Joko Widodo, atau sering kali dipanggil Jokowi, lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 21 Juni 1961 dari pasangan Widjiatno Notomihardjo dan Sujiatmi. Ayahnya bekerja sebagai penjual kayu dan bambu. Bersama dengan ibunya, ayahnya kemudian menekuni bisnis kayu, seperti membuat perabot dan mebel. Semasa kecil, anak pertama dari empat bersaudara tersebut kerap membantu orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah.
Jokowi menempuh jenjang pendidikan SD hingga SMA di Surakarta. Lalu, ia melanjutkan studi di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Selama kuliah, ia aktif di kegiatan pencinta alam. Setelah lulus pada 1985, Jokowi bekerja di BUMN PT Kertas Kraft Aceh. Ia ditugaskan di Hutan Pinus Merkusii, Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah. Karena tidak betah, terlebih istrinya saat itu tengah mengandung selama tujuh bulan, ia pun mengundurkan diri. Ia kemudian bekerja di CV Roda Jati, usaha kayu pamannya bernama Miyono.
Jokowi menikahi Iriana, gadis yang dipacarinya sejak kuliah, pada 1986. Pertemuan keduanya terjadi ketika Iriana sering bermain dengan adik Jokowi, Iit Sriyanti. Kala itu, Jokowi sedang berkuliah di UGM, dan Iriana tengah menempuh pendidikan SMA. Saat mereka menikah, Iriana merupakan mahasiswi Universitas Muhammadiyah di Surakarta. Kelak, pasangan tersebut dikarunia tiga buah hati.
Pada 1988, Jokowi memutuskan untuk berhenti bekerja di CV Roda Jati, usaha kayu milik pamannya. Meskipun sempat dilarang oleh pamannya, akan tetapi kuputusan Jokowi sudah bulat. Setelah itu, ia membuka usaha sendiri dengan nama CV Rakabu, yang diambil dari nama anak pertamanya. Bisnisnya ternyata tidaklah berjalan mulus. Ia tercatat pernah tertipu ketika berbisnis dengan orang, dan merugi Rp. 60 juta pada 1990-an.
Tiga tahun jatuh bangun dan memenuhi permintaan domestik, usaha Jokowi kemudian berkembang di pasar internasional. Pembeli internasional pertama datang langsung ke Solo untuk melihat hasil produk usahanya, dan kemudian memesan untuk dikirim ke Singapura dan Taiwan. Setelah itu, produknya semakin laris di hampir seluruh benua, bahkan ikut pameran di mana-mana. Seiring dengan semakin berkembang usahanya, ia pun berkeliling Eropa, dan menyaksikan pengaturan kota di sana. Kelak, pengalaman tersebut menjadi inspirasi baginya untuk membangun Surakarta.
Medio 1994-1996 ekspor mebel mengalami ledakan. Implikasinya, usaha Jokowi juga mengalami kejayaan, termasuk membangun relasi bisnis di dalam dan luar negeri. Kelak, usahanya yang semula hanya satu pabrik berkembang menjadi delapan pabrik, dan dari tiga karyawan menjadi 1.200 karyawan. Ketika terpilih sebagai Wali Kota Surakarta, ia menyerahkan usahanya kepada keluarganya.
Pada 2005, Jokowi diusung oleh PDI-P dan PKB untuk berlaga dalam Pilkada Surakarta. Setelah berhasil keluar sebagai pemenang, ia melakukan berbagai inovasi dalam mengubah wajah kota itu, dari memperkenalkan bus Batik Solo Trans hingga merelokasi pedagang kaki lima secara manusiawi. Berkat beragam terobosannya, ia pun terpilih kembali menjadi Wali Kota Surakarta secara meyakinkan pada 2010, dengan suara melebihi 90%.
Jokowi mendapat perhatian media massa pada 2011. Pasalnya, ia terlibat konflik dengan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, perihal bekas Pabrik Es Saripetojo di Kawasan Purwosari, Kota Solo. Rencananya, lahan pabrik itu dijadikan pusat perbelanjaan (mall). Karena lokasi tersebut merupakan cagar budaya dan harus dilestarikan, Jokowi pun menolaknya. Sekalipun mendapat komentar negatif dari Bibit Waluyo, Jokowi tidak terlampau memikirkannya, dan tetap teguh pada sikapnya.
Belum genap dua tahun menjabat Wali Kota Surakarta pada periode kedua, Jokowi dicalonkan oleh PDI-P untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta 2012, berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama yang saat itu merupakan kader Gerindra. Kala itu, Pilgub DKI Jakarta diikuti oleh beberapa nama tokoh dan politisi yang kiprahnya lebih dulu dikenal oleh publik, seperti Fauzi Bowo, Hidayat Nur Wahid, Alex Noordin, Faisal Basri, dan Hendardji Soepandji. Duet Jokowi-Ahok akhirnya keluar sebagai pemenang Pilgub DKI Jakarta.
Publik membincangkan kemungkinan Jokowi dalam meramaikan bursa calon presiden. Sekalipun peluangnya untuk menang dalam Pilpres 2014 diperkirakan cukup besar, akan tetapi Jokowi sempat terganjal kendaraan politik. Pasalnya, Ketua Umum PDI-P Megawati saat itu diperkirakan akan maju dalam Pilpres. Baru pada 14 Maret 2014, Megawati menunjuk Jokowi sebagai calon presiden dari partainya, dan Jokowi pun menyatakan kesediaannya. Berpasangan dengan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Indonesia, Jokowi berhasil mengalahkan Prabowo Subianto, yang berduet dengan Hatta Rajasa.
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) secara resmi mencabut status badan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pembubaran HTI tersebut, antara lain, tidak lepas dari indikasi kuat ormas tersebut bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana diatur UU No. 17 Tahun 2003 tentang Organisasi Masyarakat.
Pada Pilpres 2019, Jokowi kembali mencalonkan diri sebagai presiden untuk masa bakti hingga 2024. Kali ini, ia menggandeng KH. Ma'ruf Amin, seorang ulama senior dari kalangan Nahdliyin. Ia kembali bersaing dengan Prabowo Subianto yang menggandeng Sandiaga Uno, yang dikenal publik sebagai seorang pengusaha. Pada pemilu tersebut, Jokowi berhasil mempertahankan jabatannya sebagai presiden.
Di periode kedua kepemimpinannya, Jokowi banyak disorot karena pencalonan anak dan menantunya dalam Pilkada Surakarta dan Pilkada Medan, yang dianggap sebagai upaya menciptakan dinasti politik baru di Indonesia. Di sisi lain, kini Jokowi-Ma'ruf sedang diuji dengan pandemi Covid-19.