Gelombang reformasi 1998 mencapai puncak dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden yang baru terpilih kembali setahun sebelumnya melalui Sidang Umum MPR RI. Selanjutnya B. J. Habibie yang saat itu sebagai Wakil Presiden menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Naiknya B.J. Habibie sebagai presiden menggantikan Soeharto tidak serta merta meredam tuntutan arus reformasi. Salah satu tuntutan publik setelah reformasi bergulir adalah perubahan pada sistem politik Indonesia yang lebih demokratis.
Pada masa transisi dari orde baru ke reformasi, situasi politik masih tidak kondusif. Perubahan mendasar bagi politik Indonesia terjadi setelah Undang-Undang Dasar 1945 mengalami amandemen. Salah satu hal krusial dalam perubahan tersebut adalah pelaksanaan pemilihan umum secara langsung. Pemilihan umum tersebut mulai diterapkan pertama kali pada tahun 2004. Pada perjalanannya banyak dinamika yang mewarnai penerapan pemilihan umum secara langsung di Indonesia. Dari mulai sistem pemilu yang semula proporsional tertutup, kemudian dimodifikasi menjadi semi terbuka dan akhirnya kini diterapkan menjadi sistem proporsional terbuka murni. Beberapa hal tersebut akan dijabarkan pada tulisan di bawah ini.
Foto 1. Demonstrasi mahasiswa menuntut Suharto mundur di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, yang menjadi penanda bagi akhir kekuasaan Orde Baru. Sumber Foto: Kompas
Foto 2. Setelah berbagai upayanya mempertahankan pemerintahan gagal, Suharto kemudian mengundurkan pada 21 Mei 1998.
Sumber Foto: id.Wikipedia.org
Periode Transisi
Dalam konteks siklus Pemilu lima tahunan, seharusnya Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dengan Kabinet Reformasi Pembangunannya berlangsung sampai tahun 2002. Situasi politik yang berlangsung saat itu mengharuskan Pemerintahan Presiden RI ke-3 ini hanya berlangsung 13 bulan. Meskipun hanya satu tahun lebih menjabat, pada periode ini tercatat beberapa peristiwa penting.
Foto 3. Pengambilan Sumpah B.J. Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan Suharto. Sumber Foto: id.Wikipedia.org
Pertama, Pemerintahan B.J. Habibie merupakan masa transisi penting dari Era Orde baru menuju Era Reformasi. Hal ini dapat dipahami mengingat B.J. Habibie sebagai Presiden lebih kepada amanat undang-undang yang mengharuskan wakil presiden naik jika presiden berhalangan atau mengundurkan diri. Selain itu hal terpenting B.J. Habibie masih dipandang sebagai bagian dari Orde Baru. Kedua, Konstelasi sosial politik yang memanas di hampir semua daerah berdampak pada krisis ekonomi Indonesia. Ketiga, Semakin melemahnya kepercayaan publik tidak hanya kepada Pemerintah tetapi juga terhadap negara. Salah satunya adalah disintegrasi Timor-Timor dari Republik Indonesia.
Setelah amandemen dilakukan, pemilu 2004 dilaksanakan secara langsung untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden. Sistem pemilu untuk pemilihan DPR dan DPRD (Provinsi, Kab/Kota) dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem daftar tertutup.
Setidaknya tiga kondisi utama di atas yang mendorong segera dilakukan Pemilihan Umum tahun 1999 yang berlandaskan jujur dan adil. Presiden Habibie sendiri menyadari betul kondisi ini dan melakukan inisiasi percepatan Pemilu dari yang seharusnya tahun 2020 menjadi tahun 1999. Pemilu ini dianggap sangat penting untuk menentukan arah nasib bangsa setelah tumbangnya Orde Baru.
Pada awal era reformasi menjadi tonggak kebebasan demokrasi yang selama ini mengalami sumbatan khususnya pada era orde baru. Salah satu poin penting dalam kebebasan berdemokrasi adalah lahirnya Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan TAP MPR No II/MPR/1978 tentang Pancasila sebagai asas tunggal. Hal ini salah satu yang mendasari munculnya banyak partai politik yang mendaftar dan mengikuti Pemilu 1999 dengan landasan/ideologi organisasi kepartaian yang beragam.
Pemilu 1999
Desakan reformasi itu pula membuat pemerintahan transisi BJ Habibie merumuskan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1999 tentang Partai Politik, UU Nomor 2 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, dan UU Nomor 4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pemilu Tahun 1999 untuk memilih legislatif (DPR-RI) dan eksekutif. Meskipun Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden masih melalui mekanisme pemilihan di MPR, namun Pemilu 1999 dipandang yang paling demokratis dalam sejarah paska reformasi. Kondisi ini setidaknya bisa dilihat dari dua hal yaitu jumlah peserta pemilu multipartai dan tingkat partisipasi pemilih yang terbilang tinggi.
Foto 4. Partai-partai Peserta Pemilu 1999. Sumber Foto: Kompas, via KPUD Banten. Klik gambar untuk melihat ukuran yang lebih besar.
