Penulis : Francis Fukuyama
Penerbit : Qalam
Tahun Terbit : 2014
Jumlah Halaman : 510 hlm (h.1-228)
Eyang : Le, yuk nginep di rumah Eyang, nemenin Eyang
Cucu : Enggak ah, di rumah Eyang enggak ada wifinya
Eyang : Ya nanti Eyang beliin paket kuota kan bisa, mau ya?
Cucu : Iya, tapi janji ya
Eyang : Iya
Begitu kiranya perbincangan seorang Nenek dengan Cucunya yang baru saja masuk bangku sekolah dasar. Sebuah penggalan dialog yang sebenarnya tidak lazim dan tidak pernah terlintas di benak generasi baby boomers, generasi x maupun generasi y. Hal tersebut setidaknya mulai didapati pada generasi z. Dari penggalan dialog tersebut saya hanya ingin menunjukkan bahwa dunia kini telah mengalami sebuah fase transisi. Sebuah kondisi yang benar-benar nyata yang dahulu pernah George Gilder, Newt Gingrich, Al Gore, Nicholas Negroponte dan pasangan suami istri Alvin dan Heidi Toffler ulas jauh sebelumnya. Bagaimana informasi (yang kini bisa kita representasikan dengan kuota internet) benar-benar merasuk ke dalam relung-relung kehidupan manusia khususnya generasi z yang sejak lahir telah dihidangkan dengan era informasi tersebut.
Era yang juga dikenal sebagai era post-industrial, atau era gelombang ketiga kini benar-benar semakin jelas terlihat. Dalam era transisi memasuki era informasi, banyak hal yang harus mulai dipikirkan, karena faktanya apa yang didambakan para futurolog bahwa perubahan menuju masyarakat informasi akan menciptakan kesejahteraan dan kedewasaan demokrasi, tapi fakta yang muncul tidak selalu demikian. Fukuyama benar-benar sangat mengkhawatirkan kondisi tersebut dengan membayangkan dunia telah menuju era kehancurannya sendiri.
Salah satu hal yang sangat dikhawatirkan oleh Fukuyama dalam era informasi ini adalah ikatan mutual masyarakat yang semakin memudar, bahkan cenderung individualis (hlm. 6). Hubungan antara teknologi, ekonomi juga berkaitan dengan persoalan kultural. Seperti halnya cerita si Eyang dengan Cucunya yang mengambarkan bagaimana perkembangan teknologi informasi membawa ketergantungan yang melunturkan nilai-nilai kekerabatan bahkan dengan lingkungan terkecil di dalam sebuah keluarga. Di balik semua kecemasan-kecemasannya, setidaknya Fukuyama masih menaruh rasa optimis bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, pada waktunya nanti akan terjadi upaya penataan ulang terhadap semua pelemahan-pelemahan atas komunalitas yang muncul akibat proses transisi dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi.
Kerusakan tatanan sosial akibat kemajuan teknologi sebenarnya bukan hal yang baru. Fase awal revolusi industri yang dialami dunia pun mengalami hal tersebut. Ritme kehidupan desa, kebiasaan, adat-istiadat digantikan dengan ritme perusahaan dan kota. Yang pada akhirnya membuat Ferdinand Tonnies memunculkan istilah yang kini dikenal dengan gemeinschaft dan gesellschaft.
Menyinggung persoalan individualisme, Fukuyama mengungkapkan bahwa hal tersebut pada dasarnya adalah persoalan yang problematik, banyak pihak baik yang berada pada garis ideologis kiri maupun kanan mencoba menghancurkan aturan-aturan yang tidak adil, tidak relevan atau ketinggalan zaman dengan mencoba memaksimalkan kebebasan personal, namun secara bersamaan hal tersebut berusaha diraih dengan upaya-upaya kooperatif baru yang memungkinkan mereka bisa merasakan hubungan dengan orang lain dalam sebuah komunitas. Terlebih, di era demokrasi, social capital mengambil peran penting. Tanpanya, tidak akan ada masyarakat sipil, dan tanpa masyarakat sipil, demokrasi tidak akan berhasil.
