Pemilu-pemilu Orde Baru, 1971-1997

Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 mengamanatkan bahwa Pemilu seharusnya dilakukan pada tahun 1968. Namun ketika Jenderal Suharto ditunjuk sebagai Penjabat Presiden Indonesia, ia tidak dengan segera menggelar Pemilu untuk mencari pemimpin definitif dengan legitimasi dari rakyatnya. Sebagian kalangan menganggap ini sebagai langkah pengkondisian Golongan Karya (Golkar) sebagai mesin politik Suharto. Terbukti kemudian Golkar menyapu bersih kemenangan pada enam edisi Pemilu selama Orde Baru, yang membuat Suharto berkuasa menjadi Presiden selama lebih dari 30 tahun. Salah satu ciri utama dari pemerintahan Orde Baru ada pada pembatasan aktifitas sosial politik warga negaranya. Dimensi pembatasan aktifitas sosial politik tersebut masuk dalam ranah Pemilu. Salah satu langkah yang diambil pemerintahan Orde Baru ada pada kontrol pembilahan sosial yang relatif plural dalam Orde Lama. Pluralitas politik di masa Orde Lama telah mendorong instabilitas di dalam kabinet, banyak kabinet yang tidak berlangsung lama.

Foto 1. Sejumlah simpatisan berparade dengan menggunakan atribut saat kampanye Partai Nasional Indonesia (PNI) di Kemayoran Gempol, Jakarta Pusat, 22 Mei 1971. ANTARA FOTO/IPPHOS/asf/1971. Pemilu1971_Dok.Antara. Sumber : https://aceh.antaranews.com/berita/68473/pemilu-dari-masa-ke-masa. Klik gambar untuk melilhat ukuran yang lebih besar.

Secara teknis, pemilu di Orde Baru dilakukan untuk memilih anggota DPR, sementara Presiden diangkat oleh MPR. Sistem yang digunakan sama dari Pemilu ke Pemilu, yaitu proporsional (perwakilan berimbang) dengan daftar tertutup. Begitu juga dengan metode penghitungan kursi, di mana semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan, namun dengan memberlakukan stembus accoord, yaitu penggabungan sisa suara yang tidak habis dibagi Bilangan Pembagi Pemilih, berdasarkan kesepakatan partai peserta Pemilu. Stembus Acccord memungkinkan bertambahnya jumlah kursi di suatu daerah pemilihan, dan meminimalkan sisa suara yang hangus atau tidak terpakai dalam konversi kursi. Di sisi yang lain, ciri khas keanggotan DPR di era Orde Baru ialah adanya utusan golongan yang diangkat, dengan jumlah 100 orang di setiap pemilu, dimana sebagian besarnya berasal dari ABRI.

Pemilu 1971

Tiga tahun setelah Suharto diangkat menjadi Presiden melalui TAP MPR tahun 1968, Pemilu pertama era Orde Baru dilaksanakan. Jumlah peserta Pemilu menyusut jika dibandingkan dengan Pemilu 1955, yakni hanya sembilan partai politik dan satu organisasi kemasyarakatan bernama Sekber Golkar.

Sekber Golkar yang didirikan pada 1964 dan baru pertama kali menjadi peserta Pemilu, langsung menjadi pemenang pada 1971 dengan perolehan kursi 236, jauh melewati partai-partai lain yang lebih mapan seperti Partai NU, PNI, dan PSII. PNI, partai bentukan mantan Presiden Sukarno yang pernah berjaya pada Pemilu sebelumnya, malah anjlok perolehan kursinya di parlemen, dari 57 melorot ke 20. Begitu juga dengan Partai NU, dari 91 kursi pada1955, berkurang jauh menjadi 58. Sementara itu Parmusi, yang digadang-gadang sebagai penerus Partai Masyumi, ‘hanya’ mendapatkan 24 kursi.

Foto 2. Presiden Soeharto dan Ibu Tien menuju tempat pemungutan suara pada Pemilu 1971, 5 Juli 1971Kompas/Pat Hendranto (PH). Pemilu1971_Dok.Kompas. Sumber : https://jakartatimur.kpu.go.id/pemilu-1971/. Klik gambar untuk melilhat ukuran yang lebih besar.

