Article Review: Keberagaman dan Modal Sosial di Abad 21

Rafif Pamenang Imawan

Rafif Pamenang Imawan

Scandinavian Political Studies

Judul Artikel : E Plubirus Unum: Diversity and Community in the Twenty-first Century

Penulis         : Robert D. Putnam

Penerbit       : Nordic Political Assosiation

Tahun Terbit : 2007

E Pluribus Unum, sebuah prinsip untuk melambangkan keberagaman masyarakat Amerika Serikat. Dalam kedudukan yang kurang lebih sama, kita dapat menempatkan E Pluribus Unum setara dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, sebuah prinsip yang menekan elemen pentingnya keberagaman. Artikel oleh Robert Putnam ini dibacakan ketika beliau menerima penghargaan Johan Skytte Prize di tahun 2006 dari Uppsala University.

Penghargaan ini diberikan oleh departemen ilmu politik di Uppsala University di setiap tahunnya, terutama kepada ilmuwan politik yang dinilai memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu politik. Di luar bahasan terkait selebrasi tersebut, artikel ini memiliki pengaruh yang besar pada diskusi mengenai modal sosial (social capital), terutama dalam konteks keberhasilan artikel ini mendorong kajian-kajian yang lebih serius mengenai modal sosial.

Fokus utama artikel ini ada pada persoalan masyarakat dan keberagaman, terutama di negara-negara utara, atau yang dikenal sebagai negara-negara industrialis maju. Bagaimanapun juga, perkembangan industrialisasi di negara-negara utara diikuti dengan perkembangan masyarakatnya. Dari sekian banyak cerita tersebut, migrasi adalah salah satu fragmen yang tidak dapat dilepaskan dari cerita negara maju. Amerika Serikat menjadi salah satu negara dengan tingkat heterogenitas yang tinggi.

Dalam artikelnya, Putnam memaparkan bahwa pada masa yang akan datang, heterogenitas akan semakin tinggi seiring dengan meningkatnya imigrasi ke negara tersebut. Tantangannya ada pada bagaimana dalam jangka panjang, sebuah negara mengelola keberagaman tersebut, sehingga keberagaman tersebut dapat berpengaruh positif bagi persoalan seperti kebudayaan, ekonomi, fiskal, maupun pembangunan. Topik bahasan yang dipaparkan Putnam, membawa kita pada bahasan terkait modal sosial, sebuah konsepsi yang memang telah melekat dan membawa Putnam menerima penghargaan Johan Skytte Prize. Mari kita elaborasi terkait konsepsi modal sosial.

Modal Sosial dan Keberagaman

Pada dasarnya konsepsi modal sosial merupakan bahasan yang telah lama dielaborasi oleh Putnam. Sebelum Putnam, sudah terdapat banyak ilmuwan maupun pemikir yang membahas mengenai konsepsi ini. Di antara banyak nama tersebut, terdapat nama Piere Bourdieau dan James Coleman, keduanya dikenal sebagai sosiolog dan pemikir. Di luar nama tersebut, terdapat nama Francis Fukuyama yang dikenal pula sebagai ilmuwan politik. Dibandingkan Fukuyama, nama Putnam lebih dahulu menancapkan diri sebagai ilmuwan politik yang mengelaborasi modal sosial dengan demokrasi.

Riset awal Putnam terkait modal sosial ada di Italia, ketika melihat bagaimana struktur sosial di Italia Utara dan Selatan membentuk modal sosial yang berbeda pula. Secara sederhana dan ringkas, modal sosial dapat dipahami sebagai ikatan sosial yang di dalamnya terdapat norma timbal balik dan kepercayaan. Hasil dari studi Putnam tersebut menunjukkan bahwa Italia bagian utara membentuk jejaring sosial yang melintasi identitas kelompok yang berbeda, atau yang disebut dengan bridging social capital, sedangkan Italia bagian selatan membentuk jejaring sosial yang eksklusif, atau disebut dengan bonding social capital (Putnam, 1994; 2000). Pembeda utama dari kedua wilayah tersebut ada pada struktur sosialnya, Italia bagian utara memiliki setting sosial masyarakat industri yang memungkinkan interaksi masyarakat yang lebih egalitarian. Berbeda dengan Italia bagian selatan yang memiliki corak patron-klien yang kuat, mengingat di wilayah ini masih terdapat beberapa struktur kerajaan dan banyaknya kelompok mafia.