Fukuyama juga melihat great disruption dari adanya gejala tingkat kejahatan dan kekacauan sosial yang meningkat, begitu juga dengan menurunnya keluarga dan kekerabatan sebagai sumber kohesi sosial dan menurunnnya tingkat kepercayaan (hlm. 87). Gejala-gejala tersebut telah terbaca mulai dari tahun 1960-an di berbagai negara maju dengan tren yang melesat dibandingkan dengan beberapa periode sebelumnya. Meski Fukuyama juga menyebutkan ada beberapa negara seperti Jepang dan Korea yang cenderung bersifat outlier karena tidak menampilkan gejala fase transisi yang disertai peningkatan kejahatan dan kehancuran keluarga.
Secara umum Fukuyama menjelaskan bahwa setidaknya ada empat sebab musabab terjadinya apa yang ia sebut sebagai great disruption (hlm. 104). Pertama, fenomena tersebut muncul karena kemiskinan yang meningkat dan/atau kesenjangan penghasilan. Kedua, dan sebaliknya ia juga dapat muncul karena kekayaan yang meningkat. Ketiga, ia merupakan produk dari negara kesejahteraan modern (modern welfare state). Yang terakhir, ia timbul atas ingsutan kultural yang luas yang memasukkan kemerosotan agama dan meningkatnya swakepuasan individualistic di atas kewajiban komunal. Keempat hal tersebut merupakan sebuah rangkuman atas perubahan-perubahan sosial yang cepat dalam norma-norma yang terjadi sejak tahun 1965.
Berbeda dengan beberapa pihak yang mungkin hanya melihat statistik kejahatan yang meningkat hanya sekedar laporan biasa, Fukuyama mencoba untuk mempertanyakan mengapa hal itu terjadi dalam kurun waktu yang singkat dan masif di beberapa negara. Ia mengkaitkannya dengan peningkatan jumlah pemuda yang signifikan di kisaran tahun 1960-an dan 1970-an. Bisa jadi Baby Boom menjadi penyebab dari statistik kejahatan yang meningkat. Namun, kedua hal tersebut tidak selamanya berkorelasi, hal ini juga dibuktikan dari beberapa temuan penelitian bahwa perubahan struktur usia masyarakat tidak berhubungan dengan peningkatan jumlah kejahatan secara lintas negara atau cross sectional.
Penjelasan kedua terkait dengan kejahatan, Fukuyama mengkaitkannya dengan moderenisasi, kepadatan penduduk dan adanya kesempatan untuk melakukan kejahatan tersebut. Ia justru melihat urbanisasi dan lingkungan fisik yang berubah tidak terlalu signifikan menjadi penjelas atas tingkat kriminalitas yang semakin membuncah di tahun 1960-an. Meski, Paul Vidal de la Blanche, sempat mengatakan bahwa aglomerasi yang turut disertai adanya urbanisasi yang juga menjadi sebab berkumpulnya banyak orang di suatu kawasan turut menciptakan ekternalitas negatif di daerah perkotaan yang salah satunya berakibat pada tingkat kejahatan yang meningkat.
Penjelasan ketiga terkait dengan sebab musabab adanya kejahatan yang meningkat, Fukuyama menyebutnya sebagai “heterogenitas sosial”. Ia menyebutkan bahwa kejahatan cenderung muncul di antara minoritas rasial atau etnis. Hal tersebut dikarenakan lingkungan yang terlalu beragam secara kultural, linguistik, relijius, atau etnis tidak pernah bisa bersama sebagai komunitas yang mampu menegakkan norma-norma informal di antara para anggotanya.
Penjelas-penjelas lain yang coba digali yakni terkait ketidakpercayaan yang semakin meluas terhadap lembaga-lembaga maupun orang lain. Robert Putnam meyakini bahwa ada kemungkinan munculnya televisi yang membatasi diri seseorang terhadap kesempatan untuk melakukan aktivitas face-to-face. Kondisi tersebut berakibat pada pola interaksi masyarakat yang semakin individualis. Terlebih era sekarang ini, masyarakat bahkan seringkali asik dengan gawainya masing-masing ketimbang bercengkrama secara langsung antar sesama.