Keluarnya Sekber Golkar sebagai pemenang tidak lepas dari dukungan penuh kalangan perwira militer, serta seluruh pegawai negeri sipil yang diwajibkan memilih Golkar. Di saat yang bersamaan, operasi khusus yang dijalankan Ali Murtopo atas restu Suharto untuk membuat gaduh partai-partai politik, terutama partai dengan tokoh yang sering berbeda pendapat dengan pemerintah.

Tabel 1.
Hasil Pemilu 1971
Tabel 1 - Pemilu 1971

Sumber : Tempo, 15/01/2014

Pemilu 1977

Pada Pemilu jilid ke dua di era Orde Baru, peserta Pemilu berkurang lagi, dari 10 peserta pada 1971 menjadi 3 (tiga). Ini tidak lepas dari dileburkannya beberapa partai politik ke dalam dua wadah besar, yaitu PDI dan PPP. Wacana penggabungan partai politik tersebut sebenarnya telah dimulai sejak akhir 1960-an. Kala itu, peserta pemilu ditargetkan ‘hanya’ diikuti oleh Golongan Spiritualis, Golongan Nasionalis, dan Golongan Karya. Namun, karena masih ada penolakkan dari Parkindo dan Partai Katolik, penggabungan partai politik itu pun terpaksa ditunda.

Foto 3. Pelaksanaan Pemilu di TPS 58 Kel. Cengkareng Jakarta Barat, 02 Mei 1977. Pemilu1977_Dok.Perpusnas. Sumber: https://opac.perpusnas.go.id/uploaded_files/sampul_koleksi/original/Bahan%20Campuran/1113823.jpg. Klik gambar untuk melilhat ukuran yang lebih besar.

Penggabungan partai-partai politik baru bisa terwujud pada 1973. Sejumlah partai berasas Islam, seperti Partai NU, PSII, Parmusi, dan Perti dilebur menjadi satu dalam wadah PPP. Sementara PNI, IPKI, dan Partai Murba bergabung menjadi PDI. Parkindo dan Partai Katolik lebih memilih bergabung dengan PDI, sebab dua pertai tersebut enggan melebur dengan Golkar, dan secara bersamaan tidak mungkin juga bergabung dengan PPP yang jelas berasas Islam.
Penggabungan partai-partai politik itu ternyata tetap tidak mampu menandingi Golkar pada Pemilu 1977. Hal ini lantaran penyatuan partai politik tidak berjalan semudah yang dibayangkan. Di kubu PDI, muncul berbagai kecurigaan di antara unsur-unsur pembentuknya. Sebagaimana ditulis Stefan Eklof dalam Power and Political Culture in Soeharto’s Indonesia (2003), terdapat sentiman dalam internal PDI. Parkindo dan Partai Katolik melihat Murba dan PNI kental dengan kekiriannya. Sementara itu, PNI melihat Parkindo dan Partai Katolik sebagai kelompok yang tidak loyal. Lalu IPKI sebagai partai yang dibentuk tentara dilihat sebagai perpanjangan rezim militer Orde Baru untuk mengendalikan PDI. Dalam kondisi demikian, tidaklah mengherankan bila PDI hanya mendapatkan 8,6 persen suara pada 1977, dengan jumlah kursi 29 di DPR.

Foto 4. Kampanye tanda gambar ketika kontestan Pemilu, 22 Maret 1977. Klik gambar untuk melilhat ukuran yang lebih besar. Pemilu1977_Dok.Perpusnas2. Sumber : https://opac.perpusnas.go.id/uploaded_files/sampul_koleksi/original/Bahan%20Campuran/1113606.jpg?rnd=180554782. Klik gambar untuk melilhat ukuran yang lebih besar.

Sementara itu PPP masih sedikit lebih beruntung dibandingkan PDI. Pasalnya, gagasan penyatuan partai-partai Islam sebenarnya sudah disepakati dalam Kongres Umat Islam pada 1969. Di Pemilu kali ini, PPP berhasil meraup 29,2 persen suara, yang membuatnya mendapat 99 kursi.

