Penulis : Arief Budiman
Penerbit : Best Publisher (Galang Press Group)
Tahun Terbit : 2018
Dengan “Doa“, Chairil berserah: “Tuhanku/ aku hilang bentuk/ remuk… Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.” Dengan sajak, Chairil mencemooh agama:
“Aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi Muhammadiyah bersungai susu
dan bertabur bidadari beribu.
Namun, sajak berjudul “Sorga” itu tidak hanya berhenti di situ. Larik-larik terakhirnya berbunyi:
“Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidadari
suaranya berat menelan seperti Nina
punya kerlingnya Yati? ”
Dari sajak-sajak Chairil yang menyoal agama, yang kerap dijadikan sandaran (terakhir) manusia, Arief Budiman (AB) dalam “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” menyatakan bahwa ‘Si Binatang Jalang’ lebih dari sekadar mencemooh agama. Bagi AB, ia bahkan menolak secara ekstrem agama. Sebab, ia tidak mau menukarkan, terlebih mengorbankan, apa yang dimilikinya dengan sesuatu yang tidak pasti di masa depan. “‘Lagi siapa yang bisa mengatakan pasti di situ memang ada bidadari‘ yang sama cantik dan genitnya seperti Nina dan Yati,” perempuan-perempuan yang hadir di kehidupannya (hal. 51). Dari pernyataan AB, kita tahu bahwa Chairil memilih yang pasti ‘di sini’ dan ‘di hari ini’ daripada yang tidak pasti ‘di sana’ dan ‘di kemudian hari’.
Sekalipun menolak agama, kata AB, Chairil adalah sosok yang religius. Sebab, ia bergulat di sepanjang hidupnya untuk mencari arti kehidupan ini. Dengan menyitir Paul Tillich, AB membedakan religi dan agama. Seseorang yang religius tidak harus memiliki agama, meskipun orang yang beragama bisa religius. Sebab, orang yang religius “… mencoba mengerti hidup ini secara lebih jauh daripada batas-batas yang lahiriah saja” (hal. 48). Sementara itu, orang yang beragama adalah orang-orang yang tunduk kepada agama: “lembaga yang menawarkan kehidupan yang ada artinya bila orang mau percaya kapadanya” (hal. 48).
Yang jadi pertanyaan, arti kehidupan seperti apa yang terus menerus dicari oleh Chairil? Apa pula yang membawanya pada titik itu? Bagaimana pula akhir dari pencariannya tersebut?
Di suatu zaman, AB dan Goenawan Mohamad (GM) ‘memproklamasikan’ kritik sastra Ganzheit: menanggapi karya sastra secara urut dan utuh. Bagi kedua sahabat karib itu, mendedah karya sastra secara utuh dan berurutan merupakan prasyarat sebuah karya sastra bisa memiliki makna yang hidup. Dengan kata lain, apabila karya sastra dianalisis berdasarkan kepingan-kepingannya saja, maka makna suasana hati yang utuh akan hilang, dan ia tidak lebih dari sekadar karya yang mati.
Tampaknya, skripsi AB di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) tentang Chairil merupakan titik tolak Ganzheit di Indonesia. Pada 1976, skripsi tersebut diterbitkan untuk pertama kalinya menjadi sebuah buku dengan judul “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan“—kata pengantar buku itu dituliskan oleh AB pada 1973 di Paris (hal. 13). Membaca buku tersebut terbilang seperti perjalanan singkat menelusuri sajak-sajak Chairil, sebab AB menyibak sajak-sajak ‘Si Binatang Jalang’ secara berurutan dan keseluruhan, sejak pertama kali ia menulis puisi hingga hari-hari menjelang kematiannya—pembahasan yang ditampilkan di buku ini ‘hanya’ sajak-sajak pada masa awal dan akhir hidup Chairil.
Dari karya AB ini, saya tidak mendapati gambaran Chairil (remaja) yang begitu terpukau kepada Sutan Takdir Alisyahbana dengan anjuran “menaruh pandangan ke Barat”, juga Chairil si pelopor angkatan 45. Yang ada ialah Chairil yang terus menerus diburu pertanyaan-pertanyaan tentang kematian.
Kematian, tulis AB, mulai mendekat kepada Chairil ketika neneknya meninggal dunia. Di usia 20 tahun, ia kemudian menuliskan sajak pertama berjudul “Nisan“. Dari sajak itu, ada dua hal yang disadarinya: 1) manusia tidak akan berdaya menghadapi sang maut; dan 2) sang maut tidak mau berkompromi kepada manusia (hal. 17). Dihadapkan pada kenyataan itu, Chairil pun bertanya-tanya tentang makna hidup, harapan, cita-cita, dan keinginan: Bukankah semua itu tiada artinya jika kematian menjemput? (hal. 18). Pembacaan AB terhadap sajak tersebut menunjukkan bahwa Chairil, seperti seorang filsuf, merupakan manusia yang mencoba untuk mengetahui kedalaman makna hidup.
Sekalipun tidak menemukan jawaban, Chairil tidak berhenti mencari jawaban. Dari sajak “Pangeran Diponegoro“, Chairil kemudian memperoleh jawaban. Walaupun kematian memburu, hidup haruslah diisi dengan arti. Kematian, dengan demikian, berada di posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan sesuatu yang lebih besar. Pada titik ini, bagi Pangeran Diponegoro, yang lebih tinggi dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri adalah kemerdekaan negeri (hal. 19). Sayangnya, gelora Chairil hanya bertahan sesaat. Pasalnya, ia mendapati bahwa Pangeran Diponegoro pada akhirnya hanya bisa terkurung di penjara di Makassar tanpa menghirup udara kebebasan (hal. 21).
