Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lahir pada 9 September 1949 di Pacitan, Jawa Timur, dan menghabiskan sebagian besar masa kecil dan remajanya di daerah tersebut. Ayahnya, R. Soekotjo, merupakan pensiunan tentara dengan pangkat Letnan Satu. Sementara itu, Sitti Habibah adalah putri salah seorang pendiri Pondok Pesantren Salafiyah, Tremas. Semasa duduk di kelas tiga Sekolah Rakyat, desanya dijadikan tempat latihan perang. Saat itulah, kekaguman SBY timbul terhadap tentara. Pada kelas lima, tekadnya menjadi seorang tentara semakin kuat ketika keluarganya mengajaknya jalan-jalan ke Akademisi Militer Nasional (AMN), Megalang, Jawa Tengah.
Selepas lulus SMA pada 1968, SBY langsung ingin menjadi tentara. Sayangnya, ia terlambat mendaftar disebabkan kesalahan informasi pendaftaran. Karena itu, ia mengikuti pendidikan di Fakultas Teknik Mesin Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS), walaupun hanya sampai oritentasi kampus. Tidak lama, ia masuk ke Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PG-SLP) di Malang, Jawa Timur. Selama di Malang, ia mempersiapkan diri untuk mengikuti penyaringan Akabri tingkat daerah di Jawa Timur, dan tingkat pusat di Bandung. Menjelang akhir 1969, setelah melewati serangkaian tes di Malang dan di Bandung, SBY kemudian dinyatakan lulus, dan menjalani pendidikan di Magelang mulai 1970.
Pada 1973, SBY menyelesaikan pendidikan Akademi Militer, dan dinobatkan sebagai lulusan terbaik dari 987 taruna lulusan seangkatan, dan memperoleh Lencana Tri Sakti Wiratama, penghargaan untuk prestasi tertinggi dalam hal mental, fisik dan intelektual. Kariernya dimulai dengan memangku jabatan Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (Komandan Peleton III di Kompi Senapan A, Batalion Infanteri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Kostrad) pada 1974-1976, dengan membawahi 30 prajurit. Dengan kecakapannya berbahasa Inggris, ia mendapat kesempatan mengikuti pelatihan lintas udara (airborne) dan pendidikan pasukan komando (ranger) di Pusat Pendidikan Angkatan Darat Amerika Serikat, Fort Benning, Georgia, Amerika Serikat pada 1976.
Setelah mengikuti pendidikan Airborne dan Ranger di Amerika Serikat pada 1976, SBY meminang Kristiani Herawati (Ani), putri Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, sebagai istrinya. Pernikahan mereka dikaruniai dua putra, yakni Agus Harimurti Yudhoyono dan Eddie Baskoro Yudhoyono. Tidak lama, ia diberi jabatan Komandan Peleton II Kompi A Batalion Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad) pada 1976-1977 untuk bertempur di Timor Timur.
SBY mendapat kesempatan untuk sekolah di Amerika Serikat (AS) saat bertugas di Mabes TNI-AD. Dari 1982-1983, ia mengikuti Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, sekaligus praktik kerja on the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983. Selanjutnya, ia mengikuti Jungle Warfare School, Panama, 1983. Tidak lama setelah kembali ke Indonesia, SBY ditugaskan untuk mempelajari penggunaan senjata anti-tank di medan yang diselimuti salju di Belgia.
Pada 1989, SBY menjadi lulusan terbaik Sekolah Staf dan Komando TNI-AD (Seskoad) di Bandung, dan kemudian dipercaya menjadi dosen Seskoad (1989-1992) serta ditempatkan di Dinas Penerangan TNI AD (Dispenad). Setelah menempuh pendidikan MA dalam Ilmu Manajemen di Universitas Webster pada 1990, SBY ditarik ke Mabes ABRI pada 1993 untuk menjadi Koordinator Staf Pribadi (Korspri) Pangab Jenderal Edi Sudrajat.
SBY ditugaskan untuk menjadi perwira PBB di Bosnia Herzegovina pada 1995. Selepas kembali ke Indonesia, dan kemudian menjabat Kasdam Jaya, SBY terseret ke dalam kasus 27 Juli 1996. Di kemudian hari, SBY mengaku tidak tahu menahu soal itu. Pasalnya, menjelang 27 Juli, semua operasi penertiban sudah diambilalih Pangdam Jaya, Mayjen Sutiyoso. Peristiwa 27 Juli itu pada akhirnya tidak menghentikan karier SBY.