Pemilu Legislatif
Kran reformasi yang terbuka lebar menjadi angin segar demokrasi di Indonesia melalui Pemilu 1999. Jika selama puluhan tahun di masa orde baru peran Partai Politik dibatasi melalui kebijakan fusi yang hanya mengakomodir dua Partai Politik (PPP dan PDI) dan satu Golongan Karya (Golkar). Pada Pemilu Legislatif 7 Juni 1999 ini tercatat sejumlah 141 Partai Politik mendaftar sebagai peserta pemilu. Dari jumlah tersebut sebanyak 48 Partai dinyatakan lolos sebagai kontestan pemilu. Fakta menarik selanjutnya adalah lahirnya partai politik yang memiliki azas beragam. Kecuali komunisme, azas partai politik saat itu tidak hanya Pancasila namun multi spektrum seperti berazaskan agama.
Pemilu 1999 tercatat sebagai pemilu tertinggi partisipasi pemilihnya pasca tumbangnya orde baru. Jumlah pemilih terdaftar pada pemilu 1999 sebanyak 118.158.778 pemilih. Dari jumlah itu, 92,74 persen pemilih menggunakan hak pilihnya alias 7,26 persen tak menggunakan hak pilihnya. Pemilu tahun itu tercatat sebagai pemilu tertinggi partisipasi pemilihnya di era reformasi. Dilansir dari laman kpu.go.id, hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Golkar, partai yang selalu menang di setiap pemilu pada masa orde baru, kalah dalam pemilu ini. (terakota.id, 07/06/2018).
PDI Perjuangan menjadi pemenang Pemilu 1999 dengan meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dan berhak mendapat 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen dan mendapat 120 kursi. PKB meraih 13.336.982 suara atau 12,61 persen dan berhak atas 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen mendapatkan 58 kursi. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Hasil pemilu 1999 yang menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional) ini pula yang mengantar Amin Rais sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR periode 1999-2004. Berikut rincian perolehan jumlah kursi Pemilu 1999 (tabel 1).
Tabel 1.
Hasil Pemilu Legislatif Tahun 1999
Foto 5. Sumber: KompasPedia. Partai Politik Indonesia 1999-2009. Klik gambar tabel untuk melihat ukuran yang lebih besar.
Secara umum pelaksanaan pemilu ini berjalan lancar. Kendala baru tampak saat proses penghitungan suara dan pembagian kursi. Pada tahap penghitungan suara, ada 27 partai politik yang menolak menandatangani berita acara perhitungan suara. Alasan partai itu adalah penyelenggaraan pemilu belum menjalankan asas jujur dan adil (jurdil). Sebanyak dua puluh tujuh partai politik yang menolak menandatangani hasil pemilu 1999 itu antara lain, Partai Keadilan, PNU, PBI, PDI, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI, PSP, dan PARI. (terakota.id, 07/06/2018)
Pemilihan Presiden
Peristiwa penting yang mengiringi pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 1999 ini diawali laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie pada Sidang Istimewa MPR RI 14 Oktober 1999. Pertanggungjawaban tersebut ditolak oleh MPR pada tanggal 20 Oktober 1999.
Pemilihan Presiden Indonesia 1999 dilaksanakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk masa bakti 1999-2004. Pemilihan ini dilaksanakan dalam agenda Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1999 pasca Pemilu Legislatif 1999. Pemilihan ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu pada tanggal 20 Oktober 1999 untuk memilih Presiden Republik Indonesia dan tanggal 21 Oktober 1999 untuk memilih Wakil Presiden Republik Indonesia. Pemilihan ini menghasilkan pasangan Presiden Abdurrahman Wahid yang dilantik pada tanggal 20 Oktober 1999 dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang dilantik pada tanggal 21 Oktober 1999.
Beberapa jam sebelum penghitungan suara dimulai, kebanyakan orang menganggap bahwa Megawati akan melaju untuk meraih kemenangan. Sebab pada Pemilu, partai PDI-P yang mengusung Megawati, meraih suara terbanyak, namun kejutan muncul ketika Habibie (incumbent) yang diusung Partai Golongan Karya (Golkar) mengumumkan pengunduran dirinya sebagai calon presiden. Praktis, hanya tersisa Gus Dur dan Megawati. Kala itu pemilihan presiden masih menggunakan sistem pemilihan yang dilakukan anggota MPR. Ketika penghitungan mulai dilakukan, Mega pada awalnya memimpin, namun perlahan namun pasti, perolehan suara Gus Dur yang disokong kubu Poros Tengah dapat mengimbangi perolehan suara Megawati. Bahkan, keadaan berbalik ketika pada penghitungan akhir Gus Dur mengumpulkan 60 suara lebih banyak. Gus Dur jadi Presiden. Dengan diiringi lantunan salawat badar, Gus Dur dibantu berdiri dan dibimbing ke podium untuk disumpah menjadi presiden (merdeka.com, 19/10/2019). Tokoh lain yang mundur pada detik-detik penetapan calon presiden adalah Yusril Ihza Mahendra. Mundurnya Yusril ditengarai memuluskan “poros tengah” yang mendukung pencalonan Gus Dur.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sendiri pada saat itu tidak dilakukan dalam satu paket pemilihan melainkan dalam dua tahap yakni ; tahap I: Pemilihan Presiden (20 Oktober 1999) dan tahap II Pemilihan Wakil Presiden yang dilakukan tanggal 21 Oktober 1999. Berikut hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 1999 (tabel 2).
