Genre : Dokurama/Politik
Sutradara : Weijun Chen
Tahun Rilis : 2007
Durasi : 58 Menit
“Apa yang dimaksud dengan demokrasi?” tanya Cheng Cheng, seorang siswa kelas tiga sekolah dasar di Wuhan, Cina kepada ayahnya. Di negara yang sejak tahun 1949 rezim pemerintahannya telah dipimpin oleh oleh Partai Komunis Cina (PKC) itu, konsep demokrasi tentunya masih terdengar asing. Tidak hanya bagi anak-anak yang masih polos, belum memiliki pengalaman sama sekali dengan demokrasi, atau pemilihan umum langsung, orang dewasa di sana pun masih merasa jauh dengan apa yang disebut oleh Presiden ke 16 Amerika Serikat, Abraham Lincoln, sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untk rakyat tersebut.
Cheng Cheng pertama kali mendengar kata demokrasi dari gurunya, Ms. Zhang, “Berbeda dengan yang sebelumnya, kita akan menggelar pemilihan yang demokratis untuk ketua kelas.” Anak-anak yang baru pertama kali mendengar kata yang berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan atau pemerintahan) itu pun hanya bisa mengangkat alis serta mengerutkan dahi kebingungan. Sudah menjadi semacam tradisi di tempat Cheng Cheng bersekolah untuk ketua kelas ditunjuk langsung oleh sang guru. Tapi, kini Ms. Zhang menginginkan sesuatu yang berbeda, yakni, ketua kelas bisa dipilih oleh masing-masing anggota kelas lewat pemilihan umum. Siapa yang dipilih paling banyak, maka dia yang akan menjadi ketua kelas. Tujuan dari kegiatan ini tidak lain adalah untuk memperkenalkan konsep demokrasi kepada murid-murid sekolah dasar.
Zhang menunjuk tiga murid di kelasnya untuk maju sebagai kandidat ketua kelas. Mereka terdiri dari dua murid laki-laki; Cheng Cheng dan Luo Lei, serta satu murid perempuan; Xu Xiaofei. Layaknya pemilu nyata di sebuah negara demokrasi, tiga orang kandidat ini akan berkompetisi selama kurang lebih dua minggu untuk membuktikan kepada anggota kelas lain bahwa mereka layak dipilih menjadi ketua kelas. Ketiganya akan melalui tiga tahapan pemilu, yakni unjuk bakat, debat, dan pidato kunci sebelum akhirnya pemilihan umum ketua kelas digelar.
Seluruh proses pemilihan ketua kelas di sekolah dasar Evergreen Primary School ini direkam oleh sutradara Chen Weijun dan dijadikan film dokumenter berjudul Please Vote for Me (2007). Film ini menjadi unik sekaligus mengasyikan untuk ditonton, selain karena wajah para pemainnya yang menggemaskan, film ini bertujuan untuk menggambarkan realita pemilihan umum di negara demokrasi yang memiliki banyak kelemahan. Kelemahan-kelemahan pemilu yang ingin digambarkan dalam film ini lewat para tokoh utamanya, Cheng Cheng, Luo Lei, Xiaofei, beserta orang tua mereka masing-masing. Masalah yang ingin dipertontonkan antara lain masalah politik uang, representasi perempuan, serta kampanye hitam.
Orang tua Cheng Cheng, Luo Lei, dan Xu Xiaofei senang bukan main ketika mendengar anaknya terpilih sebagai kandidat ketua kelas. Ini artinya, anak mereka lebih spesial jika dibandingkan dengan anak-anak lain. Oleh karenanya, dalam hal ini justru para orang tua yang lebih bersemangat serta terobsesi untuk memenangkan posisi ketua kelas. Sementara anak-anak lebih memilih untuk menuruti saja kemauan juga arahan kampanye dari para orang tua.
