Ia lahir pada tgl. 6 Juni 1901 di Surbaya, Jawa Timur, dan diberi nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo adalah seorang guru sekolah dasar, yang waktu itu merupakan bagian dari aristokrat Jawa. Dari pihak Ibu, Ida Ayu Nyoman Rai, yang berasal dari Buleleng, Bali, Soekarno mewarisi darah Brahmana. Ayah dan ibunya bertemu ketika Soekemi bertugas mengajar di Bali, dan kemudian meminta dipindah ke Jawa sebelum Soekarno lahir. Mengikuti kebiasaan orang Jawa, nama Kusno Sosrodihardjo kemudian diganti menjadi Soekarno karena waktu kecil ia sakit-sakitan.
Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di Mojokerto, Sukarno melanjutkan sekolah di Burgerschool di Surbaya. Di kota inilah ia bertemu dengan Tjokroaminoto, seorang nasionalis yang, bersama dengan K.H. Samanhudi, mendirikan Sarekat Dagang Islam pada 1911 yang kemudian berganti nama menjadi Sarekat Islam (1912). Pada 1920, Sukarno menikahi putri Tjokoroaminoto, Siti Oetari.
Tahun 1921, ia melanjutkan studi di Technische Hoogeschool de Bandoeng jurusan Teknik Sipil dengan kekhususan pada Arsitektur. Di kota ini pula ia menikahi Inggit Ganarsih setelah bercerai dari suaminya, H. Sanoesi. Setelah lulus pada 1926, Sukarno dan teman kulihanya, Anwari, mendirikan firma arsitekur Sukarno & Anwari di Bandung, yang menyediakan jasa perencanaan dan konstruksi. Beberapa di antara karya arsitektur Sukarno adalah renovasi bangunan Preanger Hotel (1929), ketika ia menjadi asisten dari arsitek termashur Belanda, rosper Wolff Schoemaker. Sukarno juga merancang beberapa rumah tinggal pribadi di lokasi yang sekarang menjadi Jalan Gatot Subroto, Jalan Palasari, dan Jalan Dewi Sartika di Bandung.
Pada 4 Juli 1927, bersama dengan teman-temannya dari Algemeene Studieclub, Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), dan terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Melalui PNI inilah ia menggemakan semangat kemerdekaan Indonesia, dan penentangan kepada imperialisme dan kapitalisme yang dianggapnya memperburuk kehidupan rakyat Indonesia. Sebagai pengagum Bapak Pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Ataturk, Sukarno juga menganut ide sekularisme. Di samping itu, melalui PNI pula Sukarno mulai mengkampanyekan gagasan persatuan dan solidaritas di antara berbagai etnis di wilayah Hindia Belanda. Setelah Sarekat Islam bubar dan kegagalan pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada 1926, PNI mulai menarik perhatian dan minat rakyat Hindia Belanda untuk bergabung bersama memperjuangkan kemerdekaan.
Aktivitas, pidato dan rapat-rapat yang digelar Sukarno dan PNI selalu dimata-matai oleh Dinas Polisi Rahasia Belanda (Politieke Inlichtingen Dienst/PID), bahkan sering dibubarkan. Pada 29 Desember 1929, bersama beberapa pimpinan PNI yang lain, Sukarno ditangkap oleh otoritas kolonial Belanda sewaktu ia sedang berkunjung ke Yogyakarta. Dalam sidang di pengadilan Bandung Landraad, yang berlangsung dari bulan Agustus sampai Desember 1930, Sukarno menulis pledoi yang dengan keras mengkritik kolonialisme dan imperialisme. Judul pledoinya menjadi sangat terkenal sampai saat ini, Indonesia Menggoegat .
Pada 22 Desember 1930 ia dijatuhi hukuman empat tahun dan dijebloskan ke dalam Penjara Sukamiskin, Bandung. Tapi karena mendapat tekanan dari elemen-elemen liberal baik di Belanda maupun di Hindia Belanda, akibat pidato pledoi yang ditulisnya, Sukarno kemudian dibebaskan pada 31 Desember 1931 atau tiga tahun sebelum masa hukumannya habis. Namanya semakin luas di kenal di tengah masyarakat Hindia Belanda.
