Kesenjangan Pembangunan Antara Jawa dan Luar Jawa

Meskipun Bangsa Indonesia telah 75 tahun merdeka, pemerataan pembangunan dan ekonomi masih menjadi problem yang tidak kunjung selesai. Dengan kata lain, persoalan ketimpangan masih terjadi hingga saat ini. Struktur Indonesia secara spasial masih menghadapi ketimpangan ekonomi antar wilayah. Ketimpangan ini ditemukan dari mulai struktur terkecil wilayah seperti Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, antara pulau bahkan antar kawasan barat dan timur Indonesia.

Berdasarkan data BPS pada triwulan IV-2020 terhadap pertumbuhan dan konDarin Atiandinaduk Domestik Regional Bruto (PDRB) berdasarkan wilayah, Pulau Jawa memberikan lebih dari separuh (58,75%) terhadap permian Indonesia. Jika ditambah dengan Pulau Sumatera (21,36) maka kawasan Barat dengan dua pulau saja (Jawa dan Sumatera) berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia sebesar 80,11%. Sisanya kurang dari 20 persen di Kalimantan (7,94%), Bali dan Nusa Tenggara (2,94%), Sulawesi (6,66%) serta Maluku dan Papua sebesar 2,35%.

Chart 1. PDRB Triwulan IV -2020


Disparitas kontribusi perekonomian nasional melalui PDRB antara Pulau Jawa dan Luar Jawa ini terjadi bukan secara instan. Setidaknya ini bisa dilihat dari dua pendekatan: Pertama, dari aspek sosiologis. Jawa tidak hanya sebagai pusat pemerintahan namun dari sisi populasi juga merupakan pulau dengan jumlah penduduk terbanyak. Data Sensus Penduduk BPS 2020 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Dengan luas sekitar 7 persen dari total wilayah Indonesia, Pulau Jawa dihuni oleh 151,6 juta jiwa atau 56,10 persen penduduk Indonesia, diikuti Sumatera (21,68 persen), Sulawesi (7,36 persen), Kalimantan (6,15 persen), Bali-Nusa Tenggara (5,54 persen), dan Maluku-Papua (3,17 persen).
Kedua, aspek politis. Tidak bisa dipungkiri, kebijakan politik sentralistis khususnya bidang pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah ‘Jawa sentris’ terutama pada era orde baru. Pembangunan infrastruktur strategis saat itu lebih banyak difokuskan di Pulau Jawa. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu semangat lahirnya otonomi daerah di era reformasi sebagai bentuk tuntutan pemerataan pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan daerah.

Dalam sebuah diskusi, Mantan Menteri Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar, menjelaskan bahwa masih ada kesenjangan pertumbuhan ekonomi antara Jawa dan Luar Jawa. Upaya pemerintah yang telah menyusun program pembangunan ekonomi belum berjalan maksimal karena sejauh ini program tersebut bertumpu di wilayah Pulau Jawa. Data yang ia sebutkan, kontribusi pertumbuhkan ekonomi di Pulau Jawa sebesar 58 persen, sedangkan di luar Jawa berada di kisaran 2 hingga 7,4 persen (Republika.co.id, 31/03/17).

Persepsi publik dalam tren hasil survei yang dilakukan Populi Center juga menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat menilai bahwa masih dijumpai ketimpangan ekonomi antara Jawa dan Luar Jawa.

Tabel 1. Data Survei Ketimpangan

Dari data di atas, Populi Center membagi penilaian menjadi 3 (tiga) jawaban, yakni Semakin timpang, Masih ada ketimpangan, Tidak ada ketimpangan. Jika dilakukan penjumlahan antara Semakin timpang dan Masih ada ketimpangan–karena kedua jawaban tersebut menunjukkan ada penilaian ketimpangan–, maka pada Survei bulan Februari 2018 sebesar 63,1 persen masyarakat menilai masih ada ketimpangan antara Jawa dan Luar Jawa. Selanjutnya ada penurunan penilaian ketimpangan pada Bulan Maret 2018 menjadi sebesar 54,3 persen, akan tetapi penilaian kembali naik pada Bulan April 2018 dengan 61,8 persen dan di Bulan Juni 2018 sebesar 68,1 persen. Setelah mengalami peningkatan, persepsi publik terhadap ketimpangan kondisi ekonomi Jawa dan Luar Jawa menurun pada tiga survei selanjutnya yang dilakukan oleh Populi Center.

