Book Review: What is A Bullshit Jobs?

Hartanto Rosojati

Hartanto Rosojati

Bullshit Jobs: A Theory

Penulis              : David Graeber

Penerbit            : Simon & Schuster (New York)

Tahun Terbit       : 2018

Jumlah Halaman : 368

Tanggal 12 Februari 1961 di Amerika lahirlah David Rolfe Graeber yang kemudian lebih dikenal dengan nama David Graeber. Ia adalah seorang profesor antropologi di London School of Economics. Sebagai seorang teoritikus sosial, beberapa karyanya cukup fenomenal, yang salah satunya akan saya ulas dalam tulisan lebih lanjut, yakni Bullshit Jobs (2018). Selain buku tersebut, beberapa buku yang pernah ia tulis adalah Debt: The First 5000 years (2011) dan The Utopia of Rules (2015).

Melalui Bullshit Jobs (2018), ia memberikan pandangan terkait dengan dunia kerja. Dalam bukunya tersebut, Graeber membagi pembahasan menjadi tujuh bagian yang diberi judul berupa pertanyaan, seakan menyasar para pembacanya untuk merefleksikan perdebatan apa yang ingin disampaikan oleh Graeber. Ketujuh chapter tersebut adalah: Pertama, What is bullshit job?, Kedua, What sorts of bullshit jobs are there?, Ketiga, Why do those in bullshit jos regularly report themselves unhappy?, Keempat, What is it like to have a bullshit job?, Kelima, Why are bullshit jobs proliferating?, Keenam, Why do we as a society not object to the growth of pointless employment?, dan Ketujuh, What are the political effect of bullshit jobs, and is there anyting that can be done about this situation.

Kurt bekerja untuk sub kontraktor (subkon) dari subkon yang disubkon dari subkon untuk militer Jerman. Secara lebih jelas Militer Jerman memiliki subkon untuk mengurusi bidang Information and Technology (IT). Karena perusahaan IT tersebut tidak memiliki logistik, maka perusahaan tersebut mempekerjakan subkon yang mengerjakan manajemen personalia, dan Kurt bekerja di sana. Lalu apa yang Kurt kerjakan?

Seorang tentara A pindah ruang kerja jauh ke ujung lorong. Daripada memindahkan komputernya, tentara tersebut harus mengisi sebuah formulir. Kemudian. Pihat subkon IT akan mempersiapkan formulirnya dan meminta seseorang untuk membaca dan menyetujuinya, kemudian dilanjutkan ke pihak logistik. Pihak logistik kemudian menyetujuinya dan akan meminta seseorang dari personalia. Kemudian seseorang dari bagian personalia tersebut akan melakukan apapun yang mereka inginkan, di sinilah Kurt akan bekerja. Dari sini kurt mendapat pesan elektronik untuk berada di barak B pada waktu C. Lokasi barak B tersebut berada kurang lebih 100-150 km dari rumah Kurt. Karena itu Kurt harus menyewa mobil, mengendarainya ke barak, memberitahu petugas bahwa ia sudah sampai, kemudian mengisi formulir, melepas instalasi komputer, memasukkannya ke kotak, dan meminta petugas dari perusahaan logistik membawa kotak tersebut ke ruangan yang akan ditempati tentara A tersebut. Setelah itu Kurt membuka segel kota tersebut, memasang computer, mengisi formulir, dan mendaptkan beberapa tandatangan. Kemudian ia pulang dengan mengendarai mobil sewaan, melaporkan dokumen, dan dibayar.

Cerita di atas mengawali diskusi yang ingin disampaikan oleh Graeber melalui Bullshit Jobs (2018). Alih-alih tentara A memindahkan komputernya ke ruangan lain yang berjarak kurang lebih 5 meter, seseorang harus menyewa mobil dan mengendarainya selama kurang lebih 4-6 jam, mengisi banyak dokumen dan membuang uang para pembayar pajak sekitar empat ratus euro (Graeber, 2018:39-40). Apa yang Kurt kerjakan bukanlah tidak jelas, melainkan kegelisahan ini datang dari diri Kurt sendiri tentang apa yang ia kerjakan. Pada akhirnya apa yang dituliskan Graeber adalah Kurt beranggapan dan membenarkan bahwa yang ia kerjakan sebenarnya tidak memiliki tujuan apapun. Hal ini yang kemudian mengantarkan Graeber memberikan kesimpulan awal tentang apa itu sebenarnya bullshit Jobs, yakni pekerjaan yang sama sekali tidak berguna, tidak perlu, bahkan tidak akan ada yang kemudian memperhatikan jika orang yang memiliki pekerjaan itu menghilang (Graeber, 2018:42).

Berdasarkan penelitiannya sendiri, Graeber menyimpulkan ada sekitar 37 hingga 40 persen dari populasi pekerja di suatu negara menganggap apa yang mereka kerjakan adalah bullshit jobs (Graeber, 2018:50). Data ini menunjukkan bahwa tidak sedikit pekerja yang menganggap dirinya tidak berguna dalam pekerjaannya. Mungkin saja mereka melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Kurt.

Tidak hanya Kurt yang menjadi cerita dari Graeber, selanjutnya ia coba memberikan gambaran tentang pekerjaan apa yang bisa dikategorisasikan sebagai bullshit jobs atau tidak, meskipun apa yang ia jelaskan juga dapat dipertentangkan karena sifatnya yang subjektif. Oleh karena itu, Graeber mencoba menjelaskan sebuah pekerjaan dari sudut pandang para pekerja itu sendiri, karena tidak ada yang mengerti dari sebuah pekerjaan daripada pekerja itu sendiri.