Tabel 2.
Hasil Pemilu 1977
Tabel 2 - Pemilu 1977

Sumber: Tempo, 15/01/2014

Pemilu 1982

Pada pemilu kali ini, gerakan Golongan Putih (Golput) muncul sebagai isu utama. Terkait dengan Golput, yang membedakannya dengan pemilu sebelumnya ialah bahwa orang-orang yang Golput tetap datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), akan tetapi tidak mencoblos surat suara. Dengan kata lain tipikal Golput mengalami pergeseran yakni mereka adalah orang-orang atau golongan yang tidak menggunakan hak mereka untuk memilih, bahkan menganjurkan dan mempengaruhi orang lain untuk tidak menggunakan hak pilihnya, atau tidak datang ke TPS (Majalah Tempo 1 Februari 2019, dalam Tangerangnews.com, 3/3/20).

Foto 5. Infografis Bawaslu RI tentang Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu tahun 1982. Klik gambar untuk melilhat ukuran yang lebih besar.Sumber: Bawaslu RI, 23 Januari 2019. Klik gambar untuk melilhat ukuran yang lebih besar.

Kondisi ini menjadi perhatian pemerintah karena maraknya gerakan golongan putih disinyalir menguntungkan sisa-sisa pendukung PKI. Oleh karena itu, pemerintah melalui Presiden Soeharto kemudian menerapkan perombakan struktur badan penyelenggara Pemilu. Salah satu kebijakan yang diambil adalah dengan menunjuk Menteri Kehakiman sebagai Ketua Dewan Pertimbangan LPU (Lembaga Pemilihan Umum). Langkah tersebut diambil untuk mempertahankan kemenangan Golkar dalam pemilihan. Keterlibatan ABRI juga terlihat dalam keanggotaannya sebagai bagian dari LPU. Meskipun isu Golput menguat, kemenangan Golkar tetap tidak terhindarkan pada Pemilu 1982. Data menunjukkan bahwa tidak ada perubahan signifikan dalam angka partisipasi pemilih, dengan angka cukup tinggi, yakni 96,5 persen dan Golput 3,5 persen. Ankga itu sama dengan Pemilu 1977, yang menunjukkan tingkat partisipasi pemilih sebesar 96,5 persen, dan angka Golput sebesar 3,5 persen. (Newsdetik.com, 13/04/2019).

Foto 6. Tragedi minggu berdarah 1982 di depan Bioskop Grand. Klik gambar untuk melilhat ukuran yang lebih besar. Sumber: Foto oleh A. Haryandoko D. (IndoCropCircles.wordpress), 1982. Klik gambar untuk melilhat ukuran yang lebih besar.

Tabel 3.
Hasil Pemilu 1982
Tabel 3 - Pemilu 1982

Sumber: Tempo, 15/01/2014 dan KPU Prov. Maluku

Pemilu 1982 dimenangkan Golkar dengan 64,34 persen, disusul oleh PPP dengan 27,8 persen, dan 7,88 persen. Perolehan tersebut menjadikan Golkar mengalami peningkatan suara dan jumlah kursi secara nasional. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi, sedangkan PPP dan PDI masing-masing berkurang 5 (lima) kursi. Mekanisme pembagian kursi pada pemilu ini mengacu pada ketentuan pemilu di tahun 1971. Anggaran yang digunakan dalam pemilu 1982 sebesar 132 Miliar.

Pemilu 1987

Sebelum pemilu 1987, pemerintah mengeluarkan wacana untuk memberlakukan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi dan partai politik di Indonesia, melalui pidato Presiden pada sidang DPR pada 16 Agustus 1982. Puncaknya ialah dikeluarkannya UU No. 3/1985 yang mewajibkan partai yang mengikuti Pemilu harus berasaskan Pancasila. Partai Persatuan Pembangunan menjadi yang paling dirugikan dalam kebijakan ini. Pada pemilu 1987, PPP harus menanggalkan identitas keislamannya dengan mengganti lambangnya dari Ka’bah menjadi Bintang.