Dengan mendasarkan pada dua kategorial terkait modal sosial tersebut, Putnam mengelaborasi bahasan terkait dengan keberagaman dan modal sosial. Dalam artikel ini, Putnam mengelaborasi dua teorisasi terkait bahasan ini, yakni contactdan conflict theory. Contact theory menekankan bahwa keberagamaan akan menurunkan perbedaan antara kelompok masyarakat yang identik dengan atribut kita, seperti atribut etnis, agama serta atribut tribal lainnya, dan mendorong solidaritas lintas kelompok, atau yang biasa disebut dengan bridging social capital. Pada sisi yang berbeda, Conflict theory menekankan bahwa keberagaman akan menguatkan perbedaan serta mengeraskan solidaritas dalam kelompok, atau yang disebut dengan bonding social capital.

Pada artikel ini, Putnam menambahkan satu kategori yang menjelaskan bahwa keberagaman dapat menurunkan solidaritas ke dalam maupun solidaritas keluar, atau dengan kata lain menurunkan bridging social capital dan bonding social capitalpada saat yang bersamaan. Hal ini diberi label oleh Putnam sebagai constrict theory. Berdasarkan bangun konseptual seperti ini, Putnam lantas mendorong proposisi terkait dengan keberagaman dan modal sosial. Baginya dalam jangka waktu yang pendek, akan terdapat benturan antara masyarakat terkait keberagaman, namun dalam jangka panjang, keberagaman akan berpengaruh positif terhadap aspek-aspek eksternal seperti demokrasi, ekonomi, maupun budaya.

Proposisi yang dipaparkan oleh Putnam, dikritik sendiri sebagiannya olehnya. Bagaimanapun juga, persoalan identitas di abad 21 berbeda dengan dekade-dekade sebelumnya. Identitas bukanlah sebuah konstruksi yang baku atau tetap. Sebagai ilustrasi, seorang anak yang lahir dari bapak berasal dari Amerika Latin dan ibu dari India misalnya, akan sulit mengidentifikasi diri sebagai orang Amerika Latin atau India. Persoalan-persoalan ini semakin pelik ketika konteks turut mempengaruhi bagaimana kita menilai keberagaman di wilayah tersebut. Untuk studi-studi terkait dengan hal ini, dibutuhkan process tracing untuk melihat bagaimana konstruksi sosial di wilayah tersebut terbentuk dari waktu ke waktu.

Kewarganegaraan

Pada bahasan lebih mendalam, artikel Putnam menekankan pada bagaimana sebuah negara mengelola kebijakan integrasi imigran untuk dapat menyatu dengan warga yang telah ada sebelumnya. Pada bahasanya yang berbeda, konsepsi kewarganegaraan menjadi penting diletakkan sebagai nilai utama, melebihi identitas-identitas etnosentrisme. Identitas sebagai warga negara Amerika Serikat atau dalam konteks kita, sebagai warga negara Indonesia, harus berada di atas identitas kesukuan. Harapannya, identitas yang beragam tersebut memungkinkan kita untuk dapat mendorong aksi-aksi bersama, atau dalam berbeda mendorong norma kewargaan.