Pada 1999, SBY menerima tawaran Presiden Gus Dur untuk mengisi pos Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben). Karena itu, ia harus pensiun dini dari dinas militer dengan pangkat terakhir letnan jenderal. Sewaktu pensiun, pangkat terakhirnya adalah gelar Jenderal Kehormatan, yang diberikan Presiden Gus Dur. Pada 2000, jabatan SBY sebagai pembantu presiden diubah dari Mentamben menjadi Menkopolsoskam.
Ketika Presiden Gus Dur hendak membubarkan Parlemen dan memberlakukan keadaan darurat, SBY merupakan salah satu orang yang memintanya untuk mengurungkan niat itu. Pada 2001, Gus Dur juga mengeluarkan Maklumat Presiden yang memerintahkan diambilnya tindakah dan langkah khusus dalam rangka menciptakan ketertiban, keamanan, dan hukum secepat-cepatnya. Namun, SBY tidak melaksanakan Maklumat Presiden itu, dan menyebabkannya dicopot dari jabatannya sebagai menteri. Sekalipun sempat ditawari menjadi Menhub dan Mendagri, akan tetapi ia menolak dua jabatan tersebut.
Saat Gus Dur lengser dari jabatannya sebagai presiden, lalu Megawati naik menggantikannya, SBY dipercaya kembali duduk di dalam kabinet sebagai Menko Polhukam. Namun, pada 2004, ia mengundurkan diri dari jabatan itu karena sudah tidak lagi dipercaya oleh presiden. Setelah itu, ia mencalonkan diri menjadi presiden pada Pilpres 2004 dari Partai Demokrat. Berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK), SBY mengalahkan Megawati yang menggandeng Ketua PBNU saat itu, Hasyim Muzadi. Dengan hasil tersebut, SBY menjadi Presiden Indonesia keenam, dan sekaligus presiden pertama yang dipilih secara langsung.
Pada 2005, bersama dengan JK, SBY menyelesaikan persoalan antara pemerintah pusat dengan gerakan separatisme di Aceh. Melalui perjanjian di Helsinki Finlandia, Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah pusat sepakat untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung sejak 1970-an tersebut secara damai, dengan sejumlah butir kesepakatan.
Pada Pilpres 2009, SBY berpisah jalan dengan JK, yang juga mencalonkan diri sebagai presiden, dan memutuskan maju sebagai calon presiden dengan menggandeng seorang ekonom, Boediono, sebagai calon wakil presiden. Pilpres 2009 akhirnya dimenangkan oleh SBY-Boediono dengan satu putaran. Sementara itu, dalam pemilihan legislatif, Partai Demokrat mendapat lonjakan suara hingga tiga kali lipat dibanding Pemilu sebelumnya, yakni 20 juta suara, dan menjadikan partai berlambang Mercy tersebut sebagai pemilik kursi terbanyak di DPR.
Demokrat mengadakan kongres pada 2010. Ada tiga kader yang memperebutkan Kursi Umum, yakni Marzuki Ali, Anas Urbaningrum, dan Andi Mallaranggeng. Saat itu, SBY disebut-sebut menjagokan Andi Mallaranggeng. Namun, dari ketiga kandidat tersebut, bukan Andi Mallaranggeng yang keluar sebagai pemenang, melainkan Anas Urbaningrum. Di tahun-tahun berikutnya, kasus korupsi yang menjerat kader elite partai politik itu, termasuk Anas Urbaningrum, telah mempengaruhi citra partai politik tersebut menjadi buruk. Pada 2013, SBY menggantikan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pada Sidang Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat.
Partai Demokrat mengadakan konvensi dengan mengundang sejumlah tokoh di luar partai tersebut. Selain untuk menjaring calon presiden, upaya tersebut juga disebut-sebut sebagai cara SBY untuk mendongkrak suara partai yang menurun pasca kasus korupsi elit partai itu. Berdasarkan hasil survei nasional, dari 11 peserta konvensi, Dahlan Iskan keluar sebagai pemenang. Karena keterpilihan Dahlan Iskan dianggap tidak bisa bersaing di Pilpres 2014, SBY pun tidak menggunakan hasil konvensi tersebut.
SBY mengusung putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), berkontestasi dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Pencalonan tersebut cukup mengejutkan banyak kalangan, sebab AHY belum berpengalaman dalam pemerintahan, dan karier militernya tengah menanjak. Keputusan SBY untuk mencalonkan putra sulungnya itu ternyata tidak berbuah manis. AHY kalah dalam Putaran I Pilgub DKI Jakarta 2017.
AHY terpilih secara aklamasi menggantikan SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat 2020-2025. Belakangan, tepatnya pada 2021, sejumlah mantan kader Partai Demokrat menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara, dan memutuskan Moeldoko sebagai Ketua Umum terpilih. Tentang ini, SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat menyatakan bahwa KLB Deli Serdang adalah ilegal dan tidak sah secara hukum.