Penulis : Sutan Takdir Alisjahbana
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun Terbit : 2009
Sebelum mentari meninggalkan bumi, seorang anak laki-laki duduk di tangga rumah sembari membaca sebuah buku. Di halaman rumah itu, di kota kecil yang terpisah sekitar 80 kilometer dari Medan, ibunya tengah menyapu dedaunan yang jatuh dari pepohonan. Sejurus kemudian, ibunya sudah berada di sampingnya.
“Apa yang kau baca, Ni?”
“Roman, Ma. Sutan Takdir…”
“Mama tahu nama itu. Dia juga yang menulis Dian yang Tak Kunjung Padam dan Tak Putus Dirundung Malang, bukan? Itu bukunya yang baru? Judulnya apa?”
“Layar Terkembang”
“Jarang sekali kau baca buku berbahasa Melayu…”
“…Kawan-kawan di perkumpulan juga bilang ceritanya bagus. Orang-orang yang berpikir maju. Modern. Mengubah cara berpikir Timur yang sempit menjadi rasional seperti orang Barat.”
Sayangnya, ibunya tidak paham apa itu ‘modern’ dan ‘rasional’. Itulah sebabnya kenapa anak itu diminta ibunya lebih baik menceritakan bagian yang disukainya. Dengan senang hati dan bersemangat, anak itu pun menuturkan cuplikan roman karya Sutan Takdir Alisjahbana kepada ibunya.
Layar Terkembang mengisahkan dua gadis bersaudara. Yang tertua bernama Tuti dan berusia 25, sedangkan yang lebih muda bernama Maria, berumur 20 tahun. Sekalipun lahir dari rahim yang sama, keduanya sangatlah berbeda, layaknya langit dan bumi. Kalau kita berbincang dengan Tuti, kita akan mendapati lawan bicara yang ideal untuk bertukar pikiran, beradu dengan alasan, bahkan berduel dengan pena. Kesan seperti itu yang tidak bisa kita temukan pada Maria. Meskipun ia merupakan gadis yang periang dan lincah, akan tetapi perbincangan dengannya berkutat pada rutinitas kehidupan sehari-hari.
Jika kita periksa lebih seksama isi novel ini, kita akan menemukan bahwa Tuti adalah tokoh yang tidak jauh dari sikap dan gagasan Sutan Takdir Alisjahbana dalam Polemik Kebudayaan yang termasyhur itu. Tuti merupakan “seorang tegap dan kukuh, tak suka beri-memberi, gelisah bekerja dan berjuang untuk cita-cita yang menurut pikirannya mulia dan luhur.” Sementara itu, Maria yang tidak lain dan tidak bukan adalah “penjelmaan pancaran perasaan yang tiada terhambat-hambat…”
Dari situ, kita tahu bahwa Tuti, juga Sutan Takdir Alisjahbana, adalah pengikut apa yang diserukan Immanuel Kant di penghujung abad ke-18 itu: Sapare Aude. Apabila manusia ingin lepas dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri, ia mau tidak mau harus berani menggunakan pikirannya sendiri tanpa bimbingan atau panduan orang lain. Menjadi catatan, agar bisa menggunakan pikirannya sendiri, manusia sudah seharusnya diberikan kebebasan (freedom). Oleh sebab itu, menghambat kebebasan seseorang guna mengungkapkan pikirannya terkait apapun merupakan bentuk paling nyata membatalkan progres pencerahan: lepas dari ketidakdewasaan.
Seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Tuti adalah tinju terhadap kemapanan dan kebekuan pikiran di suatu zaman. Dikisahkan Tuti aktif berorganisasi dan melahap buku guna memperjuangkan nasib perempuan. Tidak hanya itu, ia bahkan berani menolak pertunangan dengan anak seorang bupati. Padahal, pertunangan itu diharapkan ayahnya bisa terealisasi. Dari sini, bisa dikatakan bahwa Tuti berdiri di kakinya sendiri, tidak memerlukan, terlebih-lebih tergantung pada, siapapun termasuk orang tuanya, untuk menentukan masa depannya. Singkatnya, ia adalah manusia yang lepas dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri.
Keberpihakan Sutan Takdir Alisjahbana kepada kebudayaan Barat bukan tanpa pembelaan. Baginya, kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang terputus dari kebudayaan kerajaan-kerajaan masa lampau, yang pernah berjaya, juga ambruk, di atas kepulauan Indonesia. Dengan kata lain, ia tidak melihat adanya kesinambungan antara Kerajaan Majapahit, misalnya, dengan Indonesia. Secara bersamaan, “Sejak dari dahulu, bangsa kita gemar akan sikap yang menganggap dunia ini sebagai yang tiada berarti, yang fana. Dunia hanya tempat perhentian sebentar.” Tidaklah mengherankan jika “Kemiskinan terasa kepadanya sebagai sesuatu yang layak malahan kadang-kadang yang sebaik-baiknya. Sebab ia berharap akan kesenangan dan kemulian di dunia lain.”
