Rancangan revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu telah memicu perdebatan terkait pelaksanaan Pilkada serentak. Yang jadi pertanyaan, apa saja sisi positif dan negatif jika pemilihan presiden, legislatif, dan kepala daerah dilakukan secara serentak pada 2024? Apa pula sisi positif dan negatif jika Pilkada serentak dimajukan pada 2022 dan 2023?
Untuk menjawab serangkaian pertanyaan tersebut, Forum Populi mengangkat tema “Gaduh Keserentakan Pemilu” pada Kamis (4/2/2021). Dalam diskusi kali ini hadir beberapa pembicara, yakni Bahtiar (Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum, Kemendagri), Djohermansyah Djohan (Pakar Otonomi Daerah), Dahlia Umar (Ketua, Network for Indonesia Democratic Society), dan Mada Sukmajati (Dosen, Departemen Politik dan Pemerintahan, UGM).
Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri dan Mantan Penjabat Gubernur Riau, Djohermansyah Djohan mengatakan bahwa sejatinya masyarakat tidak perlu khawatir terkait dengan kuantitas maupun kualitas Penjabat (Pj) Kepala Daerah jika Pilkada tetap dilaksanakan pada 2024. Bahkan, sangat mungkin kualitas Pj Kepala Daerah lebih baik dibanding kepala daerah hasil elektoral, karena pengalaman birokrasi yang sudah dimilikinya. Ia menambahkan bahwa kekurangan Pj Kepala Daerah hanya pada aspek legitimasi dari rakyat karena bukan hasil elektoral.
Sementara itu, Dahlia Umar menyampaikan, dalam hal penyelenggaraan pemilu, jangan-jangan persoalannya bukan pada keserentakannya, akan tetapi pada sistem pemilu yang dipilih. Hal tersebut terlihat dari kerumitan yang harus dihadapi masyarakat ketika membuka surat suara legislatif. Tentu saja, ini tidak lepas dari penetapan sistem proporsional terbuka dalam pemilihan legislatif. Sementara itu, jika Pilkada 2022 tetap terus dipaksakan, maka terdapat sejumlah aspek yang harus diperhatikan secara serius, seperti transparansi pembiayaan politik, dana kampanye, akuntabilitas, representasi perempuan, dan lain-lain benar-benar terselesaikan dengan baik. Paparan selengkapnya bisa dilihat disini .
Adapun Mada Sukmajati memberikan eksplanasi dari sisi politik. Menurutnya, gaduh dalam pembahasan pemilihan umum adalah sesuatu yang wajar, dan menunjukkan bahwa sistem demokrasi berjalan dengan baik. Ia menambahkan bahwa pembahasan revisi undang-undang pemilu jangan hanya untuk memikirkan kepentingan satu-dua orang, akan tetapi juga perlu melihat rekayasa kelembagaan. Dengan begitu, arah sistem pemilu di masa depan menjadi jelas. Poin penting lainnya adalah bahwa sering kali pengesahan UU pemilu terlalu terburu-buru dengan tahapan yang direncanakan. Padahal, hal yang perlu dipersiapkan bukan hanya penyelenggara, akan tetapi juga peserta, bahkan juga pemilih.
Menutup diskusi, Djohermansyah Djohan menambahkan bahwa perubahan undang-undang pemilu adalah hal yang wajar karena kondisi politik kita dinamis, asalkan berdasarkan evaluasi dengan berbasis penelitian. Sementara itu, Dahlia menyampaikan bahwa jika Pemilu dilaksanakan serentak pada 2024, itu bukan berarti bahwa KPU tidak memiliki pekerjaan di luar tahun pemilu. Di sini, masih ada pekerjaan pre-election dan post-election, seperti pengarsipan, data dan informasi, serta penelitian dan pendidikan pemilih. Dalam pernyataan penutupnya, Mada Sukmajati berujar bahwa pertarungan pemilu itu sudah dimulai dari aturan main dalam undang-undang atau kebijakan itu dirumuskan, bukan pada saat elektoral. Yang menjadi penting adalah bagaimana masyarakat sipil juga ikut mewarnai proses pembuatan undang-undang pemilu dan meminimalisir tarikan yang bersifat personal dan elitis.