Sutradara : Todd Phillips
Skenario : Todd Phillips, Scott Silver
Tahun : 2019
Durasi : 2 Jam 2 Menit
Pada sebuah jalan yang ramai di kota Gotham, seorang badut membawa papan iklan sambil berdansa ceria, riang, dan penuh semangat. Tidak lama kemudian datang anak-anak remaja yang lantas merampas papan iklan tersebut. Spontan sang badut mengejar si perampas. Papan iklan itu adalah penyambung hidupnya untuk mendapatkan upah. Dengan tergopoh-gopoh, si badut mengejar para remaja sampai di sebuah gang kecil. Ketika masuk ke dalam gang tersebut, ia dihajar oleh remaja-remaja perampas itu.
Pengeroyokan ini menjadi titik masuk pada bahasan yang konstruktif dan dalam batasan tertentu dekonstruktif terhadap apa yang disebut baik dan apa yang disebut buruk yang berada di sepanjang film ini. Relativitas terkait dengan hal baik dan buruk tersebut tentu mengingatkan kita pada filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche yang mempertanyakan kembali terkait dengan kebenaran. Sedikit berbeda darinya, film ini tidak sama sekali membahas terkait nihilisme, melainkan masuk pada antagonisme dan kontektualitas akan baik dan buruk tadi.
Badut malang tadi adalah Joker. Setting film ini ada pada tahun 1981 dengan tokoh utama Arthur Fleck, seorang badut berusia 40 tahun yang menderita kelainan otak. Kelainan ini menyebabkan dirinya tertawa pada waktu yang tidak tepat atau sewaktu-waktu. Orang yang melihatnya bisa jadi tersinggung, apabila tidak menempatkan diri pada konteks atau mengetahui latar belakang Arthur. Secara rutin Arthur meminum obat penenang untuk mengatasi kegilaannya, obat tersebut disediakan oleh layanan sosial di Gotham.
Sebagai pria berusia 40 tahun, Arthur masih tinggal bersama ibunya, bernama Penny. Dalam satu babak, Arthur mengira bahwa Thomas Wayne, ayah dari Bruce Wayne (Batman), merupakan ayah kandungnya. Arthur menemukan surat-surat dari Penny ibunya, kepada Thomas Wayne bahwa anak yang dikandungnya (Arthur) merupakan anak dari hubungan gelapnya ketika menjadi pembantu di keluarga Wayne.
Ternyata hal tersebut merupakan ilusi dari Penny, dirinya memiliki gangguan kejiwaan, hingga akhirnya dipecat oleh keluarga Wayne. Adapun sikap ketawa terus menerus dari Arthur merupakan akibat dari benturan keras sewaktu dirinya masih kecil. Ketika kecil, Arthur menjadi korban dari kekerasan fisik yang dilakukan oleh ibunya. Pada akhirnya nyawa Penny melayang sendiri di tangan Arthur, ketika Penny sedang berada di ranjang rumah sakit. Sebelum membunuh Penny dengan cara menutup wajahnya dengan bantal, Arthur berujar “I used to think that my life was a tragedy, but now I realize, it’s a comedy”.
Layaknya sebuah karya seni lainnya, interpretasi akan film sangat ditentukan pula oleh penontonnya. Latar belakang ilmu sosial mendorong saya melihat lebih detail terkait dengan setting sosial yang melingkupi film ini. Memang betul bahwa persoalan kesehatan mental menjadi salah satu sisi yang banyak diulas, namun di sisi lain persoalan sosial yang melingkupi film ini patut untuk diperhatikan.
Layaknya film dengan latar heroisme pada umumnya, Arthur dengan penuh harap dan percaya diri meyakini bahwa persoalan sosial ekonomi di kota Gotham yang saat itu ricuh, dapat diselesaikan andai Thomas Wayne menjadi Walikota. Keyakinan tersebut tidak berkurang, meski kondisi sosial ekonomi kota Gotham semakin tidak menentu. Terdapat banyak pembunuhan, penjarahan, hingga krisis legitimasi pada institusi penegak hukum. Harapan tersebut pupus ketika pada akhirnya Arthur menjadi simbol dari perlawanan masyarakat. Pada titik ini, masyarakat yang melakukan penjarahan dan melawan otoritas negara dianggap sebagai pahlawan.
Terdapat beberapa narasi yang mengemuka, terutama bagaimana kota Gotham keluar dari masalah yang melingkupinya. Terdapat narasi yang mengatakan bahwa solusi ada pada bentuk masyarakat komunis, yakni masyarakat tanpa kelas ketika distribusi kesejahteraan diberikan secara merata, tanpa melihat kontribusi terhadap masyarakatnya. Solusi berbeda ada model sosialistis, ketika distribusi kesejahteraan ditentukan oleh bagaimana individu tersebut berkontribusi ke masyarakat. Model berbeda ada pada liberalistis, ketika kebebasan individual menjadi nilai utama. Pada model liberalistis ini, kecenderungan persoalan distribusi kesejahteraan ada pada sistem kapitalistik yang menekankan pada kebebasan individual.
