Sutradara : Yann Arthus-Bertrand
Skenario : Yann Arthus-Bertrand
Tahun : 2015
Durasi : 4 Jam 23 Menit
Wajah orang-orang dari belahan negara ditampilkan secara bergantian. Mulai dari Pape yang berasal dari Senegal, kemudian Samantha dari USA, Prasad dari India, Peter dari New Guinea dan masih banyak lagi. Orang-orang ini ditampilkan hanya sebatas wajahnya dengan latar berwarna hitam. Kemudian layar berubah menjadi bentangan luas dari padang gurun di Pakistan. Terlihat orang-orang sedang berjalan di gurun pasir secara beriringan dengan ditemani beberapa hewan ternak. Pemandangan yang diambil dari atas ini kemudian menjadi penanda bahwa film dengan judul “Human” akan dimulai. Film dokumenter yang dirilis pada 12 September 2015 ini diprakarsai oleh Yann Arthus-Bertrand, seorang peduli lingkungan asal Prancis, sekaligus jurnalis dan fotografer.
Air mata tiba-tiba keluar, seperti tidak bisa lagi dibendung oleh Leonard. Pria berkulit hitam asal Amerika ini menceritakan sering menyakiti orang lain atas dasar love, sebuah pesan yang ia salah artikan selama ini. Bahkan dengan tindakannya tersebut, ia harus masuk penjara. Namun, suatu ketika ia bertemu Agnes yang merubah hidupnya. Agnes adalah ibu sekaligus nenek dari Patricia dan Chris. Apa yang membuat Leonard menangis adalah kenyataan bahwa Agnes sama sekali tidak membencinya, pasalnya, Leonard sudah membunuh Patricia dan Chris. Bagi Agnes, itu sudah menjadi masa lalu. Ini yang membuat Leonard sadar bahwa rasa cinta bukan ditunjukkan dengan cara menyakiti.
Layar berganti, dari atas ketinggian di dataran Kenya, burung-burung terlihat berterbangan bebas. Panorama yang cukup indah ditampilkan, dan kemudian layar kembali berganti lagi dengan wajah orang-orang lain. Bentangan alam yang diambil dari atas seperti menjadi sebuah penanda pergantian dari tema yang akan diceritakan selanjunya dari wajah-wajah orang yang ditampilkan.
Daniel dari Mexico bercerita bahwa cinta datang dan pergi. Kemudian Petronila dari Dominica Republik menceritakan ketika tidak ada cinta dalam hidupmu, maka kamu akan merasa hampa. Lain pula dengan Juan Vecente yang sama-sama dari Dominica Republik. Dengan tertawa ia menjelaskan bahwa setelah cinta maka akan muncul sex, ketika itu tidak terjadi maka hubungan pasti akan hancur. Lain lagi dengan Aicha seorang perempuan dari Senegal. Ia bercerita bahwa suaminya memiliki dua istri, dan ia sendiri adalah istri pertama. Meskipun demikian, raut wajah bahagia terpancar dari wajahnya karena mereka hidup dengan damai, meskipun Aicha hidup dengan teman baiknya yang juga menjadi istri dari suaminya. Kemudian tangkapan layar lain memperlihatkan Nar, perempuan dari Burma dengan rambut diikat ke belakang. Dengan mata berkaca-kaca ia berkata, “jangan menyakitiku, apa yang kamu inginkan, beri tahu kelemahaknku maka aku akan berubah”. Seolah kata-kata tersebut ingin disampaikan kepada suaminya. Nar menangis terharu ketika melihat seorang pasangan suami-istri yang berusia sekitar 60-70an tahun masih berpegangan, sedangkan dirinya belum merasa bahagia dengan keadaannya sekarang.
Sekumpulan pria sedang terlihat di area tumpukan sampah yang luas di daerah Dominican Republik. Mereka terlihat sedang mengais sampah, mungkin saja sedang juga mencari peruntungan di sana. Kemudian gambar menunjukkan Atman dari Haiti, seorang pria dengan rambut gimbal ini menegaskan bahwa dirinya adalah orang miskin. Kemiskinan baginya adalah ketika seharusnya ia sekolah, tapi tidak bisa. Ketika harusnya makan, tapi tidak bisa, bahkan seharusnya untuk tidur tapi tidak bisa. Dengan itu, ia merasa dirinya miskin, baik fisik maupun mental karena tidak bisa memberikan kehidupan yang layak bagi istri dan anaknya. Setelah itu Atman berkata, untuk orang-orang kaya yang melihat ini, apa yang ingin kalian katakan tentang kekayaan?
