Guna menghadirkan rasa keadilan di dunia digital, banyak kalangan, termasuk Presiden Joko Widodo, mendesak revisi UU ITE. Yang jadi pertanyaan, apakah revisi hanya difokuskan pada pasal-pasal karet? Bagaimana pula memastikan lembaga negara bisa bertindak adil dalam menegakkan regulasi pasca-revisi?
Forum Populi membahasnya dalam diskusi dengan tajuk “Urgensi Revisi UU ITE” pada Kamis (18/02/2021), dengan menghadirkan Prof. Henri Subiakto (Staf Ahli, Kominfo RI), Wahyudi Djafar (Direktur Eksekutif, ELSAM), Irine Hiraswari Gayatri (PhD Candidate, Monash Gender, Peace, and Security), dan Ade Ghozaly (Peneliti, Populi Center) sebagai narasumber.
Didaulat sebagai pembicara pertama, Wahyudi Djafar menyatakan bahwa revisi UU ITE yang saat ini berlaku bersifat sapujagat, karena begitu luasnya dimensi aktifitas digital yang diatur. Akibatnya, ada banyak ketentuan yang tidak dijelaskan secara detail. Dalam beberapa kasus, kondisi demikian juga dicurigai sebagai modus penyalahgunaan kekuasaan, dan mengebiri kebebasan berpendapat.
Di beberapa negara, seperti Singapura misalnya, aturan tentang kejahatan siber, ketentuan tandatangan elektronik, perlindungan data pribadi, dan lain-lain diatur dalam UU tersendiri. Luasnya dimensi UU ITE juga berpotensi tidak sinkron dengan tindak kejahatan yang diatur dalam kitab hukum pidana, dalam hal ini durasi kurungan yang berbeda pada tiap jenis kejahatan.
Pembicara kedua, Irine Hiraswari Gayatri menyoroti fenomena interaksi dalam platform digital yang akhir-akhir ini memang semakin menggelisahkan. Ia mencontohkan bagaimana seseorang dapat dengan mudahnya ‘ditelanjangi’ kehidupan pribadinya oleh pihak lain di media sosial, seperti foto keluarga, nomor identitas KTP, dan lainnya, hanya karena orang tersebut mengkritik atau berbeda pandangan. Di saat yang bersamaan, wacana revisi UU ITE haruslah mengakomodir kepentingan kelompok-kelompok yang rentan terhadap pelecehan dan persekusi, sekaligus tidak memberikan ruang bagi pihak-pihak yang berpotensi melakukan abuse of power.
Narasumber lain, yaitu Henri Subiakto, yang pernah menjadi Ketua Panja Revisi UU ITE tahun 2016, menjelaskan pada hakikatnya UU ITE merupakan payung hukum untuk menindak aktivitas yang masuk dalam kategori kejahatan yang dilakukan di dunia maya. Problemnya ialah banyak pihak dengan mudah menggunakan pasal dalam UU ITE untuk memperkarakan pihak lain, padahal unsur-unsurnya belum tentu terpenuhi. Materi Selengkapnya Klik Disini
Di saat yang bersamaan, pemahaman aparat penegak hukum juga beragam, sehingga tidak jarang keputusan hukum yang dilahirkan terkesan mencederai rasa keadilan. Oleh karena itu ia mengusulkan adanya pedoman yang mengatur tentang norma dalam UU ITE yang diperuntukkan pada penegak hukum, terutama pada pasal yang selama ini dianggap mengekang kebebasan berpendapat warga negara, seperti pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik.
Sementara itu peneliti Populi Center, Ade Ghozaly menekankan perlunya penjelasan yang lebih komprehensif dalam revisi UU ITE yang sering mengundang multitafsir. Ia mencontohkan adanya perlakukan yang berbeda oleh penegak hukum terkait pihak-pihak yang diduga melakukan penghinaan atau menimbulkan keresahan umum. Di sisi yang lain, ia juga menyatakan pentingnya edukasi secara luas terkait ketentuan-ketentuan dalam UU ITE. Hal ini disebabkan meningkatnya penggunaan media sosial oleh masyarakat tidak disertai dengan pemahaman yang memadai mengenai apa yang boleh dan tidak boleh saat beraktivitas di internet, termasuk dalam hal berpendapat.
@ Populi Center 2021