Foto 7. Penampakan surat suara untuk pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat pada Pemilu 1987. Sumber: Kumparan, 10 April 2019.Klik gambar untuk melilhat ukuran yang lebih besar.
Data menunjukkan bahwa Golkar kembali mendapat suara tertinggi pada Pemilu tahun 1987. Jumlah kursi di DPR yang diperoleh Golkar juga mengalami peningkatan, dari yang sebelumnya sebesar 242 kursi (tahun 1982) menjadi 299 kursi (pemilu tahun 1987). Sementara PPP cukup kehilangan banyak kursi, yakni berkurang 33 kursi jika dibandingkan dengan Pemilu Tahun 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Selain itu, perolehan suara PDI mengalami peningkatan dari 24 kursi pada pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada pemilu 1987. Sementara PDI masih tetap berada di urutan paling bawah dalam pemilu 1987.

Foto 8 - Pemilu 1987 (4)

Foto 8. Gambar ilustrasi pemungutan suara untuk Pemilu tahun 1987. Sumber: Dokumen KPU (Kompasiana, 27 Maret 2019).

Tabel 4.
Hasil Pemilu 1987
Tabel 5 - Pemilu 1992

Sumber: Tirto, 13/04/19

Ada beberapa asumsi terkiat dengan peningkatan jumlah suara Golkar dan kemerosotan suara PPP. Salah satunya adalah penerapan mekanisme struktural yang dilakukan Golkar dengan menggerakkan jejaring di tingkat lokal seperti memanfaatkan jaringan guru di sekolah-sekolah. Aturan tersebut tertuang dalam Keppres No. 82/1971 tentang pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) sebagai wadah satu-satunya bagi pegawai negeri yang kemudian pembentukan Korpri sebagai salah satu media bagian dari gerakan Golkar (Tirto, 28/05/19). Aturan lain juga diterapkan yakni tidak diperbolehkannya partai-partai membentuk cabang di tingkat provinsi, juga pengurangan masa kampanye dari yang sebelumnya 45 hari menjadi 25 hari, serta aturan pelarangan kritik terhadap kebijakan pemerintah.

Pemilu 1992

Seperti pemilu sebelumnya di masa Orde Baru, pemilu kali ini masih diikuti tiga partai politik, yakni Golkar, PDI, dan PPP. Lagi-lagi, Partai Beringin keluar sebagai pemenang untuk kelima kalinya secara berturut-turut sejak 1971. Yang cukup mengagetkan, dibandingkan dengan episode pemilu sebelumnya, suara Golkar menurun, dari 73,11 persen pada 1987 menjadi 68,10 persen pada 1992. Sementara itu, perolehan suara PPP dan PDI mengalami peningkatan. PPP, misalnya, meraih 17,01 persen dibanding sebelumnya 15,96 persen. Adapun PDI mendapatkan peningkatan suara yang cukup mengejutkan, dari 10,93 persen pada 1987 menjadi 14,89 persen pada 1992.

Foto 9. Pemilu 1992. Para Ketua Partai Politik dan Golkar peserta Pemilu 1992 bersama dengan Menteri Dalam Negeri, Rudini, dan Menteri Penerangan Harmoko. Klik gambar untuk melilhat ukuran yang lebih besar. Sumber: https://pemilu.kompas.com/pileg/popup/6. Klik gambar untuk melilhat ukuran yang lebih besar.
Dalam Bunga Rampai Pemilihan Umum 1992: Suatu Evaluasi, sebagaimana dikutip Tirto (13/04/2019) pada Sejarah Pemilu 1992: Golkar Terkendala, PPP & PDI Bersaing Ketat, Harry Than Silalahi menjelaskan bahwa Golkar di pemilu kali ini diguncang persoalan internal. Sebagai ilustrasi, komunikasi yang tidak berjalan mulus antara Dewan Pertimbangan dan Dewan Penasehat cabang Golkar di beberapa provinsi, seperti Kalimantan Barat, Riau, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Inilah salah satu penyebab turunnya perolehan suara Golkar.