Pada Bulan Juli 2018 turun menjadi 66,0 persen, kemudian di Bulan Agustus 2018 menjadi 64,6 persen, dan selanjutnya turun kembali menjadi 57,7 persen pada Bulan September 2018. Setelah mengalami penurunan pada tiga survei sebelumnya, persepsi publik atas ketimpangan Jawa dan Luar Jawa kembali meningkat pada Bulan November 2018 dengan 60,7 persen, dan pada Bulan Desember sebesar 64,5 persen. Pada survei terakhir yang dilakukan Populi Center di Bulan Januari 2019, sebesar 62,7 persen masyarakat menilai masih adanya ketimpangan kondisi ekonomi antara Jawa dan Luar Jawa. Hasil survei yang dilakukan Populi Center menunjukkan bahwa di atas 50 persen masyarakat menilai Jawa dan Luar Jawa masih berada dalam kondisi ketimpangan ekonomi.

Grafik 1. Ketimpangan Jawa-Luar Jawa

Pada data lain, Badan Pusat Statistik (BPS) secara rutin mengeluarkan data Gini Ratio, yakni untuk mengukur terkait ketidakmerataan atau ketimpangan. Angka yang digunakan dalam Gini Ratio berkisar antara 0 hingga 1. Angka 0 menunjukkan pemerataan sempurn dan angka 1 menunjukkan ketidakmerataan atau ketimpangan yang sempurna, artinya semakin besar angka yang dihasilkan maka hasilnya menunjukkan semakin ada ketimpangan.

Tabel. 2GINI Ratio 2017-2020

Tabel 2. Gini Ratio 2017-2020

Dalam data series yang ditampilkan BPS, setidaknya rataan Gini Ratio di Indonesia berkisar antara 0,380 hingga 0,393. Dari rataan angka tersebut, BPS membagi Gini Ratio dari 34 (tiga puluh empat) provinsi. Data menunjukkan bahwa GINI Ratio Indonesia pada semester 2 (September) tahun 2020 sebesar 0,385. Pada periode dan tahun yang sama yakni semester 2 (September) tahun 2020, lima provinsi teratas yang memiliki GINI Ratio tertinggi adalah D.I. Yogyakarta (0,437), Gorontalo (0,406), DKI Jakarta (0,400), Jawa Barat (0,398), dan Papua (0,395). Dari data rataan GINI Ratio di Pulau Jawa yang terbagi dari 6 (enam) provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, jawa Timur, dan Banten, maka GINI Ratio di Pulau Jawa sebesar 0,387. Sementara itu, rataan GINI Ratio di luar Pulau Jawa sebesar 0,339. Data GINI ratio pada semester 2 tahun 2020 menunjukkan bahwa GINI Ratio Pulau Jawa lebih tinggi jika dibandingkan dengan di luar Pulau Jawa.

Menurut Suhariyanto (Kepala BPS), salah satu penyebab naiknya GINI Ratio di Indonesia disebabkan oleh meningkatnya angka penduduk miskin sebagai dampak dari pandemi COVID-19. Dalam catatannya, jumlah penduduk miskin per September 2020 sebesar 27,55 juta orang (10,19 persen). Angka tersebut dari jumlah penduduk pada September 2019 yang sebesar 24,79 juta orang (9,22 persen) (Antaranews, 15/02/21).

Daftar Pustaka

Antara News, 15 Februari 2021, BPS: Gini ratio Indonesia naik jadi 0,385, naik di kota maupun desa, https://www.antaranews.com/berita/2000465/bps-gini-ratio-indonesia-naik-jadi-0385-naik-di-kota-maupun-desa

BPS, 5 Februari 2021, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan IV-2020, https://www.bps.go.id/website/images/Pertumbuhan-Ekonomi-Indonesia-Triwulan-IV-2020-ind.jpg

Populi Center, Januari 2019, Survei Jajak Pendapat Nasional Partisipasi Dan Preferensi Pemilih Jelang Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019, Jakarta

Republika, 31 Maret 2017, Pembangunan Ekonomi Dinilai Masih Berpusat di Jawa, https://republika.co.id/berita/nasional/umum/17/03/31/ono4yw368-pembangunan-ekonomi-dinilai-masih-berpusat-di-jawa

Bagikan:

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Post

Postingan Terkait

id_IDIndonesian