Ketegangan antara berpegang teguh pada prinsip di satu sisi, dan menghadapi hidup ini sebagaimana adanya di sisi lain inilah yang harus dipilih Chairil. Chairil melalui sajak “Tak Sepadan” akhirnya memilih hidup yang tanpa prinsip, yang apa adanya, “yang kering kerontang tanpa warna”, walaupun konsekuensi pilihan itu adalah kesepian (hal. 22-23). Berhadapan dengan kesepian, Chairil melakukan pelarian, seperti penyalahgunaan obat-obatan, dan membawanya pada sebuah jawaban (sementara): kematian dengan melakukan bunuh diri. Namun, seperti Albert Camus, Chairil akhirnya tidak memilih jalan itu, dan memperkuat dirinya menghadapi segalanya (hal. 25). Pada titik inilah, larik-larik paling populer dalam khazanah sastra Indonesia itu menemukan maknanya:
“Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang-menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih dan perih…
Aku mau hidup seribu tahun lagi”
Seperti di masa ketika pertama kali menerbitkan sajak-sajaknya, Chairil juga bicara tentang kematian menjelang hari-hari kematiannya. Pada 1949 (tahun kematiannya), Chairil di usianya yang ke-27 pertama kali menerbitkan sajak “Mirat Muda, Chairil Muda“. Pada akhir sajak itu, ia menyatakan kematian yang sudah semakin dekat: “Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras/ menuntut tinggi tidak setapak berjarak dengan mati.”
Bagi AB, Chairil di sajak itu, yang menggambarkan Mirat, bukanlah Charil yang sedang terjadi, melainkan suatu pengalaman yang sudah lama lewat. Pada titik ini, kenangan membawanya kembali ke masa lalu, mengingat Mirat, ketika sang maut makin dekat, makin tidak berjarak. Manusia pada umumnya terlempar jauh ke masa lalu, ke masa yang membahagiakan dalam hidupnya, ketika akan menghadapi ajalnya. Dan inilah yang dialami Chairil: pengalaman yang tampaknya bahagia dengan Mirat menyelinap ketika ia menyadari maut akan menjemputnya (hal. 32-33).
Yang menarik, tulis AB, kematian di penghujung usia Chairil bukanlah sebuah obsesi seperti di tahun 1942, masa awal ia menerbitkan sajak, melainkan sebagai kepastian, sebab manusia bagaimanapun pasti mati (hal. 33-34). Namun, kematian itu tetaplah tidak bisa dimengerti, ia tetap menjadi misteri.
Chairil yang muncul di buku ini adalah sebuah penghayatan AB terhadap sajak-sajaknya. Dengan kata lain, AB melakukan pertemuan dengan Chairil, atau lebih tepatnya pertemuan antara AB sebagai orang yang menghayati dan sajak-sajak Chairil sebagai karya seni. Dalam ungkapan AB, “Antara keduanya terjadi saling perbauran yang dinamis sifatnya. Dari perbauran inilah muncul sebuah nilai, nilai Gestalt atau lebih tepat lagi barangkali nilai Ganzheit, yang terjadi antara pertemuan antara subjek dan objek” (hal. 10).
Bagi saya, pertemuan antara AB dan Chairil adalah pertemuan yang sangat subjektif. Dengan segala pengalaman kebudayaannya, AB menghayati sajak-sajak Chairil yang tidak lain dan tidak bukan berangkat dari pengalaman-pengalaman personal Chairil terhadap dunia di sekelilingnya. Oleh sebab itu, Chairil yang muncul di buku ini adalah Chairil-nya AB. Dengan kata lain, ia bukan Chairil ibunya atau gadis-gadis yang pernah muncul di kehidupannya. Dengan atau tanpa sajak-sajaknya, Chairil pada akhirnya adalah sesuatu yang diinterpretasikan secara berbeda-beda oleh setiap orang.
Sekalipun tulisan AB sangat mengalir di buku ini, dan tulisannya yang paling indah yang pernah saya baca, AB seperti ‘mengunci’ dan menutup diskusi soal apa yang dihayatinya. “Terhadap pengalaman seperti ini, tentu saja kita tidak bisa mempersoalkan benar dan tidaknya,” tulisnya (hal.12). Lebih jauh, ia menyebutkan: “Karena yang paling penting bukanlah benar atau tidaknya pengamatan kita, melainkan intens atau tidaknya penghayatan kita” (hal. 13). Bagaimana kemudian kita bisa menguji keotentikan pengalaman AB menghayati sajak-sajak Chairil? Siapa pula yang bisa menjadi hakim atas penghayatan itu?
Pada akhirnya, apa yang dilakukan oleh AB hanyalah pertemuan tanpa percakapan. Sebuah pertemuan mensyaratkan tubuh yang saling berhadapan, mulut serta telinga yang terbuka, dan hati yang saling memahami. Mungkin, kemarin atau hari ini, di suatu tempat yang tidak saya tahu, mereka berdua mengadakan pertemuan, sebuah pertemuan yang sebenarnya. Dan barangkali, di esok hari kita bergabung dengan mereka. Sebab, meminjam sajak Chairil, “hidup hanya menunda kekalahan.”