Persoalannya, integrasi imigrasi tidaklah semudah yang dibayangkan. Pengalaman pribadi saya menunjukkan hal tersebut. Pada tahun 2014, ketika saya masih mengambil perkuliahan dalam bidang Ilmu Politik di Uppsala University, terdapat satu peristiwa penusukan dari imigran terhadap ‘warga lokal’. Pada momen yang berbeda, terdapat pelecehan seksual yang dilakukan oleh imigran yang berasal dari daerah Timur Tengah. Sebagai negara yang dikenal cukup ramah terhadap imigran, Swedia kewalahan dalam mengelola para imigrannya, terbukti dengan persoalan norma yang berbenturan. Masyarakat di Timur Tengah barangkali jarang melihat wanita dengan pakaian yang lebih terbuka dan gagal dalam mengadopsi norma yang berlaku di Swedia. Ini merupakan satu fragmen kecil terkait kegagalan kebijakan terkait imigrasi.

Pada sisi yang berbeda, politik di dunia menunjukkan kecenderungan bekerjanya populisme dalam pemilu-pemilu di negara demokratis. Salah satu contoh bekerjanya populisme ada pada pemilu Amerika Serikat tahun 2016. Kandidat yang maju pada saat itu adalah Donald Trump dari partai Republik dan Hillary Clinton dari partai Demokrat. Cerita berujung pada kemenangan Donald Trump dengan tagline Make America Great Again, disertai dengan tawaran kebijakan membuat tembok di perbatasan Amerika Serikat dengan Mexico, serta persoalan mengenai imigrasi. Dibangunnya tembok perbatasan ini bagaimanapun juga menjadi simbol bagaimana Trump mendekati persoalan imigrasi dan keberagaman. Alhasil pertarungan pemilu ini menempatkan Republik sebagai partai yang secara terang benderang anti imigran, sedangkan Demokrat berada di sisi sebaliknya.

Pada konteks Indonesia, Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menunjukkan satu hal yang serupa. Mobilisasi identitas dengan narasi utama latar belakang agama, membelah masyarakat ke dalam dua kelompok besar pendukung masing-masing calon, baik itu Anies Baswedan maupun Basuki Tjahaja Purnama. Meski dalam konteks yang berbeda, persoalan keberagaman telah menjadi subyek bahasan yang krusial, terutama di abad 21 ketika keberagaman menjadi isu yang tidak dapat dihindarkan.

Kontribusi

Kajian Putnam dibangun menggunakan data kuantitatif dengan sumber data sensus penduduk dan membagi wilayah berdasarkan homogenitas dan heterogenitas penduduk, dikaitkan dengan variabel trust. Konstruksi data ini pada dasarnya mirip dengan bukunya yang berjudul ‘Bowling Alone’ dengan fokus utama pada menurunnya tingkat keterlibatan individu pada assosiasi-assosiasi di Amerika Serikat. Bangun data kuantitatif yang disusun di setengah bagian awal artikel hendak menunjukkan persoalan homogenitas dan heterogenitas, terutama dikaitkan dengan proporsi teoritiknya terkait pengelolaan keberagaman dalam jangka panjang dan jangka pendek.

Pada separuh bagian lagi, artikel ini mendeskripsikan persoalan-persoalan yang belum terjawab terkait dengan identitas dan keberagaman. Persoalan tersebut merentang dari berbagai paradigma hingga metode, mulai dari paradigma post-strukturalis hingga metode process tracing. Putnam nampak menyadari banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Pada konteks ini, artikel ini diletakkan sebagai salah satu titik acuan bagi ilmuwan yang hendak melakukan penelitian terkait dengan modal sosial dan keberagaman. Apabila melihat kembali tingkat sitasi terhadap artikel ini, maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari artikel ini untuk memprovokasi tema bahasan serupa telah terwujud.

Daftar Pustaka

Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of American community. Simon and schuster. Putnam, R. D. (2007). E pluribus unum: Diversity and community in the twenty‐first century the 2006 Johan Skytte Prize Lecture. Scandinavian political studies, 30(2), 137-174.
Putnam, R. D., Leonardi, R., & Nanetti, R. Y. (1994). Making democracy work: Civic traditions in modern Italy. Princeton university press.

Bagikan Postingan:

Ikuti Info Rana Pustaka

Terbaru

Copyright @ Populi Center
id_IDIndonesian