Foto 10 - Pemilu tahun 1992 di desa korupun korima selatan

Foto 10. Pemilu tahun 1992 di Desa Korupun Korima Selatan. Sumber: https://www.flickr.com/photos/39550532@N04/4859115848/in/photolist-aVAcdZ-emtrQL-8poeRs

Selain tidak adanya perhatian khusus diberikan Golkar guna meraup suara kelas menengah dan pemilih pemula, lanjut Harry Than Silalahi, penurunan suara Partai Beringin tersebut tidak lepas dari adanya anggapan dikesampingkannya sejumlah aktivis di dalam tubuh partai itu pasca kemenangan meyakinkan pada pemilu 1987. Dari sejumlah aktivis tersebut, kekecewaan paling besar datang dari kelompok purnawirawan ABRI dan perangkat desa. Di tengah kondisi itu, tidaklah mengherankan jika PPP dan PDI kemudian berhasil merebut suara pemilih Golkar.

Tabel 5.
Hasil Pemilu 1992
Tabel 5 - Pemilu 1992

Sumber: Tempo.co (15/01/2014)

Pemilu 1997

Pemilu 1997 merupakan babak penghabisan Pemilu di masa Orde Baru, dan akhir dari Pemilu yang hanya diikuti oleh tiga partai. Golkar masih memperoleh suara terbanyak dengan 68,10 persen, sedangkan PPP dan PDI secara berutut-turut meraih suara sebesar 17 persen dan 14,90 persen. Apabila diperhatikan dari perolehan kursi di DPR, terdapat penurunan signifikan yang dialami oleh PDI, dari 52 kursi pada 1992 menjadi 11 kursi pada 1997. Sementara itu, perolehan kursi Golkar dan PPP di parlemen mengalami peningkatan. Golkar, misalnya, naik dari 282 pada 1992 menjadi 325 pada 1997. Adapun perolehan kursi PPP di DPR meningkat dari 62 menjadi 89.

Foto 11. Kampanye Golkar di Jakarta Pusat menjelang Pemilihan Umum 1997, pemilu terakhir Orde Baru. Klik gambar untuk melilhat ukuran yang lebih besar. AP/Muchtar Zakaria. Sumber: https://tirto.id/eeaq.Klik gambar untuk melilhat ukuran yang lebih besar.

Menurunnya perolehan suara PDI disinyalir karena perpecahan di tubuh PDI pada 1996. Di tahun itu, kepengurusan PDI terpecah menjadi dua, yakni PDI versi Megawati Soekarnoputri dan PDI versi Soerjadi. Selepas Kongres PDI di Medan 20-22 Juni 1996 yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum DPP PDI, pemerintah hanya mengakui dan mendukung PDI versi Soerjadi. Tidaklah mengejutkan bila PDI versi Soerjadi yang diizinkan untuk mengikuti Pemilu 1997 (Litbang Kompas, 2019:34-35). Di sisi lain, pemilih PDI yang mendukung Megawati mencabut dukungan dari PDI. Suara mereka diperkiran lari ke Golkar, sebagian ke PPP, dan sebagian lagi memilih untuk tidak memilih (Litbang Kompas, 2019:39).

Foto 12. Baligo Pemilu 1997 (Foto: AFP/John Macdougall). Sumber: https://kumparan.com/kumparannews/orang-kristen-dalam-sejarah-politik-indonesia-1545622279840391007/full.Klik gambar untuk melilhat ukuran yang lebih besar.

Usai pemilu, krisis moneter memukul Indonesia. Problem ekonomi merembet ke masalah politik. Di sini, ketidakpuasan terhadap pemerintah semakin terang benderang, dengan adanya berbagai protes dan tuntutan reformasi. Anggota DPR, yang sebagian besar berasal dari Golkar, enggan untuk merealisasikan tuntutan tersebut, dan mencoba untuk melanggengkan kekuasaan Suharto. Krisis dan berbagai dinamika lain di masa itu membuat segala upaya mempertahankan kekuasaan Suharto tidak berhasil. Satu per satu pendukungnya berbalik arah, termasuk sejumlah menteri dan beberapa tokoh-tokoh militer reformis. Menghadapi berbagai tekanan, Suharto kemudian meletakkan jabatan sebagai Presiden pada 20 Mei 1998. Sejarah reformasi pun dimulai.

