Sutradara : Stuart Townsend
Skenario : Stuart Townsend
Tahun Terbit : 2008
Durasi : 1 Jam 38 Menit
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya saya akan menjadi bagian dari sebuah organisasi mahasiswa ekstrakampus besar di negeri ini, yang tidak hanya paling lugas lambangnya – banteng ketaton –, tetapi juga pemikirannya, menurut saya. Itupun terjadi secara tidak sengaja, karena sebelumnya saya sudah ingin bergabung dengan organisasi kepemudaan dengan baju loreng oranye kebanggaannya. Entah kebetulan pula, setelah sekian lama bergabung dalam organisasi tersebut, secara tidak sengaja saya menemukan arsip-arsip “lawas” Eyang saya dan banyak di dalamnya mengulas ideologi yang sama. Ternyata darah “abangan” memang telah melekat secara biologis di dalam diri saya.
Nostalgia masa itu, tidak lengkap rasanya jika tidak mengulas lumrahnya aksi turun kejalan. Terlebih ketika mengingat mahasiswa pernah berperan penting menumbangkan rezim Orde Baru di tahun 1998, kemudian aksi turun ke jalan seolah menjadi sebuah keharusan. “Dadi mahasiswa kok ora tau demo?, Dadi mahasiswa kok mung kupu-kupu, (kuliah pulang, kuliah pulang), la terus ngopo koe dadi mahasiswa?” begitulah kiranya lagak sok-sokan aktivis mahasiswa kala itu. Terbawa dalam romantisme gerakan tersebut, tak jarang membawa saya beberapa kali menjadi koordinator aksi. Hal pertama yang wajib dilakukan sebelum melakukan aksi salah satunya adalah Machtsvorming dan Machtwending, bagaimana penggalangan kekuatan dilakukan dan penggunaan kekuatan yang telah digalang tersebut.
Dua paragraf awal tersebut hanyalah sepenggal memori masa lalu saya yang seolah hidup kembali ketika melihat film yang diperankan oleh Michelle Rodriguez (Lou) dan Martin Henderson (Jay). Film yang mengambil latar asli akan sebuah kejadian aksi demonstrasi pada Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (WTO) di Washington, Amerika Serikat tahun 1999. Dalam kejadian aslinya, protes terhadap WTO dilayangkan oleh lebih dari 40.000 demonstran yang terdiri dari aktivis lingkungan, HAM hingga organisasi buruh dan menjadikan aksi tersebut sebagai salah satu demonstrasi terbesar di Amerika Serikat. “Buruh dan pecinta alam bersatu!” kira-kira begitu teriakan para demonstran dalam film tersebut.
Berbeda dengan film-film lainnya, cukup susah untuk penikmatnya mengenal betul nama masing-masing karakter, terlebih saya yang sukar menghafal nama orang yang baru dikenal terlebih karakter di film yang tercatat baru saya tonton kembali, setelah pertamakali saya simak mungkin lebih dari 5 tahun silam. Memang sang sutradara tidak berusaha untuk menonjolkan masing-masing karakter dalam film tersebut, Praktis hanya Lou, sosok seorang perempuan berambut ikal panjang dan Jay pria dan aktivis lingkungan di dalam film tersebut yang bahkan tak lebih dari hitungan jari disebut namanya dalam dialog di film tersebut. Jay dan Lou adalah segelintir inisiator dalam aksi yang direncanakan berlangsung damai tersebut.
Menonton Martin Henderson memerankan Jay seolah mengambarkan betul bagaimana dahulu saya melakukan aksi. Tidak pernah sedikitpun terpintas kala itu saya melakukan setting chaos dalam aksi-aksi yang saya koordinir. Saya selalu mengingatkan kepada kawan-kawan yang lain agar tetap mengawasi dan menjaga diri, jangan sampai ada yang tercecer, bahkan ketika provokasi hadir dan pada akhirnya berakhir ricuh, karena situasi yang tidak terkendali. Begitu pula Jay mengkoordinir kawan-kawannya yang lain. Pada beberapa scene tampak ia beradu argumen dengan seorang demonstran yang bernama Johnson yang diperankan oleh Channing Tatum yang tiba-tiba memecah kaca toko-toko yang berada di jalanan Seattle. Ia tetap berupaya mendorong aksi yang dilakukan untuk menentang WTO berjalan secara damai.
Johnson adalah seorang polisi yang menyamar menjadi seorang demonstran. Ia bertugas untuk membuat aksi protes menjadi chaos, yang pada akhirnya membuat polisi memiliki alasan untuk melakukan tindakan lebih tegas untuk membubarkan demonstrasi yang direncanakan berjalan damai tersebut. Nampak di awal aksi, demonstran bersikap tertib meski mereka melakukan blockade terhadap persimpangan jalan di Seattle menuju Paramount Theater, tempat berlangsungnya Konferensi WTO. Para demonstran bergandengan tangan dan membuat sebuah lingkaran. Tabung beton menyelimuti dan menghubungkan masing-masing gandengan lengan tangan para demonstran yang membentuk lingkaran di persimpangan-persimpangan jalan sekitar area konferensi. Tidak hanya itu, mereka juga sengaja menggembok tangan mereka dengan rantai di dalam tabung beton tersebut. Salah satu cara memecah lingkaran yang dibuat para demonstran tersebut tentu dengan menghancurkan pipa atau tabung beton yang menghubungkan masing-masing tangan demonstran tersebut. Tindakan tersebut membuat banyak delegasi Menteri dalam konferensi WTO yang diselenggarakan di Seattle tidak dapat menuju Paramount Theater.