Selama Sukarno dipenjara di Sukamiskin, PNI dibubarkan oleh pemerintah kolonial. Bekas-bekas anggotanya kemudian membentuk dua partai politik berbeda: Partai Indonesia (Partindo) yang dipimpin oleh Mr. Sartono, dan Partai Pendidikan Nasional Indonesia-Baru (PNI Baru) yang dipimpin oleh Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir yang baru kembali dari pendidikan di Belanda. Partindo mengutamakan agitasi massa, sedangkan PNI Baru memilih strategi jangka panjang pendidikan modern bagi rakyat Indonesia. Sukarno mencoba merekonsiliasi dua kelompok tersebut untuk membentuk front nasionalis, dan ia kemudian memilih menjadi Ketua Partindo pada 28 Juli 1932. Sukarno menganggap strategi Hatta mengabaikan kenyataan bahwa politik hanya bisa benar-benar menghasilkan perubahan melalui pembentukan dan penggunaan kekuatan (machtsvorming en machtsaanwending).
Pada 1934 Sukarno diasingkan ke tempat yang tidak memungkinkannya melakukan pidato-pidato agitasi massa. Kali ini Gubernur Jenderal Jonkheer Bonifacius Cornelis de Jonge tanpa pengadilan membuang Sukarno, ditemani keluarganya termasuk Inggit Ganarsih, ke Ende di Pulau Flores. Dengan ruang gerak yang dipersempit oleh kekuasaan kolonial, di pulau ini pula Sukarno banyak menghabiskan waktunya untuk merenungkan gagasan-gagasan besar dan penting, yang kelak akan membantunya ketika ia merumuskan dasar negara bagi Indonesia merdeka.
Karena terjadi wabah malaria di Flores, pengasingan Sukarno dipindahkan pemerintah kolonial ke Bengkulu di Pulau Sumatra pada Februari 1938. Di kota ini pula ia berkenalan dengan Fatmawati, seorang gadis putri dari Ketua Cabang Muhammadiyah, Hasan Din. Kelak pada 1943, setelah menceraikan Inggit Ganarsih, Soekarno kemudian mempersunting Fatmawati sebagai istrinya. Salah satu alasan yang disampaikan Sukarno untuk menikah lagi adalah karena Inggit Ganarsih belum bisa memberinya keturunan setelah dua puluh tahun perkawinan mereka. Sukarno masih dalam status pengasingan ketika tentara Jepang mulai melakukan pendudukan di wilayah Hindia Belanda pada 1942.
Bulan Juli 1942 Sukarno dikembalikan ke Jakarta oleh tentara Jepang, setelah sebelumnya, pada Februari 1942, ia diangkut dengan truk dari Bengkulu ke Padang, Sumatra Barat, oleh pemerintah kolonial dengan maksud akan dikirim ke Australia. Rencana ini batal karena Belanda harus menyelamatkan diri mereka sendiri ketika bala tentara Dai Nippon mulai merangsak masuk ke Padang. Sekembali ke Jakarta ia bertemu dengan tokoh-tokoh nasionalis lain yang juga baru saja dilepaskan oleh Jepang.
Bulan Maret 1943 pemerintah pendudukan Jepang membentuk POETRA (Poesat Tenaga Rakyat) di bawah pimpinan Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansjoer. Tujuannya adalah untuk menggalang dukungan rakyat dalam merekrut tenaga-tenaga romusha dan menggelorakan semangat pro-Jepang dan anti-Barat di kalangan rakyat Hindia Belanda. Agitasi Soekarno yang termashur berbunyi, "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis', untuk membangkitkan perlawanan terhadap kekuatan tentara sekutu. Soekarno meyakini bahwa kemerdekaan Indonesia bisa diraih dengan memanfaatkan dukungan dari tentara Jepang.