Tabel 2.
Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 1999
Foto 5. Sumber : diolah dari medcom.id.
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) seharusnya menjabat sampai 2004, namun situasi politik saat itu membuatnya bertahan tidak sampai dua tahun (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001). Di tengah perjalanan pemerintahan sempat terjadi disharmoni antara eksekutif dan legislatif yang puncaknya adalah penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR yang kemudian dilawan oleh Gusdur dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 23 Juli 2001 yang poinnya adalah menolak hasil SI MPR. Pada akhirnya Gusdur pun legowo menerima keputusan pemberhentiannya sebagai Presiden.
Gus Dur dilengserkan secara politis oleh parlemen melalui Sidang Istimewa (SI) MPR RI pada 23 Juli 2001. Sebelum pelaksanaan sidang, Gus Dur melawan dengan mengeluarkan Dekrit Presiden. Perlawanan tersebut bukan untuk mempertahankan jabatannya sebagai presiden, tetapi menolak langkah parlemen yang menurutnya inkonstitusional. Sejumlah tuduhan yang diarahkan kepadanya juga tidak terbukti secara hukum (nu.or.id: 23/07/2019). Sidang Istimewa MPR tanggal 23 Juli 2001 juga sekaligus memberikan mandat kepada Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz sebagai Presiden RI.
Pemilu 2004
Pemilu 2004 adalah pemilu pertama yang diselenggarakan secara langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPR, DPD serta DPRD. Gagasan pemilihan secara langsung lahir karena ada sejarah kelam pada penyelenggaraan politik di rezim orde lama dan orde baru. Pada masa orde lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno pelanggaran terhadap konstitusi terjadi ketika Soekarno menerima pengangkatan dirinya sebagai Presiden seumur hidup menyusul dikeluarkannya TAP MPRS yang berbunyi “Dr. Ir Soekarno (Mr. Soekarno), Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, yang sekarang Presiden Republik Indonesia, dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan ini menjadi Presiden Indonesia seumur hidup”. Demikian halnya praktik ketatanegaraan pada masa orde baru di bawah rezim kekuasaan Presiden Soeharto yang menerapkan kontrol yang ketat terhadap partai. Guna memperketat kontrol terhadap partai politik yang ada. Pasal 14 (1) UU Nomor 1 Tahun 1985 tentang Partai Politik memberi kewenangan kepada Presiden untuk membubarkan partai yang tidak sesuai dengan tujuan negara.
Foto 5. Partai-partai Peserta Pemilu 2004. Sumber Foto: KPUD Banten. Klik gambar untuk melihat ukuran yang lebih besar.
Dalam perkembangannya muncul wacana untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Isu terkait pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung menjadi topik yang paling ramai dibahas. Muncul dorongan dari publik untuk membuat penyelenggaraan pemilu yang lebih demokratis. Era transisi demokrasi ini menjadi momentum untuk membangun partisipasi masyarakat yang sebelumnya terbelenggu oleh pemerintahan otoriter yang dilakukan oleh Soeharto. Tidak hanya bagi penyelenggaraan pemilu saja, era reformasi menjadi penanda tumbuhnya sistem multi-partai yang lebih sehat. Kompetisi politik menjadi lebih terbuka bagi siapa saja yang ingin berperan mengambil bagian. Oligarki partai sedikit banyaknya terkikis dengan adanya partisipasi publik yang aktif.
Setelah amandemen dilakukan, pemilu 2004 dilaksanakan secara langsung untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden. Sistem pemilu untuk pemilihan DPR dan DPRD (Provinsi, Kab/Kota) dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem daftar tertutup. Partai politik akan mendapatkan kursi sejumlah suara sah yang diperolehnya. Perolehan kursi ini akan diberikan kepada calon yang memenuhi atau melebihi nilai BPP. Apabila tidak ada, maka kursi akan diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut. Sedangkan untuk pemilu untuk memilih Anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.