Gambar pun beralih ke Liliana dari Rusia, perempuan yang terlihat penuh dengan riasan. Rambutnya berwarna pirang, bibirnya dipertegas dengan lipstik berwarna merah, matanya bahkan tak luput dari berbagai macam goresan warna dan tidak luput telinganya menggunakan anting yang cukup besar. Ia bercerita bahwa dengan uang kamu bisa melakukan apa saja. Kamu tidak akan khawatir dengan apapun, kamu akan merasa bebas. Kemudian hidupmu akan lebih terasa nyaman dan lebih baik. Sama halnya dengan Liliana, Haiyan dari China juga berkata bahwa menjadi kaya adalah kamu memiliki kebebasan. Bahkan ia juga berkata tidak butuh pekerjaan lagi untuk menghasilkan uang.
Namun cerita lain terlihat dari Robert. Seorang pria dari Canada ini mengaku merasa kurang bahagia dengan banyaknya uang. Robert juga sadar ketika sudah memiliki uang banyak, maka kamu ingin lebih banyak lagi. Kemudian raut wajahnya berubah, ia menangis. Meskipun sudah punya banyak uang ia tetap sedih karena ia tidak bisa menyediakan obat untuk anaknya yang sedang sakit, bukan karena tidak mampu membeli, namun karena obatnya tidak tersedia. Saat Robert khawatir dengan tidak adanya obat untuk anaknya, di belahan bumi lain seperti Armadou dari Senegal lebih khawatir ketika besok ia tidak bisa makan. Armadou mengaku selalu bekerja untuk besok. Lalu bagaimana ketika ia sakit? Pertanyaan itu selalu terbayang dalam hidupnya. Dari kemiskinannya ini, ia harus kehilangan saudara perempuan dan tiga saudara laki-lakinya. Mereka meninggal karena sakit, dan ia tidak mampu untuk membayar rumah sakit. Memang, Tuhan adalah satu-satunya yang menentukan, tapi kematian mereka adalah disebabkan kemiskinan, begitu kata Armadou, sambil ia menangis.
Gambaran itulah yang mungkin saja membuat Stephen dari Australia merasa sedikit miris. Selama perjalanan hidupnya, ia menyadari bahwa manusia pada akhirnya tergambar dalam dua kata, yaitu thanks dan please. Dua kata ini adalah konsep menerima dan memberi yang harus dilakukan manusia sebelum melakukan sesuatu atas dasar uang. Namun sekarang ini, kita tidak memberi atau membagikan apapun, dan pada akhirnya kita akan saling membunuh. Ini adalah Human Race. Kita menyangkal keberadaan tempat tinggal orang lain, apa yang orang lain makan, ini murni dikarenakan oleh uang.
Kemudian gambar kembali beralih ke sebuah panorama dari atas, sebuah suasana tepi pantai kumuh di Haiti dengan banyaknya kapal-kapal nelayan di sana. Terlihat pula permukiman yang padat dan kumuh. Selanjutnya gambar beralih ke wilayah USA. Bentangan gedung-gedung pencakar langit, lampu gemerlap, dan ruang-ruang kerja yang terlihat di balik kaca-kaca gedung itu memberikan kesan mewah dari sebuah kota. Dua lanskap yang disajikan berutuan ini seakan sedang memberikan gambaran tentang bagaimana kesenjangan dalam kehidupan manusia itu nyata.
Sekumpulan pria dan wanita bercampur dan memadati sebuah kolam. Mereka kemudian bersorak ketika air di kolam tersebut mengombak. Begitulah suasana di sebuah kolam ombak di China. Di tempat lain, di Korea Selatan, terlihat sedang diadakan pernikahan massal. Mempelai pria yang mengenakan jas hitam dan perempuan yang mengenakan gaun putih kemudian bersorak gembira sembari melemparkan serangkain bunga. Kemudian di sebuah stadion sepak bola, para supporter dari klub Borusia Dortmund di Jerman sedang bersorak mendukung klub kesayangan mereka berlaga. Lalu, gambar pun berubah menjadi sekumpulan tentara sedang berbaris dengan berbagai macam seragam militernya. Ada pasukan yang bersenjata, kemudian ada pasukan lain yang sedang berbaris yang menunjukkan sebuah peleton wanita. Ini adalah gambaran yang diambil di India.
