Kawasan timur Indonesia seringkali dilihat sebagai wilayah yang bermasalah, dari ancaman separatisme, daerah rawan konflik, hingga persoalan keterbelakangan. Adakah perspektif yang bisa memberikan energi positif bagi kita dalam memandang Indonesia timur dan tenggara? Populi Center membahas hal tersebut dalam seri kedua Forum Populi dengan tema “Update Kajian Indonesia Timur” pada 19 Juli 2017 di Jakarta. Hadir sebagai narasumber Dr Cahyo Pamungkas dari Pusat Penelitian Sumber Daya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PSDR-LIPI). Diskusi dipandu oleh Manajer Produksi Pengetahuan dan Jaringan Populi Center Sudiarto.
Sejumlah literatur dipaparkan oleh Cahyo mencakup kajian tentang Maluku, Papua dan Nusa Tenggara, dari yang klasik hingga yang kontemporer. Misalnya karya Muridan Widjojo berjudul The Revolt of Prince Nuku: Cross-cultural Alliance-making in Maluku, C. 1780-1810 (2008), menceritakan sejarah terkait wilayah Ternate, Tidore hingga Kepulauan Burung dan persinggungannya dengan perusahaan dagang Hindia Timur (VOC). Karya Roy F Ellen On the edge of the Banda zone: Past and present in the social organization of a Moluccan trading network (2003) membahas kaitan antara jaringan perdagangan pala dengan etnisitas dan pertarungan modal. Mula-mula pedagang Arab dan Tionghoa yang memperkenalkan pala kepada dunia, kemudian Portugis dan Belanda (VOC) menjelajah ke Maluku.
Leonard Y Andaya dalam karyanya The world of Maluk:u Eastern Indonesia in the early modern period (1993) dan “Local trade networks in Maluku in the 16th, 17th and 18th centuries (1991) menunjukkan bahwa pada abad ke-14 hingga 16 kawasan Maluku jauh lebih maju daripada Jawa. Kondisinya berbanding terbalik dengan situasi saat ini, di mana Maluku menempati posisi provinsi ketiga termiskin setelah Papua dan Papua Barat. Richard Z Leirissa dalam karyanya Halmahera Timur dan Raja Jailolo: pergolakan sekitar laut Seram awal abad 19 (1996) dan bersama Z. J. Manusama, A. B. Lapian, dan Paramitha R. Abdurachman “Maluku Tengah di Masa Lampau” (1982) mendeskripsikan kawasan Maluku Utara dan Maluku Tengah.
Karya Richard Chauvel Nationalists, Soldiers and Separatists: the Ambonese islands from colonialism to revolt, 1880-1950 (2014) menggambarkan pergolakan Republik Maluku Selatan (RMS). Karya Gerrit J Knaap dalam bahasa Belanda Kruidnagelen en christenen: de Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696 (2004) menceritakan tentang kaitan antara rempah-rempah dan perkembangan agama Kristen pada masa VOC di Ambon. Karya Christiaan Frans van Fraassen Ternate, de Molukken en de Indonesische archipel: van soa-organisatie en vierdeling; een studie van traditionele samenleving en cultuur in Indonesie (1988) tentang hidup bersama di Ternate.
Kajian antropologi di antaranya karya Frank Leonard Cooley tentang Maluku Tengah, Altar and throne in Central Moluccan Societies: A study of the relationship between the institutions of religion and the institutions of local government in a traditional society undergoing rapid social change (1961). Karya Paschali Maria Laksono tentang Kepulauan Kei, The Common Ground in the Kei Islands: Eggs from One Fish and One Bird (2002). Karya Dieter Bartels Guarding the Invisible Mountain: Intervillage alliances, religious syncretism, and ethnic identity among Ambonese Christians and Moslems in the Moluccas (1977). Freerk Ch Kamma dalam karyanya Koreri Messianic Movements in the Biak-Numfor Culture Area (2013) menulis tentang gerakan mesianis di Biak-Numfor. Karya lainnya adalah Leontin E Visser The Social Exchange of Land, Cloth, and Development in Irian Jaya (2012) dan Roy F Ellen Nuaulu settlement and ecology (2016). Sedang kajian tentang bahasa dilakukan James T. Collins, The historical relationships of the languages of Central Maluku, Indonesia (1983).
Cahyo juga memaparkan sejumlah penelitian yang dilakukan LIPI, antara lain tema perbatasan di Belu Nusa Tenggara Timur (NTT), kajian kependudukan di perbatasan Papua yaitu di Merauke dan Pegunungan Bintang, serta perlindungan bahasa yang hampir punah di Skow Papua dan Alor. “Ada pula kajian tentang konflik Maluku dan Papua, yang disebut di awal diskusi sudah terlalu banyak,” kata Cahyo. Tema yang lebih kekinian menurut Cahyo adalah persoalan ekonomi, sosial dan biodiversitas di Kepulauan Aru terkait pembukaan lahan tebu untuk pabrik gula. Tema biodiversitas dan hak-hak masyarakat adat menarik untuk dijadikan kajian di wilayah timur Indonesia, saran Cahyo.