Foto 6. Debat para kandidat Presiden Indonesia pertama kali diadakan dalam rangkaian Pemilihan Presiden 2004. Sumber Foto: Kompas
Sistem proporsional tertutup pada tahun 2004 mengalami modifikasi pada saat diterapkan. Pada saat pelaksanaan pada tahun 2004 sistem pemilu yang dikenal justru sistem wakil berimbang (proporsional) semi terbuka. Maksud dari sistem semi terbuka ini yaitu penentuan tentang siapa yang akan mewakili partai di dalam perolehan kursi di DPR/DPRD tidak didasarkan pada perolehan suara terbanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut. Kalaupun ada calon di luar nomor urut, calon tersebut harus memiliki suara yang mencukupi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Padahal syarat demikian sangat berat dipenuhi. Sehingga pada kenyataannya tidak memenuhi syarat BPP tersebut. Akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan MK Nomor 22 dan 24/PUU/2008 yang mengabulkan judicial review pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, mengubah sistem pemilu legislatif dari sistem proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka dengan suara terbanyak. Sistem demikian, nomor urut di dalam daftar calon tidak lagi dijadikan ukuran untuk menentukan calon mana yang mewakili partai di dalam perolehan kursi sekiranya tidak ada calon yang memenuhi BPP (Ramdani, 2014). Suara terbanyak dijadikan ukuran dalam menentukan calon yang terpilih. Sistem Proporsional mulai diterapkan pada Pemilu tahun 2009.
Pemilu Legislatif dilaksanakan pada 5 April 2004. Pemilu diselenggarakan secara serentak untuk memilih 550 anggota DPR, 128 anggota DPD, serta anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota). Jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebesar 148.000.369 (BPS). Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik peserta pemilu, ternyata hanya menghasilkan 16 partai politik yang memperoleh kursi di DPR. Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Legislatif sebesar 84,07 persen (Kementrian PPN/Bappenas). Dengan rincian perolehan jumlah kursi adalah sebagai berikut (tabel 3).
Tabel 3.
Hasil Pemilu Legislatif Tahun 2004
Foto 5. Sumber : Komisi Pemilihan Umum (KPU), 2010.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan dua kali putaran, yaitu pada tanggal 5 Juli 2004 (putaran I) dan 20 September 2004 (putaran II). Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Presiden sebesar 77,44 persen (Kementerian PPN/Bappenas). Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 putaran I (pertama) sebanyak 5 (lima) pasangan. Karena kelima pasangan calon Presiden dan Wakil presiden peserta putaran I (pertama) belum ada yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka dilakukan Pemilu putaran II (kedua), dengan peserta dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh suara terbanyak pertama dan terbanyak kedua. Setelah Pemilu putaran II dilaksanakan, pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Secara rinci perolehan suara tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini (tabel 4, tabel 5).
Tabel 4.
Hasil Putaran I Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004
Foto 5. Sumber : Komisi Pemilihan Umum (KPU), 2010.
Tabel 5.
Hasil Putaran II Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004
Foto 5. Sumber : Komisi Pemilihan Umum (KPU), 2010.
Pemilu 2009
Pemilu 2009 merupakan penyelenggaraan pemilu kedua yang dilakukan secara langsung. Pemilu 2009 untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem daftar calon terbuka. Kursi yang dimenangkan setiap partai politik mencerminkan proporsi total suara yang didapat setiap parpol. Mekanisme sistem ini memberikan peran besar kepada pemilih untuk menentukan sendiri wakilnya yang akan duduk di lembaga perwakilan. Calon terpilih adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak. Untuk memilih Anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak. Distrik di sini adalah provinsi, dimana setiap provinsi memiliki 4 (empat) perwakilan. Pemilu legislatif dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 untuk memilih 560 anggota DPR, 132 anggota DPD, serta anggota DPRD (Provinsi, Kabupaten/Kota). Jumlah DPT sebesar 171.265.442 (BPS). Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Legislatif sebesar 70,99 persen (Kementerian PPN/Bappenas). Partai peserta pemilu pada tahun 2004 diikuti oleh 38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal khusus di Aceh. Perolehan jumlah kursi untuk masing-masing partai dapat dilihat pada tabel di bawah ini (tabel 6).
Tabel 6.
Hasil Pemilu Legislatif Tahun 2009
Sumber : Komisi Pemilihan Umum (KPU), 2010.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Presiden sebesar 72,56 persen (Kementrian PPN/Bappenas). Pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan satu putaran. Terdapat tiga pasangan calon yang mengikuti pemilihan yaitu sebagai berikut (tabel 7).
Tabel 7.
Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009
Sumber : Komisi Pemilihan Umum (KPU), 2010.
Menjelang pemilu 2009, DPR merencanakan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang penyelenggara pemilu. Sempat mengemuka untuk menghapuskan Panwaslu dalam RUU tersebut. Adanya Panwaslu dianggap kurang efektif terhadap penyelenggaraan pemilu jika dibandingkan dengan anggaran yang dikeluarkan. Pengawasan pemilu bisa dikembalikan kepada masyarakat, pemantau atau peserta pemilu. Kewenangan Panwaslu adalah menyampaikan laporan tertulis, peringatan, rekomendasi dan menjadi mediator. DPR akhirnya memutuskan untuk tetap mempertahankan Panwaslu sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang lebih baik di Indonesia. Nama Panwaslu berubah menjadi Bawaslu. Kewenangan Bawaslu menjadi lebih sejajar dengan KPU. Hal ini bisa dianggap sebagai sebuah lompatan besar karena sejak era Orba sampai pemilu 2004 Panwaslu bersifat tidak permanen atau adhoc.