Setelah itu, seorang perempuan paruh baya menangis. Saat ia masih kecil, ia harus melihat orang tuanya dibawa oleh orang tidak dikenal, kemudian ia berlari, mencari, dan menemukan ibunya terbunuh dengan bayonet. Kemudian ia di seret ke hutan oleh tiga orang Kmher Rouge dan diperkosa. Ia tidak pernah melupakan kejadian itu. Kejadian ini yang kemudian membuat Sovath, perempuan dari Cambodia menangis saat bercerita.
Di belahan bumi lain, Qosay, pria asal Jordan ini ditanya anaknya. Kenapa ada perang? Kenapa ia membunuh tentara, bukankah tentara juga punya keluarga yang sedang menunggunya di rumah sama seperti kita? Kemudian Qosay pun menjawab bahwa mereka salah, kita yang benar. Lalu anaknya pun kembali bertanya, “Kenapa Ayah?”. Qosay menjawab bahwa mereka membunuh banyak keluarga dan anak-anak. Mereka menghancurkan banyak masjid, dan apa yang kita lakukan adalah untuk mempertahankannya. Kita harus melakukan itu, bukan karena ingin. Aku pun tidak suka jika harus ada darah orang lain mengucur di tanganku, begitulah kata Qosay. Cerita ini kemudian berlanjut ke Yossef, seorang laki-laki yang masih terlihat remaja bahkan berkata, “Aku tidak takut mati”. Aku tidak takut karena ini demi Syria. Baginya, perjuangannya ini adalah untuk ayahnya. Jika ayahnya tidak mati, mungkin saja ia takut, namun sekarang Yossef tidak takut lagi, meskipun tenggorokannya dipotong dan kesulitan bernafas. Dengan nada yang tegas, cerita ini keluar dari mulut seorang remaja yang hidup di wilayah peperangan.
Di wilayah lain, Sylver dan Beatrice dari Rwanda bercerita. Sylver, seorang pria muda ini tidak akan pernah lupa akan fakta bahwa satu orang membunuh orang lain dengan golok. Kejadian itu menimpa dirinya, dengan mata berkaca-kaca, ia bercerita bahwa suatu waktu ia harus melihat keluarganya dipotong hidup-hidup. Kemudian Beatrice bercerita tentang genosida yang menyakiti hatinya. Perempuan dewasa ini bercerita ia harus berlari dan terpisah dengan keluarganya. Setelah terpisah ia harus hidup sendiri hingga pada suatu ketika ia ditemukan oleh orang lain, dan orang lain tersebut memberitahukan kepada yang lainnya untuk mengeksekusinya. Beruntung Beatrice masih bisa kabur dan selamat. Namun yang masih mengganjal dalam hidupnya adalah, apa kesalahannya sehingga ia harus ditembak atau dibunuh? Tidak hanya di Rwanda, di Central African Republic, Crepin mengaku menjadi tentara anti-balaka untuk membalaskan dendam kakaknya. Ketika ia membunuh seseorang, ia merasa sedang menembakkan amarahnya dan saat ia menembaknya, rasa kedamaian ia dapatkan.
Dari berbagai cerita mengenaskan di atas, bahkan orang rela membunuh demi membalaskan dendam, ada cerita lain yang cukup mengubah pandangannya tentang perang. Cerita selanjutnya adalah dari Caleb yang berasal dari USA. Matanya beradu dalam dengan seseorang, dan momen itu yang tidak pernah Caleb lupakan dalam suatu kejadian perang di Iraq. Pada saat itu, dalam pandangan Caleb, orang yang sedang beradu mata dengannya bukanlah seorang teroris, bukan pemberontak, ataupun orang Iraq, ia hanya orang yang sedang ketakutan. Dalam ketakutannya ia berkata pada Caleb untuk meminta tolong. Kejadian itu membuat Caleb berubah, dari yang pemberani di medan perang menjadi pria yang sedikit ketakutan. Bahkan Peter, seorang yang berasal dari USA juga bercerita apa yang akan tertinggal dari sebuah pertempuran adalah perasaaan bagaimana sesama manusia saling membunuh. Kondisi tersebut yang kemudian membuat dia menyimpan senjata di rumahnya. Selama ini hidupnya dipenuhi kekhawatiran dan perasaan takut jika nanti ada orang yang datang menyakitinya.