17 Agutus 1945, didampingi Mohammad Hatta, dalam kondisi kesehatan yang sedang menurun, Soekarno membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di teras depan rumahnya di Jl. Pegangsaan Timur, Jakarta. Sejak itu Hindia Belanda menjadi sebuah negara merdeka dengan nama Indonesia.
Belum genap dua tahun Indonesia merdeka, Belanda melancarkan serangan, yang kemudian disebut dengan Agresi Militer I, ke Pulau Jawa dan Sumatera. Pemicunya, tidak adanya kesepahaman antara Belanda dan Indonesia, walaupun Perjanjian Linggarjati sudah disepakati keduanya. Agresi Belanda itu baru berhenti, sekalipun hanya untuk sementara, setelah dunia internasional turun tangan mengatasinya.
Pada 1948, Belanda kembali melakukan agresi militer di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Yogyakarta, Ibu Kota Indonesia. Persetujuan Renville, perundingan yang dilaksanakan oleh dunia internasional terhadap Belanda dan Indonesia pasca Agresi Militer I, ternyata tidak bertahan lama. Belanda dan Indonesia menganggap satu sama lain telah melanggar isi persetujuan tersebut. Kontak senjata baru berakhir setelah disepakatinya Perjanjian Roem-Royen pada 1949. Di tahun 1948 pula, dua tahun setelah pemberontakan PKI di Cirebon, pemberontakan PKI meletus di Madiun. Tidak butuh waktu lama, Sukarno-Hatta berhasil menumpas kekuatan PKI tersebut.
Sumber foto: Kompas.com
Sebagian tentara Angkatan Darat mengarahkan moncong meriam mereka ke Istana pada 17 Oktober 1952, dan menuntut Sukarno membubarkan parlemen dan menggantinya dengan parlemen baru serta segera melaksanakan pemilihan umum. Sukarno hanya setuju untuk merealisasikan pemilihan umum, akan tetapi menolak usulan untuk membubarkan parlemen.
Sumber foto: Kompas.com
Pemilihan umum pertama dalam sejarah Indonesia diselenggarakan pada 1955.Kala itu, tidak ada partai politik yang bisa memenangkan seperempat total suara. Partai Nasional Indonesia (PNI), misalnya, memperoleh 22,3 persen, diikuti dengan Masyumi dengan 20,9 persen, Nahdlatul Ulama dengan 18,4 persen, dan PKI dengan 18 persen. Selain untuk memilih anggota DPR yang berasal dari berbagai partai politik, pemilu juga digelar untuk memilih anggota Konstituante yang bertugas merumuskan Konstitusi dalam bentuk Undang-Undang Dasar, untuk menggantikan UUD Sementara 1950.
Di tahun yang sama, Sukarno bersama Ali Sastroamidjojo mencetuskan Konferensi Asia-Afrika di Bandung untuk mempererat solidaritas dua benua itu dalam melawan penjajahan. Konferensi yang dihadiri oleh pemimpin dan delegasi dari 29 negara Asia dan Afrika tersebut akhirnya menghasilkan Dasasila Bandung. Di dalamnya, terdapat 10 poin, dari penghormatan hak asasi manusia hingga penghormatan hukum dan kewajiban internasional. .
Sumber foto: Kompas.com
Sumber foto: Kompas.com
Pada 21 Februari 1957, Sukarno membubarkan sistem Demokrasi Parlementer, dan menggantinya dengan Demokrasi Terpimpin. Implikasinya, pemberontakan pecah di daerah. Di tengah situasi itu, Sukarno kemudian memberlakukan UU Keadaan Darurat Perang. Apa yang dilakukan Sukarno ternyata tidak memuaskan seluruh kalangan. Walaupun gagal, percobaan pembunuhan terhadap Sukarno beberapa kali terjadi. Semua pelaku percobaan pembunuhan tersebut akhirnya dihukum mati.