Foto 7. Debat para kandidat Presiden Indonesia tahun 2009 antara Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jusuf Kalla. Sumber Foto: Antara
Berubahnya Panwaslu menjadi Bawaslu membuat kedudukan organisasi Bawaslu menjadi setara dengan KPU, Bawaslu tidak menjadi subordinat dari KPU lagi. Kewenangan baru didesain untuk Bawaslu yakni mengawasi jajaran KPU/KPUD dan petugas-petugas pemilu di bawahnya agar ketika menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan Pemilu. Bawaslu berwenang memberikan rekomendasi untuk memberhentikan anggota KPU dan KPU daerah yang dinilai melanggar peraturan perundang-undangan pemilu, dengan begitu Bawaslu mampu melakukan kontrol yang efektif terhadap penyelenggara Pemilu (Surbakti, 2015).
Isu keterwakilan perempuan di bidang politik mencuat pada pemilu 2009. Kebijakan penerapan kebijakan affirmative action ini diharapkan menjadi titik awal untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Hal ini sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang memberikan perlakuan khusus dengan kuota 30% bagi perempuan merupakan langkah awal untuk mendorong keterwakilan perempuan menuju arah yang setara dan berkeadilan, namun sangat disayangkan pada perjalanannya kebijakan affirmative action ini “dianulir” secara tidak langsung melalui putusan Mahkamah Konstitusi Keputusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang membatalkan berlakunya Pasal 214 Huruf a,b,c,d, dan e di mana ketentuan Pasal 214 Huruf a,b,c,d, dan e ini yang pada intinya adalah membatalkan penggunaan nomor urut dalam penentuan calon legislatif terpilih melainkan dengan berdasarkan suara terbanyak sehingga dengan pembatalan tersebut secara otomatis zipper system yang berdasarkan nomor urut untuk menentukan posisi perempuan tidak dapat dijalankan (Thalib, 2014).
Pemilu 2014
Pemilu 2014 Merupakan pemilu ke empat di era reformasi. Ada dua pemilu yang terselenggara di tahun 2014, yakni pemilihan legislatif (9 April) serta pemilihan presiden dan wakil presiden (9 Juli). Pileg 2014 diikuti oleh 12 partai politik dan 3 partai politik lokal serta memperebutkan 560 kursi di parlemen. Sementara Pilpres diikuti oleh dua pasangan calon, yakni pasangan pertama Prabowo Subianto-Hatta Rajasa diusung oleh Partai Gerindra, PAN, PKS, Partai Golkar, PPP serta PBB, dan pasangan kedua Joko Widodo-Ma’ruf Amin diusung oleh PDIP, Partai Nasdem, PKB dan Partai Hanura.
Dalam sejarah pilpres di Indonesia, Pilpres 2014 menjadi pilpres pertama yang diikuti oleh dua pasangan calon. Kandidat yang hanya berjumlah dua pasangan tersebut menimbulkan masalah secara yuridis karena di satu sisi, UUD 145 mensyaratkan minimal perolah suara sebesar 50%+1 ditambah dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi dan di sisi lain UU No. 42 Tahun 2008 menganut sistem dua putaran. Hal ini menjadi masalah jika peserta pilpres hanya ada 2 pasangan calon dan tidak ada yang mencapai persebaran suara tersebut. Apabila hal tersebut terjadi apakah secara otomatis pasangan calon yang mencapai suara 50%+1 menjadi pemenang walaupun tidak mencapai persebaran suara atau perlu dilakukan pemungutan suara putaran kedua dengan pasangan calon yang sama. Kondisi tersebut menjadi jelas setelah terbitnya Putusan MK yang menyatakan bahwa pasangan calon dengan perolehan suara 50%+1 secara otomatis ditetapkan sebagai pemenang (Sekjen Bawaslu, 2015).
Foto 8. Debat kandidat Presiden Indonesia tahun 2014 antara pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa dan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sumber Foto: Kompas
Di samping itu, pilpres dengan 2 (dua) pasangan calon tersebut telah memunculkan persaingan yang sangat ketat. Head to head tidak terjadi antara pasangan calon saja tapi juga antar pendukung, media, hingga lembaga survei dan quick count. Persaingan lembaga survei dan quick count tersebut terlihat sangat jelas sekali pada hari pemungutan suara ketika diadakan perhitungan cepat hasil pilpres. Lembaga satu dengan yang lainnya sangat berbeda hasilnya. Tampak sekali integritas akademis lembaga survei atau quick count dipertaruhkan dalam pilpres tahun 2014 (Sekjen Bawaslu, 2015).