Peneliti dari Puslit Politik (P2P) LIPI Irine Gayatri menambahkan tema kemiskinan, di mana hampir seluruh wilayah Indonesia Timur berada pada posisi terbawah human development index (HDI). Irine juga menyebut kajian tentang Molo di Soe NTT yang dilakukan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Wilayah NTT yang menjadi target donor Australia ternyata tidak mengalami perubahan signifikan setelah bermacam-macam intervensi dilakukan. Ada konsorsium kajian yang pernah dilakukan Ivan Hadar, lanjut Irine. Untuk tema good governance dan poverty reduction Irine menyarankan menghubungi lembaga IRGSC yang berbasis di Kupang.
Khusus untuk Nusa Tenggara Barat (NTB) perlu mengkaji peran organisasi massa (ormas) Nahdlatul Wathan. Masih terkait konflik Papua, Irine meng-update tentang kesiapan para pihak untuk melakukan dialog. Selain kalangan antropologi UI, ada pula Desk Papua dipimpin Amiruddin, Pokja Papua, dan Papua Center dipimpin Iwan Pirous. Untuk Maluku, ada studi-studi tentang ekstremisme pasca-konflik di Ambon.
Terkait isu biodiversitas, Irine menyebut keberadaan kantor LIPI di Cibinong yang mengkaji sumber daya hayati. Selain itu di Tual Maluku juga terdapat stasiun LIPI yang mengkhususkan penelitian tentang plasma nutfah laut. LIPI juga memiliki pusat oseanografi laut dalam yang berbasis di Ancol Jakarta Utara. “Perlu pula menjalin kontak dengan Asian Muslim Action Network (AMAN),” saran Irine. AMAN hadir di hampir semua wilayah bekas konflik agama, khususnya di tingkat akar rumput. Misalnya kajian tentang mantan buruh migran yang pernah bekerja di Timur Tengah, yang dikhawatirkan terpapar virus ekstremisme.
Direktur Eksekutif Populi Center Hikmat Budiman menegaskan ide untuk mengkaji kawasan Indonesia Timur dan Tenggara (KITT). “Studi sudah banyak dilakukan, tapi tidak terlalu banyak juga,” kata Hikmat. Terkait isu konflik agama kebanyakan terjadi pada masa akhir Orde Baru dan awal reformasi. Tidak berarti mau mengesampingkan tema tentang konflik, tetapi bahwa Populi Center ingin mencari celah untuk berkontribusi, lanjut Hikmat. Prinsipnya bagaimana merintis kajian yang sebelumnya banyak dilakukan Indonesianis dari luar negeri. Tetapi Hikmat juga mengingatkan agar Populi tidak sekadar jadi pemain baru. “Dalam kasus Aborigin, penelitian dikritik karena dianggap tidak memberi manfaat bagi mereka,” pesan Hikmat.
Populi Center ingin memindahkan orientasi kajian ke wilayah timur, di mana dulunya adalah wilayah yang maju sekarang berubah menjadi kantung-kantung kemiskinan. “Kajian Anthonny Reid menunjukkan sampai terjadi perubahan fisik tubuh dari kehidupan pelaut menjadi petani, atau memunggungi laut,” ungkap Hikmat. Kolonialisme yang berbalut agama bermula dari mencium bau rempah, membuat kawasan laut Maluku ramai, sebelum kemudian bergeser ke daratan Jawa yang agraris. Bisa jadi jaringan perdagangan cengkeh dan pala masih ada sampai sekarang. Patut diingat bahwa dalam rantai komoditas tersebut terdapat unsur manusia di dalamnya. Dengan dibukanya tol laut, komoditas akan bergerak lebih cepat lagi.
“Kita ingin melakukan riset untuk menghasilkan evidence-based policy,” kata Hikmat. Jangan hanya sekadar membuat policy paper, tapi disertai bukti baik berupa hasil survei maupun riset mendalam. Selain itu juga dilibatkan peneliti-peneliti lokal, dan diajak “melintas batas”. Misalnya, peneliti asal Maluku meneliti tentang Papua, dan peneliti asal Papua meneliti tentang NTT. Dalam kasus Muridan S Widjojo misalnya, penelitiannya selama bertahun-tahun berhasil mengungkap temuan bahwa Islam datang lebih awal ke Papua dibandingkan agama Kristen. “Dengan adanya backup data yang kuat, kita bisa menyampaikan kepada rezim mana pun,” tandas Hikmat.
