungan tajam, mereka akhirnya tiba. Dari kejauhan jalan raya, mereka menyaksikan keelokan Danau Toba (hal. 78). Di Parapat, ketiganya mengulas tentang persoalan membenci orang-orang yang berbeda keyakinan (hal. 84). Bagi Arjuna, “jika pengetahuan tentang kebenaran telah dipolitisir di bawah jangkauan statistik dengan membanding-bandingkan perkara mayoritas, maka kebenaran asasi dalam pengertian yang sederhana dan sejati yang notabene menjadi tumpuan awam, karuan terluka oleh tindak tanduk kepalsuan dalam penampilan lahiriah orang-orang berkuasa” (hal. 85). Dari sini, Arjuna kemudian berpendapat: agaknya Tuhan lebih menghargai orang-orang ateis, walaupun secara terang benderang menyangkal kebenaran ilahi, dibandingkan dengan orang-orang berpenampilan bagai nabi, tetapi kelakuan tidak sesuai dengan tampilan (hal. 85).

Perbincangan tentang Toba yang berpusat di Tarutung, Tapanuli Utara, membuat Arjuna ingin mengelilingi Tanah Batak. Untungnya, Jean-Claude van Damme juga ingin melakukan hal yang sama (hal. 88-89). Secara khusus, suami Arjuna itu ingin berkunjung ke Barus dan Silindung, sebab pada tahun-tahun awal mempelajari historiografi Protestan di Tanah Batak, dua nama tempat itu tidak jarang disebut (hal. 105). Ketika di Barus, Arjuna berbincang dengan Nadeak tentang sejarah kedatangan Kristen Protestan di Tanah Batak. Keduanya sepakat: Nommensen memainkan peran sentral dalam menyebarkan Kristen Protestan di Tanah Batak. Namun, ada perbedaan pandangan di antara keduanya. Menurut Arjuna, keberhasilan Nommensen mengabarkan injil di Tanah Batak tidak lepas dari kondisi orang Batak, khususnya di sekitar Toba, yang masih animis. Jika Nommensen melakukannya di daerah Batak Mandailing, maka hasilnya akan berbeda. Bagi Nadeak, penyebaran Kristen Protestan di sekitar Toba justru disebabkan kemampuan Nommensen untuk mengkaji peta sejarah agama. Jauh sebelum Islam dibawa oleh Laksamana Ceng Ho dan para walisongo ke Jawa, orang Batak di pesisir barat Sumatera sudah lebih dulu menjadi Islam. Pasalnya, pesisir barat Sumatera merupakan kawasan paling terbuka bagi bangsa-bangsa luar untuk mencapai Nusantara (hal. 155-157).

Dari Barus, mereka bertiga kemudian kembali ke Tarutung. Lagi, perbincangan soal Nommensen terjadi di perjalanan. Di Tanah Batak, Nommensen tidak sekedar mengabarkan Kristen Protestan. Ia juga memperkenalkan pertanian, pendidikan, dan kesehatan kepada orang Batak. Dengan begitu, mereka bisa keluar dari kemiskinan dan kebodohan. Berkat perjuangannya itu, kata Nadeak kepada Arjuna, orang Batak hingga saat ini memandang Nommensen sebagai seorang pahlawan (hal. 166). Lebih jauh, Nadeak memberikan jawaban terkait pertanyaan Arjuna tentang bangsa Belanda yang menjajah di satu pihak dan menyebarkan ajaran kasih, kebebasan, dan perdamaian dalam syiar Injil di pihak lain. Memang, kata Nadeak, ada masalah yang terasa di dalam praktik misioner dan kekuasaan kolonialisme. Namun, sebagaimana rata-rata penginjil yang datang ke Indonesia, Nommensen bukan orang Belanda, melainkan orang Jerman (hal. 167).