Terlepas dari persaingan antar-calon yang ketat, partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 tercatat menunjukkan persentase yang cukup tinggi. Jumlah DPT pada Pemilu 2014 adalah 190.307.134. Untuk Pileg, tingkat pemilih yang hadir dan menggunakan suaranya sebesar 72 persen. Angka partisipasi ini masih cukup signifikan dan tergolong tinggi walaupun belum mencapai target yang ditetapkan oleh KPU sebesar 75 persen. Sementara angka partisipasi untuk Pilpres menunjukkan persentase yang lebih rendah ketimbang Pileg, sekitar 69,58 persen. Angka partisipasi ini juga meleset dari target KPU sebesar 75 persen (Nurhasim, 2014).
Foto 9. Visi dan Misi masing-masing pasangan Presiden/Wakil Presiden dalam Pemilu 2014. Sumber Foto: KPUD Cirebon. Klik gambar untuk melihat ukuran yang lebih besar.
Pilpres 2014 dimenangkan oleh pasangan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dengan perolehan suara sebesar 53,15 persen, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang memperoleh suara sebesar 46,65 persen. Sementara untuk Pileg, PDI Perjuangan menjadi pemenang pemilu dengan 23.681.471 suara, disusul dengan Partai Golkar dengan 18.432.312 suara, dan Gerindra dengan 14.760.371 suara, kemudian pemenang pemilu tahun lalu, Partai Demokrat, turun ke posisi empat dengan 12.728.914 suara (BBC, 10/5/2014). Secara keseluruhan, 10 dari 12 partai peserta pemilu 2014 memenuhi ambang batas nasional sebesar 3,50 persen (tabel 8, tabel 9).
Tabel 8.
Hasil Pemilu Presiden Tahun 2014
Sumber: BBC, 10/5/2014.
Tabel 9.
Hasil Pemilu Legislatif Tahun 2014
Sumber: Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia.
Yang menjadi catatan pada pelaksanaan Pemilu 2014 adalah bertambahnya satu lagi lembaga penyelenggara pemilu, yakni Dewan Kehormatan Penyelenggara (DKPP). Lembaga ini dibentuk berdasarkan UU 12 Tahun 2003 dan berfungsi sebagai lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu lainnya, yakni KPU dan Bawaslu. DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di Ibu Kota Negara. DKPP terdiri dari 7 orang unsur KPU, Bawaslu, DPR, dan pemerintah. Pada pemilu tahun 2009, PT yang digunakan adalah 2,5%. Sedangkan pada pemilu tahun 2014 terjadi kenaikan PT menjadi 3,5%.
Pemilu 2019
Di tahun 2019, untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan Pileg dan Pilpres secara serentak di hari dan waktu yang bersamaan, yaitu pada 17 April 2019. Total ada 16 partai politik nasional, ditambah 4 politik lokal di Aceh yang menjadi peserta Pileg 2019. Jumlah ini bertambah dari Pileg 2014 sebanyak 12 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal (kumparan.com, 13/04/2018). Sementara untuk Pilpres 2019, kandidat yang ikut berkontestasi masih berjumlah dua pasangan calon, yakni pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Foto 10. Calon Presiden nomor urut 01, Joko Widodo dalam sebuah kampanye di depan para calon pemilihnya Sumber Foto: BBC-Indonesia.com
Tidak dapat dimungkiri, politik identitas menjadi tema besar yang mewarnai penyelenggaraan Pemilu 2019. Menguatnya politik identitas disinyalir merupakan dampak dari pertarungan Pilpres 2014 yang belum usai (Jokowi vs. Prabowo) juga polarisasi politik pada Pilgub DKI Jakarta 2017, terutama setelah terjadinya Gerakan Massa Aksi 212. Penggunaan politik identitas diperlihatkan lewat berbagai narasi yang berkaitan dengan agama atau ideologi, mulai dari Jokowi anti-Islam, Prabowo tidak bisa mengaji, Jokowi keturunan PKI, hingga Prabowo pendukung ISIS. Maraknya penggunaan politik identitas ini kemudian mempengaruhi perilaku serta sikap politik partai dan calon presiden. Dari sisi Joko Widodo, misalnya, pembatalan nama cawapres dari Mahfud MD menjadi Ma’ruf Amin secara cepat menunjukkan strategi politik untuk merebut pemilih muslim. Sementara dari sisi Prabowo menunjukkan adanya kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan elite politik muslim dalam penentuan cawapres. Elit tersebut tergabung dalam ijtima’ ulama GNPF (Gerakan Nasional Penjaga Fatwa) MUI, yang dilaksanakan hingga dua kali (Fernandes, 2018).
Foto 11. Calon Presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto dalam salah satu kampanye di depan para calon pemilihnya Sumber Foto: Tirto.id
Terlepas dari kontes pertarungan pemilu, partisipasi pemilih pada Pemilu 2018 meningkat dibandingkan pemilu sebelumnya. Berdasarkan data KPU, jumlah pemilih atau DPT pada Pemilu 2019 yang berada di dalam maupun luar negeri mencapai 199.987.870, sementara yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 158.012.506. Artinya, tingkat partisipasi masyarakat di Pemilu 2019 mencapai 81 persen, meningkat hampir sebesar 10 persen jika dibandingkan Pemilu 2014 (kompas.com, 27/05/2019).
Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU, Pilpres 2019 dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo dengan 55,50 persen, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan 44,50 persen. Sementara untuk Pileg, PDI Perjuangan menjadi pemenang pemilu dengan 27.053 suara, disusul Gerindra dengan 17.594.839 suara, dan Golkar dengan 13.570.097 suara (Kontan, 21/05/2019) (tabel 10, tabel 11).
Tabel 10.
Hasil Pemilu Presiden Tahun 2019
Sumber: Kompas, 21/05/2019.
Tabel 11.
Hasil Pemilu Legislatif Tahun 2019
Sumber: kontan.co.id, 21/05/2019.
Aspek keserentakan menyebabkan Pemilu 2019 menjadi salah satu pemilu paling rumit di dunia. Bagaimana tidak, sekali masuk bilik suara, pemilih harus membuka lima lembar surat suara, kemudian memilih lima nama di antara ratusan calon yang tertera di dalamnya. Terdapat beberapa catatan terkait penyelenggaraan pemilu serentak, di antaranya:
- Pemilu serentak 2019 menuai banyak kritik karena dinilai tidak mengantisipasi beban kerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Tercatat, ada sebanyak 894 petugas KPPS meninggal dunia akibat beban kerja yang terlalu berat, terutama saat proses perhitungan suara (kompas.com, 22/01/2020).
- Banyak pemilih kebingungan ketika harus memilih calon anggota legislatif lantaran informasinya tenggelam oleh informasi terkait pemilihan capres dan cawapres.
- Di luar negeri, pemilih kehilangan haknya karena distribusi surat suara yang lamban serta durasi pencoblosan yang terbatas.
Catatan
Pemilu 1999 ini dapat dikatakan sebagai masa transisi dari orde baru ke masa reformasi. Dalam waktu kurang dari lima tahun (1998-2001) telah berganti tiga Presiden dari mulai B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati. Meskipun Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden masih dilakukan oleh MPR, namun pada proses Pemilu Legislatif terbilang berjalan sukses. Sebagai Pemilu pertama paska reformasi 1999, animo masyarakat begitu tinggi akan lahirnya perubahan paska runtuhnya orde baru. Pemilu 1999 tercatat sebagai pemilu tertinggi partisipasi pemilihnya pasca tumbangnya orde baru. Jumlah pemilih terdaftar pada pemilu 1999 sebanyak 118.158.778 pemilih. Dari jumlah itu, 92,74 persen pemilih menggunakan hak pilihnya alias 7,26 persen tidak menggunakan hak pilihnya. Meskipun demikian bukan berarti Pemilu 1999 ini tanpa kekurangan. Hal ini setidaknya dilihat dari kualitas penyelenggara pemilu dan hasil itu sendiri yang ditengarai sarat akan kecurangan. Unsur penyelenggara Pemilu yang terbilang “gemuk” 53 orang ( 48 dari utusan Parpol peserta pemilu ditambah 5 orang perwakilan pemerintah). Menjadi persoalan krusial terkait rawannya konflik kepentingan jika peserta pemilu juga menjadi penyelenggara.
Adanya masa transisi orde baru ke reformasi menjadi pertanda ada pergeseran dari era otoriter yang bersifat sentralistis ke era yang lebih demokratis. Untuk menerapkan demokratisasi di Indonesia salah satunya melalui penerapan pemilihan umum secara langsung. Salah satu instrumen penting dalam demokrasi adalah adanya kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam politik. Pemilu langsung menjadi jawaban bagi masyarakat dalam memilih para kandidat politik yang dikehendakinya untuk menjadi pejabat publik. Rezim Orba yang ditandai dengan langgengnya kekuasaan Soeharto selama 32 tahun membuat sirkulasi elite menjadi tertutup. Ketika rezim ini tumbang, secara otomatis menjadi angin segar bagi Indonesia menuju era keterbukaan yang lebih baik.
Masa transisi reformasi tidak serta merta membuat demokrasi diterapkan dengan begitu mudahnya. Ketika Orde Baru berkuasa kekuasaan terpusat pada satu orang yaitu Soeharto. Selama Soeharto berkuasa, terdapat para aktor-aktor politik yang berkuasa di daerah yang turut membantu melanggengkan kekuasaan Soeharto di pusat. Hubungan antara Soeharto dan para aktor lokal tersebut bersifat simbiosis mutualisme. Soeharto memberikan feedback atas loyalitas yang diberikan para aktor tersebut. Setelah reformasi bergulir, para aktor lokal tersebut terus bertransformasi, yang tadinya bekerja untuk kepentingan Soeharto, kini bekerja untuk kepentingan pribadinya. Hal tersebut turut diamini dengan dihembuskannya otonomi daerah dan desentralisasi. Distribusi kewenangan dari pusat ke daerah membawa dampak penyalahgunaan bagi para aktor lokal yang turut melanggengkan kekuasaannya di daerah. Hal inilah yang akhirnya marak disebut dengan fenomena dinasti politik. Para pejabat publik di daerah beramai-ramai menempatkan para kerabatnya untuk menduduki jabatan politik.