Sumber foto: Kompas.com
Anggota Konstituante, hasil pemilihan umum 1955, memiliki perbedaan pandangan yang tajam dalam menentukan dasar negara, apakah berdasarkan agama atau bukan. Tidaklah mengherankan jika Konstituante tidak mampu menetapkan konstitusi baru untuk menggantikan Undang-undang Dasar Sementara 1950. Karena itu, pada 5 Juli 1959 Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya membubarkan Konstituante. Di tahun yang sama, tepatnya pada 17 Agustus 1959, Sukarno memperkenalkan Manifesto Politik yang dikukuhkan MPRS menjadi GBHN.
Sumber foto: Tirto.id
Pada 30 September 1960, di depan Majelis Umum PBB, Presiden Sukarno mengecam PBB yang tidak bisa bersifat netral dalam menjalankan fungsinya. Pada kesempatan tersebut, ia menguraikan Pancasila, dan menganjurkan agar Pancasila dicantumkan ke dalam Piagam PBB. Di samping itu, ia juga menyinggung persoalan Irian Barat yang sedang berupaya direbut dari Belanda.
Sumberfoto: rri.co.id
Sukarno menyelenggarakan pesta olahraga untuk negara-negara non-blok bernama The Games of the New Emerging Forces (Ganefo) guna menandingi Olimpiade yang digelar negara-negara Barat, dan menjadi wadah pertukaran budaya negara-negara berkembang yang sudah menjalin hubungan sejak Konferensi Asia-Afrika. Pada 10–22 November 1963 Ganefo diselenggarakan di Jakarta. Terdapat 51 negara yang terlibat dalam pesta olahraga tersebut.
Sumber foto: Kompas Pedia
Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia meletup pada 1960-an. Pertikaian kedua negara bermula dari penolakan Sukarno terhadap kemerdekaan Malaysia. Bagi Sukarno, kemerdekaan yang diperoleh Malaysia bukan saja hanya pemberian Inggris, melainkan juga siasat Inggris guna mengacaukan Asia Tenggara. Karena tidak terima, Malaysia memutus hubungan diplomatik dengan Indonesia. Sukarno yang sangat marah kepada Malaysia kemudian menyerukan Ganyang Melaysia. Setahun berselang, karena Malaysia terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia memutuskan keluar dari PBB, dan akhirnya membentuk poros Jakarta-Peking.
Sumber foto:Wikimedia.org
PKI mulai melancarkan provokasi dengan tuntutan untuk mempersenjatai butuh dan tani pada awal 1965. Walaupun Sukarno belum menanggapi, akan tetapi Angkatan Darat di bawah Ahmad Yani menolak dengan tegas. Tidak lama, "Dokumen Gilchrist" beredar, dan menyebutkan bahwa terdapat jenderal di tubuh angkatan darat yang hendak mengambil kekuasaan dari Sukarno. Pada 30 September 1965, tujuh jendral Angkatan Darat diculik dan kemudian dibunuh. PKI, yang memiliki hubungan dekat dengan Sukarno, dituding sebagai biang keladi peristiwa tersebut.
Sumber foto: bbc.com
Pada Maret 1966, Presiden Sukarno menyerahkan kekuasaan kepada Suharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966. Surat perintah tersebut menjadi pintu masuk Suharto untuk menjadi Presiden Indonesia. Meskipun memunculkan dualisme di pemerintahan, pelimpahan kekuasaan itu telah mendorong MPR melalui Sidang Istimewa untuk mengangkat Suharto menjadi Pejabat Presiden pada Maret 1967. Setelah satu tahun menjabat, Suharto akhirnya dilantik MPR menjadi presiden penuh.
Sumber foto: bbc.com
Setelah dijatuhkan dari kekuasaan, Sukarno menjadi tahanan rumah. Secara bersamaan, kondisi kesehatannya juga semakin menurun. Pada 21 Juni 1970, Sukarno akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Dalam wasiatnya, Sukarno pernah meminta agar jasadnya dimakamkan di Bogor. Namun, Suharto enggan melaksanakan wasiat itu, dan lebih memilih untuk menguburkan Sukarno di Blitar, Jawa Timur.
Sumber foto: historia.id