Ibu Cheng Cheng yang bekerja sebagai produser televisi melatih secara intensif kemampuan bernyanyi anaknya. Ia meminta agar Cheng Cheng berlatih dengan keras, bahkan tidak memperkenankan Cheng Cheng untuk tidur sebelum bisa mencapai nada-nada tertentu. Cheng Cheng diarahkan untuk bisa mengeluarkan chi dari dasar perutnya serta dilatih untuk menggunakan gestur tubuh saat bernyanyi. Ibu Xiaofei, petugas administrasi sekolah, mengajarkan kepercayaan diri anak perempuannya yang juga akan bernyanyi di depan teman-temannya. Ayah Luo Lei, yang adalah seorang polisi, juga melatih kemampuan anaknya yang akan menunjukkan bakatnya dalam permainan suling.
Setelah ajang unjuk bakat selesai, anggota kelas lebih banyak terkesan dengan penampilan Cheng Cheng, kemudian Luo Lei, dan terakhir Xiaofei. Meskipun tidak berada pada posisi terakhir, urutan nomor dua membuat Luo Lei patah semangat. Luo Lei adalah petahana. Selama dua tahun terakhir, ia dipilih oleh gurunya sebagai ketua kelas. Tidak terpilih kembali sebagai ketua kelas, akan membuatnya teramat sedih.Saking sedihnya, Luo Lei sampai sempat ingin mengundurkan diri sebagai kandidat ketua kelas. Melihat anaknya bersedih, ayah Luo Lei tidak lantas diam dan langsumg mengambil sikap bagai pemodal. Dengan sengaja, ia mengajak teman-teman sekelas Luo Lei untuk jalan-jalan naik monorail supaya anaknya bisa secara leluasa berkampanye. Keterlibatan ayah Luo Lei tidak berhenti sampai di sana, ia juga membagikan hadian tiket mid-autumn festival pada semua anggota kelas saat Luo Lei berkampanye beberapa hari sebelum pemungutan suara. Tujuannya adalah supaya teman-teman Luo Lei memilih dirinya saat pemilihan berlangsung.
Apa yang dilakukan ayah Luo Lei sebetulnya juga terjadi di Indonesia. Ayah Luo Lei ibarat para pemilik modal yang membiayai kampanye seorang kandidat politik demi kepentingan pribadi, yang dalam hal ini kepentingan ayah Luo Lei adalah kemenangan sang anak. Kepentingan pemilik modal bertemu dengan kebutuhan biaya kampanye ini kemudian yang menyebabkan pemilu bukan lagi soal adu gagasan antarkandidat demi kepentingan rakyat, tetapi pertarungan para pemilik modal untuk mengamankan kepentingannya masing-masing. Yang berikutnya, Ayah Luo Lei juga melakukan praktik politik uang lewat pembagian tiket festival. Praktik money politics seperti ini juga bukan merupakan hal baru di Indonesia, bahkan hampir selalu ada di setiap perhelatan demokrasi. Pada Pemilu 2019 lalu, hasil survei LIPI menunjukkan bahwa 40 persen masyarakat menerima uang dari peserta pemilu tetapi tidak mempertimbangkan untuk tetap memilih peserta tersebut. Sementara itu, 47 persen lainnya mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan untuk memilih pemberi uang tersebut (kompas.com).
Xu Xiaofei adalah satu-satunya kandidat perempuan yang terpilih dalam pemilihan ketua kelas. Permasalahan yang dialami Xiaofei selama proses pemilihan hampir sama dengan permasalahan politisi perempuan di Indonesia yang masuk arena politik. Serangan-serangan yang diluncurkan lebih banyak menyerang identitas dan sisi personal ketimbang kompetensi serta kemampuan yang dimiliki. Contohnya, dalam film ini, pihak lawan selalu meledek Xiaofei sebagai anak perempuan yang manja, tidak dapat mengontrol emosinya hingga seringkali menangis, dan tidak bisa memipin dengan baik karena dirinya perempuan.