Mencoba menelisik lebih dalam, Fukuyama melihat bahwa kekerasan dan setidaknya, ketidakpercayaan bisa muncul akibat perubahan yang terjadi dalam struktur keluarga. Bahwa keluarga telah mengalami perubahan yang dramatis akibat dua pergolakan pada tahun 1960-an dan 1970-an akibat adanya revolusi seksual dan feminis (hal. 155). Hal tersebut dapat pula dikaitkan dengan perkembangan teknologi dan ekonomi yang terkait dengan akhir era industri. Kejahatan, kehancuran keluarga, dan lenyapnya kepercayaan merupakan ukuran-ukuran negatif dari social capital dan mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam berasosiasi demi tujuan-tujuan kooperatif, dan tingkat kepercayaan mereka.
Hal kontradiktif sekali lagi diungkapkan oleh Fukuyama terkait dengan pengaruh tingkat kelahiran yang menurun terhadap kehidupan keluarga dan social capital(hal. 183). Ia mengatakan bahwa seharusnya tingkat kelahiran yang menurun dapat meningkatkan tatanan sosial, karena kekacauan sosial secara tipikal merupakan produk anak-anak muda yang berdarah-panas, namun disisi lain keamanan sosial menjadi berkurang.
Merosotnya keluarga inti di Barat memiliki pengaruh negatif yang sangat kuat terhadap social capital dan terkait dengan peningkatan kemiskinan bagi masyarakat bawah dalam hierarki sosial. Salah satu akibat yang paling penting dari merosotnya social capital dalam keluarga adalah merosotnya human capital pada generasi-generasi berikutnya. Sementara, tingkat kejahatan yang semakin tinggi mencerminkan semakin mangkirnya social capital. Fukuyama mengganalogikannya dengan tingkat kejahatan yang tinggi sebaliknya bisa menyebabkan anggota komunitas yang menjunjung tinggi hukum menjadi saling tidak percaya. Ada kecenderungan masyarakat menjadi enggan untuk bersosialisasi bahkan hanya sekedar untuk keluar rumah akibat kecemasan tinggi akan menjadi korban kejahatan, pada akhirnya hal tersebut berdampak pada tingkat komunalitas warga.
Great disruption merupakan versi transisi yang diperbarui dari gemeinschaftmenuju gesellschaft yang terjadi selama abad ke-19, hanya saat ini terjadi ketika kita bergerak dari ekonomi industri menuju ekonomi informasi (hlm. 211). Kalau berbicara mengenai bagaimana membendung great disruption, kuncinya tetap ada pada upaya-upaya membangun kembali social capital di masa depan. Fakta menunjukkan bahwa kebudayaan dan kebijakan publik memberi kontrol tertentu kepada masyarakat atas kecepatan dan tingkat kehancuran pada akhirnya bukanlah jawaban atas pertanyaan bagaimana tatanan sosial seharusnya dimapankan di awal abad ke-21.
Social capital adalah sebuah pesan yang coba disampaikan oleh Fukuyama sebagai kunci menghadapi transisi dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi. Bagaimanapun juga sebuah tatanan sosial sangat tergantung dari bangun komunal yang dapat diwujudkan oleh suatu peradaban. Seberapa individualisnya seseorang dalam berjuang dan menegakkan kepentingan pribadinya, ia tetap membutuhkan komun-komun baru yang senafas dengan berjuangannya tersebut. Dalam penciptaan kesehatan civil society, sangat dibutuhkan . Untuk mencapai itu semua dibutuhkan kepercayaan untuk memunculkan yang pada akhirnya menjadi suplemen penting dalam hidup masyarakat di negara yang menerapkan sistem demokrasi.
Hanya saja thesis-thesis yang disampaikan oleh Fukuyama terkait dengan penyebab runtuhnya tatanan komunalitas dan kekacauan yang timbul di berbagai negara di era transisi menuju masyarakat informasi memiliki dasar validitas yang lemah. Terlebih ia mencoba mengangkatnya dalam lingkup besar dengan memaksakan diri memotret fenomena di banyak negara. Sangat memungkinkan sekali apa yang disampaikan bersifat spurious atau semu, ketika penelitian lain mendalami betul kasus-kasus di masing-masing negara. Terlebih jika berbicara hubungan sebab-akibat munculnya suatu fenomena dan mengkaitkannya dengan kejadian lainnya di rentang waktu yang sama.
Fukuyama, Francis. 2014. The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial (Terjemahan). Jakarta: Qalam.