Pada tanggal 16 Januari 2007, barisan tentara Israel menembak dan membunuh anak perempuannya yang masih berusia 10 tahun, yakni Abir. Ia dibunuh di depan sekolahnya di Anath, lokasi tempat tinggalnya. Dengan suara bergetar dan ketegaran yang coba ia ekspresikan dari wajahnya, Bassam dari Palestina bercerita bahwa Abir putrinya hanyalah seorang anak kecil, dan ia tidak menjadi bagian dari konflik ini. Dia hanya tidak beruntung, dan dia mati hanya karena dia seorang Palestina. Lalu apakah jika aku kemudian membunuh orang Israel akan mengembalikan anakku? Dengan tegas Bassem menjawab pertanyaan yang ia suarakan sendiri, “tidak”, begitu jawabannya. Jika ia membunuh, itu hanya akan menimbulkan rasa sakit yang lain karena melakukan kekerasan pada orang lain. Maka dari itu, ia mengakhiri siklus kekerasan ini dan tidak membunuh karena alasan balas dendam untuk dirinya sendiri. Banyak orang mengatakan padanya bahwa bukan langkah yang benar jika Bassem menyerah atas nama anaknya. Namun sekali lagi, ia tegas menjawab bahwa ia tidak akan balas dendam atas nama anaknya.
Pada cerita lain, perempuan yang sudah terlihat tua, Ruth, yang berasal dari Israel ini bercerita. Saat berusia dua setengah tahun ia dibawa seorang pegawai Jerman dengan seragam SS, yang kelak ia ketahui bahwa pria tersebut adalah Alois Pleva. Pria itu membawanya ke perbatasan Jerman-Polandia dengan disembunyikan dimantelnya. Ia dibawa ke orang tua pria tersebut yang kemudian membesarkannya dengan tradisi katolik sampai berhentinya perang.
Cerita-cerita di atas seakan ingin memberitahukan gambaran bahwa peperangan tidak akan pernah usai jika harus dibalas dengan peperangan pula. Meskipun hal ini hanya penilaian subjektif dari penonton, akan tetapi adegan selanjutnya di Spanyol memperlihatkan bahwa kebersamaan adalah kegembiraan. Dalam sebuah ritual, sekumpulan pria membentuk lingkaran yang menahan sekumpulan perempuan yang berada di tengah lingkaran untuk memanjat dan membentuk sebuah menara. Sesaat menara manusia itu terbentuk, semua orang bersorak, dan bahkan saling berpelukan.
Ia dipaksa orang tuanya untuk ke dokter karena dianggap sakit. Peristiwa ini karena Nombusa, perempuan dari Africa Selatan ini mengaku sebagai seorang lesbian. Kondisinya ini sangat tidak diterima oleh keluarganya, terutama neneknya yang sangat membenci lesbian yang kebetulan kondisi tersebut menimpa dirinya. Ia tidak pernah mendapat restu dari neneknya untuk menjadi seorang lesbian hingga pada akhirnya ia membawa seorang laki-laki. Nombusa sadar bahwa keputusannya itu tidak membuatnya bahagia, akan tetapi tindakannya semata hanya untuk menyenangkan neneknya. Pada akhirnya ia menikah dengan laki-laki tersebut dan kemudian selang beberapa waktu mereka bercerai. Apa yang semakin menjadi penyesalan Nombusha adalah pria itu pergi dan meninggalkan AIDS pada dirinya.
Kemudian pada cerita lain, seorang gadis kecil berambut keriting diikat ke belakang berkata bahwa ada yang pernah berkata kepada dirinya, ia tidak akan pernah memiliki suami. Orang itu berkata tidak akan pernah ada orang yang mau menikahinya karena mengidap HIV AIDS. Sambil menangis, Maimona, gadis kecil dari Senegal inipun juga berkata mungkin perkataan itu mungkin saja benar bahwa tidak akan pernah ada pria yang akan mencintainya ketika ia berkata terinfeksi virus HIV AIDS. Di samping cerita kepedihan ini, Bara, seorang pria dewasa yang juga berasal dari Senegal berkata bahwa ia bahagia hidup dengan istrinya. Kondisi ini karena meskipun ia mengidap kusta, ia tidak pernah sekalipun ditinggal istrinya. Suatu ketika ia mengetahui bahwa istrinya diperolok oleh orang lain dengan menyebutnya sebagai istri pengidap kusta. Kemudian istri Bara tertawa dan berkata, “saya bangga menjadi istri pengidap kusta”. Kata-kata itu, yang keluar dari mulut istrinya, tidak akan pernah Bara lupakan dan bahkan menjadi penyemangat hidupnya.