Salah satu perubahan mendasar yang dilakukan untuk menerapkan demokratisasi di Indonesia yaitu dengan melakukan amandemen UUD 1945. Setelah amandemen dilakukan, pemilu pertama terlaksana pada tahun 2004. Sistem pemilu yang diterapkan untuk pemilu legislatif menggunakan sistem proporsional semi terbuka. Pembagian kursi parlemen yang didasarkan atas nomor urut dengan menggunakan BPP membuat para kandidat banyak yang tidak terpilih karena tidak memenuhi ketentuan BPP tersebut. Memasuki Pemilu 2009 sistem pemilu tersebut direvisi oleh MK menjadi sistem proporsional terbuka. Penentuan kursi DPR berdasarkan pada suara terbanyak.
Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 berlangsung saat teknologi di Indonesia telah mengalami kemajuan pesat. Hal ini kemudian berdampak kepada model kampanye yang akhirnya meluas hingga ke media sosial. Yang perlu menjadi catatan pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 adalah kampanye di media sosial yang dipenuhi dengan kampanye jahat semacam hoaks, fitnah, serta ujaran kebencian. Khusus di Pemilu 2019, tema besar yang mewarnai media sosial adalah politik identitas. Konten kampanye yang positif dan bermanfaat kalah dengan konten kampanye jahat di media sosial.
Referensi
BBC.com, 10 Mei 2014. KPU Sahkan Hasil Pemilu, PDIP Nomor 1. https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/05/140509_rekapitulasi_kpu
BPS. Jumlah Pemilih yang Terdaftar dalam Pemilu Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 2004, 2009 dan 2014. https://www.bps.go.id/dynamictable/2015/09/08/859/jumlah-pemilih-yang-terdaftar-dalam-pemilu-legislatif-dewan-perwakilan-rakyat-dpr-2004-2009-dan-2014.html
Fernandes, Arya. Politik Identitas dalam Pemilu 2019: Proyeksi dan Efentivitas. CSIS Election Series No.1, 2018.
Kementrian PPN/Bappenas. Partisipasi Pemilih : 1955 – 2014.http://ditpolkom.bappenas.go.id/v2/wp-content/uploads/2018/12/6_Data-Partisipasi-Pemilu-dan-Pilkada.pdf
Kompas.com, 22 Januari 2020. Refleksi Pemilu 2019, Sebanyak 894 Petugas KPPS Meninggal Dunia. https://nasional.kompas.com/read/2020/01/22/15460191/refleksi-pemilu-2019-sebanyak-894-petugas-kpps-meninggal-dunia
Kompas.com, 27 Mei 2019. KPU Sebut Partisipasi Pemilih pada Pemilu 2019 Capai 81 Persen. https://nasional.kompas.com/read/2019/05/27/16415251/kpu-sebut-partisipasi-pemilih-pada-pemilu-2019-capai-81-persen
Kontan.co.id, 21 Mei 2019. Berikut Hasil Lengkap Pileg 2019 yang Ditetapkan KPU. https://nasional.kontan.co.id/news/berikut-hasil-lengkap-pileg-2019-yang-ditetapkan-kpu
Kumparan.com, 13 April 2018. Ada 16 Parpol Nasional Peserta Pemilu 2019, Tahu Apa Saja? https://kumparan.com/kumparannews/ada-16-parpol-nasional-peserta-pemilu-2019-tahu-apa-saja/full
Medcom.co.id, Index Tokoh. https://www.medcom.id/profile/megawati-soekarnoputri
Nainggolan, Bestian dkk. Kompaspedia Partai Politik Indonesia 1999-2009. Kompas Media Nusantara, 2016.
Nu.or,id, Selasa 23 Juli 2019. 23 Juli, Saat Presiden Gus Dur Dilengserkan secara politis. https://www.nu.or.id/post/read/108935/23-juli–saat-presiden-gus-dur-dilengserkan-secara-politis
Nurhasim, Moch. 2014. Partisipasi Pemilih Pada Pemilu 2014: Studi Penjajakan. Jakarta.
Puskapol UI. Pemilu 2014: Data Perolehan Kursi DPR RI. https://www.puskapol.ui.ac.id/pemilu-2014-data-perolehan-kursi-dpr-ri
Ramdani, Muhammad Doni dan Fahmi Arisandi. Pengaruh Penggunaan Sistem Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Proporsional Daftar Terbuka. Jurnal Rechtsvinding. Volume 3 Nomor 1, April 2014.
Sekretariat Jenderal Bawaslu RI. 2015. Kajian Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu, dan Sistem Presidensiil.
Surbakti, Ramlan dan Hari Fitrianto. 2015. Transformasi Bawaslu dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawsan Pemilu. Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. Jakarta.
Thalib, Nur Asikin. Hak Politik Perempuan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Cita Hukum. Vol. I No. 2 Desember 2014.