Tabel 6.
Hasil Pemilu Legislatif Tahun 1997
Tabel 6 - Pemilu 1997

Sumber: Tempo.co (15/01/2014)

Catatan

Di negara yang menerapkan demokrasi, pemilu dilakukan atas prinsip free and fair baik dalam struktur dan prosesnya. Di Indonesia, dalam hal ini pada masa Orde Baru justru jauh dari penerapan prinsip tersebut. Hasilnya, sebagaimana disiarkan Kepustakaan Presiden-Perpusnas, ialah ketidakseimbangan kontestasi antar-peserta Pemilu, dan menunjukkan hasil yang tidak mencerminkan aspirasi dan kedaulatan rakyat.

Beberapa langkah yang dilakukan pemerintah pada pemilu selama Orde Baru antara lain sebagai berikut. Pertama ialah penyederhanaan partai politik, atau yang dikenal dengan fusi partai. Kedua, dominannya peran pejabat aktif militer dalam bidang sosial, politik dan pemerintahan. Legitimasi peran militer dalam berbagai bidang diawali oleh konsep Jalan Tengah yang digagas Jenderan AH. Nasution pada 1957, yang memungkinkan perwira militer turut berpartisipasi dalam menentukan “… kebijaksanaan negara kita pada tingkat-tingkat yang tinggi” (Tirto, 10/01/18). Konsep ini kemudian dimatangkan oleh Suharto pada tahun 1982 melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Dwifungsi ABRI. Ketiga, pemberlakuan asas tunggal yang mewajibkan seluruh orsospol di Indonesia menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi. Dalam konteks pemilu, PPP merupakan pihak yang paling dirugikan dari kebijakan ini. Keempat ialah adanya kebijakan massa mengambang, dimana struktur partai hanya boleh sampai tingkat kecamatan, yang membuat PPP dan PDI terasing dari akar pendukungnya, dan sulit untuk memobilisasi dukungan. Ketentuan ini tidak berlaku untuk Golkar, yang saat itu tidak dikategorikan sebagai partai.

Referensi

Damarjati, Danu. Fenomena Golput dari Orde Lama hingga Kekinian. (13 April 2019). https://news.detik.com/berita/d-4509398/fenomena-golput-dari-orde-lama-hingga-kekinian.

Firdausi, Fadrik Aziz. Rekor Kecurangan Pemilu di Indonesia Dipegang oleh Orde Baru. Kepustakaan Presiden Perpusnas.

Pemilihan Umum Tahun 1982. https://kepustakaanpresiden.perpusnas.go.id/election/directory/election/?box=detail&id=1&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=.

Litbang Kompas. 2019. Pemilu 1997: Pemilu Terakhir Orde Baru. Jakarta: PT Kompas Gramedia.

Pemprov Maluku. Pemilu 1977-1997. (27 Maret 2013).http://kpumalukuprov.go.id/pemilu1977-1997/.

Tempo.co. Pemilu 1971

Tempo.co. Pemilu 1977

Tempo. Pemilu 1982. (15 Januari 2014).

Tempo. Pemilu 1992.

Tempo. Pemilu 1997. < https://pemilu.tempo.co/read/545207/pemilu-1997>

Tirto, 10 Januari 2018, Dwifungsi ABRI Dan Jalan Terbuka Politik Tentara

Tirto, 13 April 2019, Sejarah Pemilu 1987: Golkar Perkasa, PPP Anjlok, PDI Lumayan

Tirto, 13 April 2019, Sejarah Pemilu 1992: Golkar Terkendala, PPP & PDI Bersaing Ketat.

Tirto, 24 April 2019, Sejarah Pemilu 1997: Usaha Gagal Melanggengkan Kuasa Soeharto

Zulfikar. Terbentuknya Panwaslak Pemilu Tahun 1982. (3 Maret 2020). http://tangerangnews.com/opini/read/30375/TERBENTUKNYA-PANWASLAK-PEMILU-TAHUN-1982.

id_IDIndonesian