Di wilayah lain, Katjiikua, perempuan berkulit coklat dengan rambut khas dari Suku Namibia ini bercerita bahwa yang membuatnya bahagia adalah ketika air hujan turun. Karena di saat itulah ia bisa minum susu dan makan sesuatu yang ia suka. Di tempat lain, Prasad dari India menilai bahwa kebahagiaan menurutnya adalah ketika saat dia memiliki makanan dan mempunyai 5 katha tanah atau sebesar 650m2. Kemudian tempat untuk tidur dan listrik untuk memberikan cahaya pada anak-anaknya. Di Rusia, seorang ibu bernama Elena bercerita bahwa kebahagiaan menurutnya adalah ketika anaknya datang berkunjung, atau ketika suaminya datang dengan tersenyum dan menciumnya. Karena, saat Elena datang ke rumah ibunya, ia melihat bahwa ibunya tersenyum dan itu adalah kebahagiaan menurutnya. Lain lagi bagi Rute dari Brazil yang menceritakan bahwa memiliki tempat tinggal, mesin cuci, atau anaknya yang berusia 15 tahun menyelesaikan sekolahnya dan terus berlatih serta belajar untuk hidupnya adalah beberapa contoh kebahagiaan menurutnya.
Setelah menceritakan beberapa ekspresi kesedihan dan kebahagiaan, kemudian terlihat hamparan persawahan hijau dari daratan di Ethiopia, Madagascar, China, dan Nepal. Dari lanskap persawahan, kemudian adegan beralih ke orang-orang yang hidup tidak jauh dari area tersebut. Demekech yang berasal dari Ethiopia hidup dari sayuran yang ia tanam. Sayuran tersebut ia makan dan sebagian dijual suaminya, meskipun bayarannya sangat sedikit. Di sisi lain Raelison yang berasal dari Madagascar juga bercerita bahwa kehidupannya sulit ketika hasil tanamannya terkena hujan es, atau Sophy dari Cambodia yang menghardik sebuah perusahaan yang menhancurkan rumah dan tanamannya, yang membuat kehidupannya juga rusak.
Di tengah area persawahan hijau yang terlihat subur dan makmur, ternyata masih banyak yang tidak mendapatkan hasil dari kemakmuran tersebut. Banyak orang yang harus bersusah payah untuk hidup di tengah gambaran lanskap persawahan yang terlihat hijau. Bahkan hal tersebut juga tergambar dari cerita-cerita orang yang berada di India. Persoalan yang ada di sana bukanlah area ladang yang luas, namun kekeringan air. Untuk apa punya ladang yang luas jika air saja tidak ada. Akan tetapi yang menjadi perhatian Sainath dari India adalah kekeringan parah yang terjadi di barat Maharastra. Ia jelas melihat kemiskinan, namun ia juga melihat sebuah pembangunan megah di sana. Daerah itu sangat kering, namun terlihat pembangunan besar dengan kolam renang di setiap lantainya, yakni Twin Tower di Mumbai. Bangunan tersebut masing-masing terdiri dari 37 lantai, artinya jika dua bangunan ini berdiri ada sebanyak 74 kolam renang disediakan di daerah yang sangat kering. Mirisnya, para pekerja bangunan tersebut adalah para petani yang mengalami kekeringan air, tapi di sisi lain mereka malah membangun kolam renang. Ini, menurut Sinath, seperti sebuah penghinaan belaka. Di India, pembangunan tercepat bukanlah software atau industri teknologi, tapi ketimpangan.
Dari cerita-cerita orang di atas, lalu apa yang ingin disampaikan? Pertanyaan ini jelas memiliki jawaban yang berbeda tergantung daya imajinatif dari masing-masing penonton. Apa itu kebahagiaan masing-masing orang mempunyai cara sendiri untuk mengekspresikannya. Apakah dengan memiliki banyak uang? Ada yang menjawab iya, namun ada yang menjawab tidak seperti halnya Robert dari Canada. Kemudian, berbagai macam ekspresi kesedihan juga digambarkan pada film ini. Orang-orang yang ditampilkan memiliki tingkat kesedihan yang berbeda-beda. Ada yang sedih karena menjadi saksi kematian mengenaskan dari keluarganya, diperkosa, atau ditinggal pasangannya. Dari serangkaian perbedaan gambaran orang-orang dari daerah yang berbeda ini, lalu seperti apa manusia seharusnya?