Berangkat dari penjelasan itulah, Sutan Takdir Alisjahbana kemudian mengusulkan agar bangsa Indonesia meniru kebudayaan Barat jika ingin bersaing dengan bangsa Barat. Di sini, kebudayaan Barat itu, sebagaimana diucapkan Tuti, ialah semangat modern: “Sifat teliti, kekerasan hati, ketajaman otak, kegembiraan bekerja….” Semangat seperti itulah yang “menyebabkan orang Barat menjadi mulia.” Mereka “membangunkan kerajaan yang membelit dunia… menguasai alam, terbang di udara, dan menyelam di laut.” Dalam kalimat lain, Sutan Takhir Alisjahbana menuliskan, “Dunia bukan maya, bukan tempat pemberhentian sebentar… daripada menempuh jalan yoga menyuruh menghentikan berpikir, bangsa kita harus lebih banyak berpikir.”
Dalam sebuah wawancara, Sutan Takdir Alisjahbana di usia senjanya menyatakan bahwa pendiriannya mendorong agenda modernitas bagi masa depan Indonesia di tahun 1930-an itu sudahlah tepat. Mayoritas orang, lanjutnya, sepakat dan tidak menyoal bahwa kebudayaan modern tidak lepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Cukup aman untuk mengatakan bahwa di mata Sutan Takdir Alisjahbana kebudayaan modern yang didengungkannya merupakan pemenang duel gagasan kebudayaan itu. Dengan kata lain, gagasan kubu Sanusi Pane kalah, persis seperti kematian Maria di novel Layar Terkembang. Modernitas tersebut “bukan berasal dari budaya nenek moyang kita,” melainkan “berasal dari zaman renaissance,” tambahnya.
Harus diakui, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak datang dari kebudayaan nenek moyang kita di zaman pra-Indonesia, zaman jahiliyah keindonesian itu. Juga tegas dikatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi (pernah) tercatat membebaskan manusia. Namun, secara bersamaan, kita menyaksikan bahwa keduanya (pernah) tersesat. Kitab sejarah menuturkan bahwa keduanya telah menjadi instrumen kekuasaan bangsa Barat, dan akhirnya melahirkan totalitarianisme, kolonialisme, rasisme, dan lain-lain.
Di tengah situasi itu, agak keliru jika kita kemudian menyalahkan, terlebih menolak, ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti yang diserukan oleh sejumlah pemikir murung. Sebab, ilmu pengetahuan dan teknologi sejatinya hanyalah alat. Oleh sebab itu, keduanya bersifat ‘netral’. Di tangan orang-orang yang tepat, keduanya bisa membebaskan manusia. Namun, jika jatuh ke tangan yang salah, ilmu pengetahuan dan teknologi justru menjerumuskan umat manusia menuju ke jurang kehancuran.
Sementara itu, menaruh rasa percaya begitu saja kepada ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh para ilmuwan, tanpa adanya rasa skeptis, bukanlah pilihan bijak. Sebab, keduanya sangat potensial disalahgunakan oleh tangan-tangan jahat, dan pada akhirnya membawa umat manusia ke jurang maut. Hari-hari ini, agaknya itulah salah satu relevansi Layar Terkembang bagi kita. Di kondisi seperti itu, kita sudah seharusnya bukan mengutuk atau memuja ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang harus dilakukan ialah mengawasi atau mengawal keduanya.
Petang di halaman rumah itu semakin semarak setelah anak laki-laki itu membacakan sejumlah adegan menarik di Layar Terkembang, sembari berlenggak-lenggok, kepada ibunya. Tanpa diduga, dua polisi datang ke rumah itu. Tanpa basa-basi, mereka meringkus kedua tangan bocah tersebut. Karya Sutan Takdir Alisjahbana itu pun jatuh ke lantai. Salah satu dari polisi itu kemudian mengambilnya.
“Anak ini harus ikut kami ke kantor,” kata seorang polisi.
“Mama, beri tahu Ayah!” seru anak itu.
“Diam! Suruh ayahmu ke kantor kami saja,” seorang polisi membentak bocah itu.
Di kantor polisi, anak tersebut dicecar serangkaian pertanyaan yang tidak ia mengerti. Juga, buku itu ditahan sebagai barang bukti. Untungnya, ia dibebaskan, itu pun setelah ayahnya datang ke kantor polisi. Kejadian itu membekas dan memberikan satu pelajaran kepadanya: karya sastra bisa mengubah pandangan orang banyak. Karena itu, ia merawat kegemarannya membaca dan menulis. Sebelum tua menggerogotinya, dan sebelum maut menjemputnya, kata Hasan Aspahani (2016) dalam “Chairil“, anak laki-laki itu tuliskan larik-larik yang tidak lekang oleh waktu: “Aku mau hidup seribu tahun lagi“.