Serangan terhadap Xiaofei sedikit mengingatkan kita terhadap berbagai penolakan pemimpin perempuan yang terjadi pada Pilpres 2009, tepatnya ketika Megawati maju mencalonkan diri sebagai Presiden RI. Pola serangan terhadap Megawati hampir mirip ketika orang-orang menolak pemimpin non islam, yakni dengan menyitir surat dari kitab suci untuk mendukung argumentasinya. Isu yang berkembang saat itu adalah, perempuan berkiprah dalam politik dan masuk ke ranah publik untuk menjadi seorang pemimpin adalah menyalahi kodrat dan bertentangan dengan agama. Merupakan hal yang sulit untuk meyakinkan publik bahwa perempuan memiliki hak yang setar dengan laki-laki dalam segala bidang, termasuk politik.
Masalah berikutnya yang diangkat oleh tokoh Cheng Cheng adalah kampanye hitam. Ibu Cheng Cheng adalah seorang produser televisi, ia banyak mengarahkan anaknya untuk bersikap layaknya pemimpin yang demokratis. Padahal, pada kenyataannya Cheng Cheng sangat jauh dari indikator pemimpin yang demokratis. Sejak awal, Cheng Cheng sudah menyatakan alasan sebenarnya ingin menjadi ketua kelas yang adalah agar bisa memerintah teman-teman sekelasnya.
Ibu Cheng Cheng meminta agar anaknya menyembunyikan sisi kediktatorannya tersebut, dan mencitrakan diri sebagai pemimpin yang demokratis. Ia mengarahkan anaknya agar berpidato sesuai dengan teks yang telah ia buat, bunyinya kurang lebih seperti ini “saya akan menjadi manajer, bukan diktator seperti Luo Lei. Saya akan berlaku adil, setara, dan perhatian pada semua orang.”
Janji Cheng Cheng tersebut tentunya hanya menjadi ucapan semata. Di film tersebut, Cheng Cheng kerap menggunakan cara-cara licik untuk menjatuhkan lawannya. Cheng Cheng pernah mengintip sesi latihan Xiaofei, kemudian ia meminta juru kampanyenya menghasut seluruh anggota kelas agar berteriak dan mengganggu penampilan Xiaofei. Siasatnya ini berhasil hingga membuat Xiaofei menangis dan gagal tampil secara maksimal. Cheng Cheng juga menghasut teman-teman sekelasnya dengan menyebarkan kampanye jahat bahwa Luo Lei akan terus memarahi mereka jika terpilih sebagai pemimpin.
Strategi kemenangan yang diterapkan Cheng Cheng pun saya rasa juga terjadi di Indonesia. Ada banyak kandidat yang mencitrakan dirinya sebagai demokratis, tetapi melakukan cara-cara yang tidak demokratis untuk memenangkan pemilu. Salah satunya lewat kampanye hitam dan berita bohong. Di Indonesia, sentimen primordial berbasis gender, suku, agama, kedaerahan, maupun etnis, sering kali dimanfaatkan sebagai bentuk kampanye jahat serta berita bohong untuk menyerang kandidat lain. Perasaan akan memiliki kebudayaan yang lebih baik dari orang lain sepertinya telah tertanam dan menjadi kultur bagi masyarakat Indonesia.Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017 lalu jadi contoh nyata dari politisasi SARA, khususnya agama, sebagai bahan kampanye yang mudah, murah, dan efektif untuk memenangkan pemilu. Tentu saja hal ini tidak hanya mengancam penerapan demokrasi Indonesia, hal ini juga berbahaya untuk masyarakat Indonesia yang plural, multikultural, dan menunjung tinggi toleransi pada perbedaan identitas.
The Why, 1 November 2016, Please Vote For Me (Documentary), https://www.youtube.com/watch?v=KD1QSX2hOnk
Kompas.com, 29 Agustus 2019, Survei LIPI: Masyarakat Memandang Politik Uang Bagian dari Pemilu, Tidak Dilarang ,https://nasional.kompas.com/read/2019/08/29/05213291/survei-lipi-masyarakat-memandang-politik-uang-bagian-dari-pemilu-tidak?page=all