Dari beberapa pekerjaan yang dijelaskan oleh Graeber, ada yang cukup menarik perhatian saya, yakni mafia pembunuh bayaran. Ketika Graber mendefinisikan bullshit jobs sebagai pekerjaan yang tidak berguna atau bahkan tidak ada manfaatnya di masyarakat, ia justru menolak anggapan bahwa mafia pembunuh bayaran sebagai seorang bullshit jobs. Seperti yang kita ketahui bahwa mafia pembunuh bayaran memang tidak memiliki dampak positif bagi masyarakat, bahkan cenderung merusak dan tidak bermanfaat, namun sekali lagi hal tersebut tidak lantas menjadikannya sebagai bullshit jobs menurut Graeber. Pandangan tersebut lantas ia kaitkan dengan pemikiran Socrates. Kurang lebih apa yang diajarkan Sokrates adalah ketika definisi dari kita sendiri menghasilkan sesuatu yang tampak salah bagi kita secara intuitif, itu karena kita tidak menyadari apa yang sebenarnya sedang kita pikirkan (Graeber, 2018:51-52).

Lalu bagaimana seorang mafia pembunuh bayaran bukan sebagai bullshit jobs? Ada banyak alasan. Graeber menduga bahwa memang benar seorang mafia biasanya akan mengklaim dirinya sebagai pengusaha jika ditanya apa pekerjaannya. Akan tetapi sejauh apa yang didapat Graeber, ketika seorang mafia pembunuh bayaran bersedia menceritakan apa yang sebenarnya mereka kerjakan, mereka akan cenderung terbuka. Bahkan mereka tidak akan berpura-pura bahwa apa yang ia kerjakan sangat bermanfaat bagi masyarakat, atau mengklaim apa yang mereka kerjakan sangat membantu setidaknya bagi timnya. Yang digarisbawahi Graeber adalah kepura-puraan para mafia tersebut tentang pekerjaannya. Dengan itu, Graeber meredefinisi apa itu bullshit job. Ia kemudian menyempurnakan bahwa bullshit job bukan hanya pekerjaan yang tidak berguna atau merusak, melainkan ada sifat kepura-puraan. Terkadang para pemilik pekerjaan berpura-pura menjelaskan bahwa pekerjaannya itu ada. Berbeda dengan mafia, ia justru menutup apa yang mereka kerjakan dengan mengaku bekerja di bidang lain, misal pengusaha. Ini justru menunjukkan mereka sedang mengakui bahwa pekerjaan mereka ada. Namun jika kemudian ada yang bertanya tentang pekerjaan kita dan kemudian kita berusaha menjelaskan apa yang kita kerjakan, itu bukan berarti pekerjaan kita adalah bullshit jobs. Seperti apa yang dijelaskan Graeber, kepura-puraan dan kenyataan memiliki perbedaan yang sangat tipis, namun masuk akal secara etimologis ketika bullshit bagaimanapun merupakan sebuah ketidakjujuran (Graeber, 2018:53). Hal ini tergantung bagaimana seseorang memandang dirinya dan lingkungannya.

Beberapa diskursus di atas diakui oleh Graeber memang bersifat subjektif, namun ia juga beranggapan bahwa satu-satunya alat ukur untuk mengetahui konsep tersebut adalah subjektifitas dari para pekerja yang menjadi sumber argumentasi Graeber. Akan tetapi kemudian Graeber juga menitikberatkan pada social valuedalam melihat bullshit jobs. Karena pada dasarnya sebuah pekerjaan yang sama bisa saja sebagai bullshit job, namun di waktu lain bisa saja bukan. Meskipun demikian kembali lagi Graeber menegaskan bahwa jika dibandingkan dengan social value, perspektif dari para pekerja adalah hal yang paling dekat dan akurat untuk menilai (Graeber, 2018:57-58).

Terlepas dari cara kerja social value dalam memberikan standar paradigmatik tentang sebuah pekerjaan, Graeber lebih menyoroti bahwa hal tersebut juga dipengaruhi aspek ekonomi yang menimbulkan masalah sosial lain. Semakin berkembangnya relasi kapitalistik di sebuah negara, maka semakin banyak pula penciptaan bullshit jobs. Bagi Graeber, ini akibat dari adanya reformasi pasar yang berimbas pada semakin banyaknya bullshit jobs pada ranah birokrasi pemerintahan, bahkan terjadi pula di level swasta (Graeber, 2018:60). Parahnya, pada level-level tertentu terkadang dibuat shit jobs, yang bagi Graeber adalah pekerjaan yang nyata, namun keberadaannya justru untuk mendukung mereka yang terlibat pada bullshit jobs (Graeber, 2018:76).

Sampai di sini, bullshit jobs Graeber masih belum menemukan pengertian yang utuh, meskipun dari awal tulisan Graeber selalu menitikberatkan sebagai sebuah pekerjaan yang tidak berguna. Apa yang diperdebatakan dan diulas di atas hanyalah kegelisahan awal Graeber di buku Bullshit Jobs (2018) pada chapterpertama. Selanjutnya Graeber menjelaskan secara lebih kompleks tentang apa itu bullshit jobs, kategorisasi, dan bahkan ditarik pada perdebatan politik sebagai salah satu instrumen hadirnya bullshit jobs.

Apa yang dipikirkan Graeber masih layak untuk ditelusuri hingga akhir tulisan. Akan tetapi logika pemikirannya memang hanya sampai Bullshit Jobs, buku karya terakhirnya.
RIP David Graeber.
(12 Februari 1961-2 September 2020)

Daftar Pustaka

Graeber, Dabid. Bullshit Jobs: A Theory. New York: Simon & Schuster, (2018).

Bagikan Postingan:

Ikuti Info Rana Pustaka

Terbaru

Copyright @ Populi Center
id_IDIndonesian