Kabar kocok ulang kabinet berembus kemana-mana. Pemicunya ialah peleburan Kemenristekdikti dengan Kemendikbud, serta hadirnya Kementerian Investasi dan Pencipatan Lapangan Kerja. Wacana yang berkembang tidak sekedar menyebutkan pengisian pos kementerian baru, melainkan juga meluas ke perombakan kabinet, hingga harapan mewujudkan zaken kabinet di era pemerintahan Jokowi. Pertanyaannya, bisakah wacana pembentukan kabinet ahli tersebut terwujud? Bagaimana bisa memastikan Jokowi tidak tersandera kepentingan politik di dalam koalisi pemerintahan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Populi Center menggelar diskusi Forum Populi dengan tema ‘Zaken Kabinet, Mungkinkah?’ via Zoom pada Kamis (22/04/2021). Hadir tiga orang narasumber dalam diskusi tersebut yakni Berly Martawardaya (Peneliti Senior, INDEF), Wasisto Raharjo Jati (Peneliti, P2P LIPI), dan Rafif Pamenang Imawan (Peneliti, Populi Center). Diskusi dipandu oleh Dimas Ramadhan (Peneliti, Populi Center).
Zaken kabinet adalah kabinet yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli dan tanpa mengutamakan representasi dari suatu partai politik tertentu. Agenda utama dari zaken kabinet adalah pemerintahan yang berdasarkan meritokrasi, sehingga menteri tidak lagi memiliki ikatan dengan partai politik dan fokus untuk bekerja di pemerintahan.
Wasisto Raharjo Jati, Peneliti P2P LIPI, menjelaskan bahwa Indonesia pernah mengalami zaken kabinet di era Kabinet Djuanda (1957-1959). Kabinet Djuanda memiliki komposisi menteri yang lebih banyak terdiri dari kalangan profesional-non partai, dibandingkan perwakilan partai. Setelah kabinet Djuanda berakhir, tren penunjukan menteri dari kalangan profesional pun mengalami penurunan di era Soeharto/Orde Baru.
Tren Zaken baru kembali mengalami peningkatan di masa reformasi dan mencapai puncaknya di era Jokowi. Meski begitu, era Jokowi masih belum bisa sepenuhnya disebut zaken kabinet, sebab ia masih berupaya untuk mengakomodasi kepentingan parpol dan profesional. “Kita masih berbentuk accomodative cabinet, kabinet yang masih berupaya mengakomodasi kepentingan politik dan jalan profesional.”
Rafif Pamenang Imawan, Peneliti Populi Center, menilai keinginan akan hadirnya menteri dari kalangan ahli ini muncul karena kekecewaan masyarakat akan kinerja-kinerja menteri berlatar belakang partai politik. Namun, menurut Rafif, zaken kabinet akan sulit terwujud karena banyaknya jumlah kelompok kepentingan yang ada di Indonesia. Selain itu, Rafif juga menilai tidak semua kalangan profesional memiliki kemampuan untuk mengontrol birokrasi-pemerintahan. “Intelektual di internal parpol bisa menurunkan wacana menteri dari partai atau luar partai, partai politik punya fungsi intelektual, munculkan kader-kader profesional yang berketerampilan, sehingga ketika presiden membutuhkan masukan, mereka akan berlomba memunculkan kader yang mengedepankan keterampilan ketimbang hubungan politik di antara keduanya.”
Sementara itu, Berly Martawardaya (Peneliti Senior, INDEF) menanggapi keputusan pemerintah untuk membentuk kementerian baru yakni Kementerian Investasi dan Penciptaan Lapangan kerja. Menurutnya, pemerintah bertujuan untuk menciptakan iklim kemudahan investasi melalui kementerian baru tersebut. “Kementerian bisa membuat peraturan, kebijakan, yang diikuti kementerian lain dengan harapan perubahan status itu bisa mempermudah investasi dan proses-proses perizinan di Indonesia.”
Terlepas dari posisi menteri harus diisi oleh partai atau luar partai, menurut Berly, baik anggota partai atau kalangan profesional harus sama-sama memiliki komitmen untuk menjaga independensi dengan memutus hubungan atau melepaskan jabatan di partai/tempat berkarir. Tujuannya, adalah untuk menjaga independensi dan integritas sebagai menteri.
@ Populi Center 2021