Kabar Dari Negeri Yang Jauh

Beberapa jam sebelum meninggalkan Padangsidimpuan, saya mengambil novel “Perempuan Bernama Arjuna 4: Batakologi dalam Fiksi“, juga sejumlah buku lain milik ibu saya, dari lemari buku, dan memasukkannya ke dalam tas saya. Di sepanjang perjalanan dari Padangsidimpuan menuju Medan, saya membaca ulang novel itu. Saya memperhatikan bagaimana gaya menulis Remy Sylado di dalam novel ini. Di setiap bab, ia selalu memulainya dengan kata ‘tumben’, dan menutupnya dengan berbagai masmur yang dinyanyikan oleh Nadeak dalam Bahasa Batak, lengkap dengan artinya dalam Bahasa Indonesia. Harus diakui, gaya menulis seperti itu sangat unik. Bagi saya, baru kali ini saya temukan gaya menulis seperti itu.
Kendati jalan cerita di novel ini tidak cemerlang—untuk tidak mengatakan biasa saja, Remy Sylado berhasil membuat saya iri—dalam makna yang positif—sekaligus kagum atas kemampuan dan pengetahuannya mengulas hal-hal yang berkaitan dengan orang dan budaya Batak, seperti lagu dan instrumen Batak (hal. 119-123), cerita rakyat asal usul orang Batak (hal. 131), penyebutan jam dalam bahasa Batak (hal. 135), ulos (hal. 197), dan lain-lain. Saya sempat berpikir: Ia lebih Batak dibandingkan sebagian besar orang Batak. Dengan kata lain, di hadapan Remy Sylado, mayoritas orang Batak terasa seperti Batak KTP.
Meskipun diberi label fiksi, sebagian besar kisah di novel ini berangkat dari sumber-sumber ilmiah. Pada titik ini, reka-rekaan hanya terbatas pada tokoh dan setting cerita. Ketika mendeskripsikan letak kedai kopi ‘Kok Tong’ di Pematang Siantar, misalnya, Remy Silado cukup detail menyebutkannya di antara Jl. Dr. Cipto dan Jl. Wahidin (hal. 25). Kabar burung terkait campuran bahan-bahan haram juga diulasnya sesuai dengan informasi yang beredar di Pematang Siantar. Mas Dimas paham betul soal ini, sebab Bang Gana tanpa kami minta mengisahkan tentang ini kepada kami. Saya menduga, Remy Sylado melakukan perjalanan ke Tanah Batak, dan menjadi pencatat yang baik. Secara bersamaan, referensi yang digunakan Remy Sylado dalam menjelaskan orang dan budaya Batak sangatlah mengangumkan. Berbagai buku dan kutipan Bahasa Inggris, Belanda, dan Prancis, bertebaran di setiap perbincangan tokoh-tokoh novel ini.
Sebagaimana tertulis di sampul novel, harus diakui bahwa novel ini bukan bacaan ringan. Sekalipun demikian, jika tertarik untuk membacanya, sebagaimana disinggung sebelumnya, Remy Sylado untungnya menyediakan beragam referensi di dalam novel ini yang bisa dijadikan rujukan lanjutan. Di samping itu, ia juga memberikan catatan pelengkap di akhir novel ini untuk menjelaskan berbagai nama-nama besar yang muncul di sepanjang cerita: dari Albert Camus sampai Iwan Simatupang, dan dari Sun Yat Sen hingga Amir Syarifuddin Harahap. Tidak tanggung-tanggung, ada 34 lembar (dari halaman 280 hingga halaman 348) menjelaskan nama-nama besar yang ada di novel ini.
Yang patut diapresiasi dari Remy Sylado ialah ia tidak sekadar memuji-muji orang dan budaya Batak, melainkan juga mengkritik perangai orang Batak dan budaya Batak. Menjadi catatan, terkadang ia terasa kurang tegas memberikan kritik. Pada titik ini, ia hanya mendeskripsikan kondisi yang ada. Sebagai ilustrasi, Nadeak dan Nilson—adik Nadeak—menjelaskan budaya merantau, dan pembangunan kuburan megah di kalangan orang Batak kepada Arjuna dan Jean-Claude van Damme (hal. 186-187). Sayangnya, Remy Sylado hanya berhenti di situ. Padahal, bagi sebagian atau mungkin banyak orang Batak, orang mati tidak jarang lebih dihargai dibandingkan orang hidup. Di samping itu, Remy Sylado luput mengulas posisi dan kehidupan perempuan di dalam budaya Batak yang kerap dinomorduakan.
Setibanya di Bandara Kualanamu, sebelum menuju Jakarta, saya hentikan sejenak membaca novel ini, dan kemudian memutar lagu “O Tano Batak” yang diaransemen Viky Sianipar, dan dinyanyikan Tetty Manurung dan Victor Hutabarat. Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, reff lagu itu berbunyi seperti ini: O Tanah Batak, Ingin Rasanya Kulihat, Kukembali Bertemu Tanah Kelahiranku. Ingatan saya pun kembali ke masa ketika tiba di pusat Kota Padangsidimpuan. Saat itu, Bang Gana bertanya, “Win, rumahmu jalannya lurus, ke kanan atau ke kiri?” “Kayaknya, lurus Bang,” jawab saya. Yang akrab, yang terasa asing. Yang dekat, yang terasa jauh.

Bagikan Postingan:

Ikuti Info Rana Pustaka

Terbaru

Copyright @ Populi Center
id_IDIndonesian