Jika merujuk pada konsepsi Sokrates tentang manusia, kita tidak dapat menyingkap kodrat manusia dengan cara yang sama saat kita mencoba mendeteksi alam. Benda-benda fisik tersebut memang dapat diterangkan berdasarkan sifat subjektifnya, sedangkan manusia hanya dapat dijelaskan melalui kesadarannya (Cassirer, 1990:9). Lalu kesadaran seperti apa yang seharusnya dilakukan manusia? Tidak ada keharusan dan ketidakharusan yang dilakukan manusia. Tatanan abadi manusia dipengaruhi oleh daya pertimbangan manusia itu sendiri. Melalui daya pertimbangan tersebut, manusia menjadi sumber utama bagi kebenaran dan moralitas (Cassirer, 1990:13). Bagi Sonam, seorang perempuan dari India tersebut menegaskan bahwa ia hidup di dunia ini adalah untuk memberikan kelahiran bagi satu atau dua anak, sehingga ketika ia tua nanti ada yang merawatnya. Bagi Jonathan, seorang pria muda dari Amerika yang mulai bertanya pada dirinya sendiri tentang kehidupan di usia 15 tahun menjelaskan bahwa setiap orang memiliki tujuannya masing-masing dalam hidup. Lalu apa tujuan hidup manusia?
Sekali lagi, sulit untuk menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan. Apakah seperti cerita Jonathan di atas yang meyakini bahwa yang harus dilakukan manusia adalah untuk bahagia, melakukan sesuatu yang benar, dan menolong orang lain? Salah satu alat ukur untuk melihat kodrat manusia mungkin saja dengan agama, meskipun agama juga dapat dipertentangkan, namun dengan kacamata tersebut setidaknya manusia tidak mempercayai dan mendengarkan diri sendiri. Dengan agama, manusia menjadi manusia ganda yang jatuh ke dalam sistem salah dan benar, dosa dan tidak dosa, sehingga dengan itu dia akan mencari cermin atas sesuatu yang diyakini (Cassirer, 1990:19).
Mungkin hal tersebut yang juga sedang dicari Samuel, seorang anak kecil dari Democratic Republic of Congo. Ia meyakini bahwa kehadirannya di bumi ini adalah untuk melakukan apa yang Tuhan rencanakan pada dirinya. Baginya semua orang di bumi ini mempunyai misi dari Tuhan, begitu juga dirinya. Meskipun demikian, ia masih belum tahu misi apa yang Tuhan berikan kepadanya. Bagi Nietzcshe, gambaran manusia adalah untuk berkuasa. Menurut Freud, manusia mengisyaratkan naluri seksual, atau seperti Marx yang mengandaikan manusia adalah yang dinalurikan bersifat ekonomis (Cassirer, 1990:33). Pandangan-pandangan tersebut tidak sepenuhnya salah. Para pemikir sedang berusaha mengargumentasikan empirismenya masing-masing tentang what is human being. Lalu apakah manusia? Manusia pada akhirnya dimaklumkan sebagai makhluk yang terus menerus mencari dirinya, makhluk yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat atas kondisi-kondisi eksistensinya. (Cassirer, 1990:10).
Seperti yang diperlihatkan dalam film ini, bentangan alam sekaligus cerita-cerita dari para manusia dari berbagai belahan bumi tersebut adalah untuk memberikan gambaran tentang cerita kehidupan manusia, sekaligus berperan untuk menjadi bahan berdialektika tentang apa yang harus dikaji dari sejumlah cara hidup yang dilalui oleh manusia-manusia yang ditampilkan. Mereka menjadi cermin untuk manusia lain untuk terus berproses dalam pencarian diri sebagai manusia.
HUMAN The Movie (Director’s cut version) memiliki durasi 3 jam 11 menit 5 detik, namun film Human yang saya review kali ini adalah extended version yang dibagi ke dalam tiga volume. Total durasi ketiga volume tersebut adalah 4 jam 23 menit 6 detik.
Cassirer, Ernst. “Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esai tentang Manusia”. Diterjemahkan oleh Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia. 1990.