Polisi paham bahwa jika demonstrasi berlangsung damai, agenda pertemuan WTO tersebut tidak dapat berjalan. Tanpa dasar yang jelas polisi tidak dapat membubarkan aksi tersebut, satu-satunya jalan tentu dengan membuat demonstrasi yang berlangsung menjadi aksi anarkis sehingga tindakan tegas dapat dilakukan. Kondisi dilematis yang selalu dialami oleh polisi dimanapun ketika menghadapi aksi massa. Mungkin sebagian dari mereka juga ada yang tidak sepakat dengan kebijakan-kebijakan WTO, akan tetapi mereka tetap harus menjalankan tugasnya sebagai aparat keamanan. Film ini mengungkap dengan baik realitas demonstrasi bahwa dengan massa yang begitu banyak tidak ada jaminan aksi berjalan tanpa kericuhan. Akan selalu ada provokator yang mencoba menunggangi suatu aksi meski sebelumnya telah direncanakan berjalan dengan damai.
Di lain sisi, film ini juga menampilkan sebuah potret negatif dari sebuah aksi. Pasti akan ada orang-orang yang dirugikan bahkan menjadi korban dari aksi yang menjurus pada kericuhan. Raut muka Dale seorang anggota polisi yang diperankan oleh Woody Harrelson nampak bahagia. Ia empat bulan lagi, untuk pertamakalinya, akan menimang buah hatinya dengan Jean yang diperankan oleh Connie Nielsen. Tangannya mengusap perut Jean yang mulai nampak membesar kala mereka sedang melakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) di sebuah rumah sakit. Tidak segan mereka berdua membagikan raut kebahagiaan tersebut kepada rekan-rekan mereka.
Namun malang, Jean yang bekerja disebuah butik di Seattle kala itu harus terjebak oleh para demonstran. Dean sudah coba memberikan peringatan kepada Jean untuk segera pulang, karena demonstrasi di Seattle mulai ricuh. Tidak selang beberapa lama, seorang demonstran nampak berkucuran darah masuk terjerembak ke dalam butik tempat Jean bekerja. Jean pun perlahan melangkah keluar butik untuk pulang menuju kediamannya. Nahas, ia tidak mampu keluar dari kericuhan aksi. Wanita yang sedang mengandung buah hati berusia 5 bulan tersebut harus menahan pedihnya gas air mata yang mulai ditembakkan oleh polisi yang mencoba mengurai para demonstran. Di antara para demonstran yang berhamburan, ia justru terkena hantaman pentungan polisi tepat di kandungannya. Tersungkur tubuh wanita tersebut, bersimbah darah menahan sakit, tangis langsung terkucur dengan raut cemas akan kondisi janin yang ia kandung.
Beberapa saat kemudian Dean mendapat kabar bahwa ia harus menemui istrinya yang sedang terbaring lemas di rumah sakit. Hari itu nampak tidak hanya menjadi bencana bagi WTO tetapi juga dirinya, istrinya harus tersungkur karena ulah oknum polisi, profesi ayah janin yang dikandung Jean. Tragisnya, meski tengah menghadapi cobaan berat, ia pun tidak mendapatkan izin oleh komandaannya untuk mengambil cuti menemani istrinya yang sangat membutuhkan sosoknya di masa-masa sulit tersebut.
Di luar sisi lain demonstrasi yang seringkali muncul tanpa sengaja, namun film ini mampu menampilkan realitas apa adanya yang terjadi dalam sebuah aksi massa. Tidak hanya dilema yang harus dihadapi oleh Dean yang tetap harus bertugas menjaga keamanan di tengah istrinya yang terbaring lemas, Ella seorang reporter berita yang diperankan oleh Charlize Theron turut merasakan tekanan bahwa apa yang ia laporkan dan lihat secara langsung tidak selamanya ditampilkan begitu adanya kepada para pemirsanya. Wacana di media televisi tidak dapat dilepaskan dari kepentingan siapa pemilik saluran televisi tersebut. Karenanya pula, objektifitas pemberitaan media selalu dipertanyakan oleh penggiat dan aktivis hak asasi manusia.
Dari beberapa scene yang terlihat menonjol dari film “Battle in Seattle”, pesan yang ingin disampaikan sejatinya adalah adanya upaya-upaya terselubung untuk melakukan sentralisasi kapital. Bagaimanapun isu-isu yang disampaikan dalam konferensi yang selalu digelar oleh WTO lebih menitikberatkan kepentingan para kongsi-kongsi dagang di dunia. Liberalisasi yang nampak kebablasan sering membuat negara-negara anggota WTO harus meratifikasi perjanjian dagang, atau melakukan deregulasi dan debirokratisasi besar-besaran. Praktiknya, dalam mengupayakan hal tersebut, tidak sedikit negara menjadi abai terhadap kepentingan-kepentingan esensial warganya.
Akhirnya pertumbuhan ekonomi yang berupaya dikejar oleh negara-negara di dunia melalui liberalisasi besar-besaran di semua sektor kehidupan hanya menghasilkan angka-angka pertumbuhan yang fana. Hal tersebut yang turut membuat Joseph Stiglitz jengah terhadap kondisi perekonomian dunia saat ini. Irma Adelman dan Cynthia Taft Morris juga telah memberikan peringatan akan resiko mengejar pertumbuan ekonomi melalui karyanya yakni “Economic Growth and Social Equity in Developing Countries” (1973). Pertumbuhan ekonomi tidak hanya sekedar mengejar kenaikan angka persentase keluaran suatu negara setiap tahunnya. Ada hal yang bersifat multidimensional di dalamnya. Karena kritik beberapa orang tersebut pula yang pada akhirnya kini membuat pertumbuhan ekonomi tidak lagi menjadi ukuran Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menentukan status sebuah negara apakah tergolong negara maju, berkembang, dan miskin.
Townsend, Stuart. 2008. Battle in Seattle. Redwood Palms Pictures.