“Pemerintahan Jokowi-JK pernah melontarkan janji politik untuk membangun Indonesia timur,” kata Faisal dari HMI-MPO. Hal itu kemudian diturunkan dengan membangun sarana dan prasarana, untuk merangkul Papua dalam keindonesiaan. Padahal Indonesia, meminjam ungkapan Ben Anderson, adalah komunitas yang dibayangkan. Apakah pembangunan di timur harus terus berhenti jadi bayangan belaka? Selama ini pembangunan yang dilakukan baik oleh Soekarno maupun Soeharto sangat Jakarta-oriented. “Menarik untuk mengkaji implikasi dari studi-studi terhadap kebijakan yang ada,” pungkas Faisal.
Direktur Populi Center Usep S Ahyar menceritakan pengalamannya melakukan sejumlah riset di Indonesia timur. Di antaranya tentang ketahanan keluarga sebagai modal sosial dalam program bantuan langsung tunai (BLT) di Maluku Utara. Hasilnya program-program seperti PNPM bisa berjalan lebih efektif. “Riset lainnya tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Provinsi Kepulauan,” kata Usep. Sayangnya RUU tersebut ditolak masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas), karena dianggap ciri kepulauan ada pada Indonesia secara keseluruhan. Dalam praktiknya, pembangunan yang dilakukan masih bias darat. Misalnya di provinsi yang berciri kepulauan, anggaran untuk kepolisian dibelikan sepeda motor alih-alih speedboat.
“Wilayah timur Indonesia semuanya berada dalam kondisi underdevelopment, selain situasi konflik yang pernah terjadi di Maluku dan Papua,” kata peneliti Populi Center Dimas Ramadhan. Seperti diungkap sebelumnya, kawasan timur dulunya jauh lebih maju dibanding kawasan barat. “Pertanyaannya, bagaimana dengan struktur aristokrasi lama dan kalangan intelektul yang ada di timur, kalau tidak ada mengapa?” tanya Dimas. Peneliti Populi Center lainnya Hartanto Rosojati menanyakan apakah LIPI punya kajian tentang pendidikan di kawasan timur Indonesia? “Keterbelakangan yang terjadi bisa disebabkan oleh faktor budaya pendidikan,” kata Hartanto.
“Khusus tentang pendidikan, biasanya terselip satu bab yang tersebar di semua tema penelitian di LIPI,” jawab Cahyo. Tentang budaya, kawasan timur dan tenggara yang akan diteliti merupakan wilayah kekerabatan Melanesia, antara lain dicirikan dengan kebiasaan menggelar pesta-pesta besar. “Apakah budaya menghalangi pembangunan, nanti terjebak dalam cara pandang positivistik, seolah-olah masyarakat setempat malas,” terang Cahyo. Untuk soal pendidikan, bisa saja diselenggarakan pendidikan berbasis adat, usul Cahyo. Tentang under-development, Cahyo mengungkap kekayaan alam yang sangat banyak di timur. Selain itu, pada 1930-an kawasan seperti Maluku dan Minahasa sudah melek aksara Latin hingga 50%, ketika di Jawa baru 2%,” kata Cahyo. Tidak hanya karena daerah-daerah itu mayoritas Kristen, tapi kalangan muslim di Ambon pun banyak yang memegang birokrasi kolonial.
Cahyo mengutip disertasi Abdurrahman yang menunjukkan ramainya perdagangan kelapa antara Kaimana dan Ambon pada 1916. Hingga 1945, daerah-daerah tersebut sangat kaya, termasuk sumber daya maritim. “Yang terjadi kemudian adalah salah kelola, dimulai dengan nasionalisasi perusahaan pelayaran Belanda KPM,” kata Cahyo. Apa yang dilakukan Jokowi, menutu Cahyo, adalah merintis kembali dari awal. Cahyo juga mengungkap adanya kekosongan dalam studi tentang infrastruktur selama masa Orde Baru. “Di Amerika, sejarah pembangunan rel kereta api berdampak pada tergusurnya masyarakat Indian, terjadi land grabbing,” ungkap Cahyo. Bagaimana dampak pembangunan infrastruktur saat ini terhadap masyarakat adat menarik untuk dikaji, lanjut Cahyo.
Tentang aristokrasi dan intelektual lokal, Cahyo menyebut nama-nama seperti Thamrin Amal Tomagola yang masih keturunan panglima perang Tidore, atau keluarga Laconsina dari Pulau Pelauw Maluku. “Sosok Sultan Nuku, mampu memerankan posisi seperti Bung Karno, mengatur distribusi barang antara Raja Ampat, Seram Timur hingga Fakfak, dan mengadu domba Inggris dengan Belanda,” kata Cahyo. Studi-studi tentang Islam di Maluku pun cukup banyak, di antaranya Najib Azca tentang varian fundamentalisme Islam, serta kajian lainnya tentang sistem pendidikan Islam. Studi tentang pela gandong sudah banyak dilakukan, begitu pula dengan studi perikanan oleh perguruan tinggi di Maluku. Diskusi ditutup dengan obrolan informal tentang rencana program riset kawasan Indonesia timur dan tenggara.
@ Populi Center 2021