Memang tidak dijelaskan secara spesifik persoalan pendekatan penyelesaian masalah dalam film Joker, hanya saja naratif alternatif kekacauan ada pada model-model tersebut. Arthur dari semula dianggap sebagai orang dengan gangguan mental, idealisasi terhadap normalitas yang dipandang Arthur, menjadi kesadaran bersama massanya. Salah satu simbol yang melekat terhadap simbolisasi tersebut ada pada topeng badutnya. Dari cara pandang ini, kekacauan pada dasarnya merupakan irama.
Anarkisme turut menjadi sisi menarik dari film ini. Anarkisme dapat dimaknai sebagai suatu kondisi ketika negara tidak hadir. Kondisi ini menunjukkan bahwa negara dan perangkat hukumnya tidak bekerja dalam mengatur warganya. Kondisi absennya negara inilah yang disebut dengan anarkisme, adapun orang yang melakukan tindakan tanpa adanya aturan negara ini disebut dengan tindakan anarkis.
Babak terkait dengan mobilisasi massa ini mengingatkan saya kepada film-film serupa, seperti film ‘V for vendeta’. Pada momen ini, ketidakadilan sosial politik dilawan dengan anonimitas, namun tetap saja, perjuangan kelas tersebut membutuhkan simbol. Dalam situasi yang serba kacau, pemimpin karismatik selalu hadir, baik itu berada di sisi yang dianggap baik maupun sisi buruk. Arthur yang semula mengharapkan keselamatan dari situasi yang serba kacau kepada established elite, pada akhirnya menjadi simbol terhadap perjuangan akan ketertiban yang diupayakannya.
Di sepanjang pemutaran film, penonton selaksa dibawa pada kemungkinan pemaknaan dan mempertanyakan ulang kembali bahasan terkait kebenaran. Konstruksi terkait kebenaran selama ini diidentikkan dengan Batman, atau superhero yang selama ini kita anggap benar. Film Joker ini justru menceritakan realitas dan konstruksi kebenaran dari pihak yang selama ini kita anggap buruk. Pada dasarnya kebenaran bergantung pada sisi mana kita berpijak, serta bagaimana realitas dikonstruksikan. Dengan kata lain, tidak ada kebenaran yang mutlak. Narasi dan realitas yang meliputinya, secara terus menerus diproduksi dan membentuk kebenaran.
Hal yang menarik ada pada pentingnya anonimitas dalam menghasilkan narasi tandingan. Hal ini mengingatkan saya pada satu buku dengan judul Revolution 2.0, sebuah memoar yang menceritakan bagaimana revolusi di Mesir dilakukan dengan propaganda di media sosial. Penulis buku tersebut merupakan salah satu orang yang melakukan propaganda dalam melawan rezim otoritarian. Dalam upayanya, penulis melakukan propaganda dengan identitas anonim. Pada akhirnya, rezim otoritarian tersebut tumbang setelah propaganda berhasil menarik massa menduduki tempat-tempat strategis.
Apa yang ditampilkan dalam film Joker menunjukkan bahwa pada dalam upaya melawan rezim yang diklaim benar dan hegemonik, maka dibutuhkan ruang-ruang alternatif. Bahkan dalam beberapa hal, dibutuhkan anonimitas, karena bisa dikatakan bahwa penindasan menghasilkan derita yang sama. Hanya saja, penderitaan tersebut tidak lantas menghasilkan aksi kolektif bagi sesama orang yang ditindasnya. Film Joker ini mengusik kembali keyakinan kita akan kebenaran, bahwa segala hal pada dasarnya adalah konstruksi. Secara tidak langsung film ini mendekonstruksi ulang citra hegemonik kita bahwa Batman adalah pihak yang benar dan Joker adalah pihak yang selalu salah. Pada dasarnya tidak ada beda antara Batman dan Joker, pembeda hanya berada pada dimana keduanya berpijak dan pada pijakan mana di antara keduanya yang dianggap normal oleh citra yang hegemonik.
Konstruksi akan kebenaran, hal inilah yang melekat ketika mencoba merefleksikan kembali garis besar film ini. Film ini dapat dikatakan gelap, berat, dan tidak sesuai apabila dikonsumsi oleh remaja di bawah usia. Banyak hal-hal yang menggugah kembali pandangan kita akan banyak hal, baik itu heroisme, kebenaran, hingga kenormalan. Bagi saya, film Joker memberikan banyak sekali refleksi terkait bagaimana rezim kebenaran di dunia nyata. Banyak hal yang membuat kita berfikir ulang, sebagai contoh, apakah solusi terkait dengan kepemimpinan kita melalui pemilu selama ini hanya sebuah seremoni yang tidak menjadi solusi tepat bagi masyarakat. Pemilu hanya menjadi perputaran bagi established elite. Pada sisi yang lain, kehadiran pemimpin karismatik seperti Joker, menjadi penting sebagai simbol bagi satu lapisan kelas yang tertindas, bagi kelompok-kelompok yang tidak terdengar. Film ini menunjukkan bahwa barangkali memang dibutuhkan satu Langkah radikal untuk dapat mengatasi persoalan atau mengeluarkan suara-suara yang dianggap minor, ketika mekanisme yang dianggap normal dan ajeg tidak dapat menjadi solusi bagi pewujudan keadilan.
Phillips, T. (Sutradara), (2019). Joker. Amerika Serikat: DC Film Ghonim, W. (2012). Revolution 2.0: The power of the people is greater than the people in power. Houghton Mifflin harcourt.