Birokrasi Pelayanan Publik di Era VUCA

Sejak COVID-19 melanda, kondisi dunia berubah begitu cepat, bergejolak, dan mulai sulit untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Semua aspek dipaksa untuk beradaptasi, termasuk birokrasi pelayanan publik yang selama ini dikenal sebagai struktur yang sulit untuk melakukan inovasi ataupun melakukan perubahan untuk optimalisasi pelayanan publik. Reformasi apa saja yang harus dipersiapkan birokrasi untuk mendorong pelayanan publik pemerintah yang lebih adaptif atas kondisi dunia yang sangat dinamis?

Untuk mengupas persoalan tersebut, Forum Populi mengangkat tema “Birokrasi Pelayanan Publik di Era VUCA” pada hari Kamis, 11 November 2021 dengan narasumber Prof. Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si. (Deputi Bidang RB, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan, PAN RB), Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ (Pakar Administrasi Publik, UI), dan Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D (Komnas Perempuan). Diskusi dipandu oleh Jefri Adriansyah (Peneliti, Populi Center) dan dilaksanakan secara daring melalui aplikasi zoom.

Pada diskusi kali ini, Erwan Agus Purwanto mewakili KemenPAN RB menekankan perlunya birokrasi yang adaptif di era volatile (tidak stabil), uncertain (ketidakpastian), complex (kompleks), dan ambiguous (ambigu) atau yang dikenal dengan akronim VUCA. Keadaan ini mendorong perlunya perubahan radikal dalam pengelolaan birokrasi, termasuk otomatisasi dan penggunaan teknologi robot. Otomatisasi tidak hanya ada di sektor swasta, tetapi perlu juga untuk dipraktikkan di bidang pelayanan publik.

Erwan Agus Purwanto mengatakan “perlu ada perubahan yang bertahap untuk dapat menjawab tantangan pelayanan publik di era VUCA. Paling tidak ada tiga hal penting yang perlu dipersiapkan, yakni SDM ASN yang kompeten dan profesional (able people) melalui pemberlakuan sistem merit yang mendorong ASN dinilai berdasarkan kompetensi dan kinerjanya. Dua hal lainnya yakni proses perubahan yang bertahap, lincah, adaptif, dan faktor ketiga yakni kemampuan untuk membuat kebijakan publik yang adaptif.”

“Persoalan utama yang ada di birokrasi ada pada merubah mindset dari ASN, bahwa kinerja tidak hanya ditekankan pada melaksanakan tugas. Perubahan yang cepat membutuhkan kemampuan dasar dari ASN untuk dapat bekerja dalam kerangka digital governance, atau kepemerintahan digital. Untuk itu dibutuhkan beberapa kemampuan kepemimpinan di era digital, seperti digital government leadership skills.” lanjut Erwan

“Untuk dapat mengakselerasi hal tersebut (pemerintahan/pelayanan publik yang adaptif terhadap perubahan) maka perlu untuk menciptakan digital working collaboration melalui aplikasi/ruang digital/super apps. Kolaborasi digital akan banyak membantu untuk menyatukan ASN dalam satu ruang kolaboratif yang sama, sehingga koordinasi dan inovasi dapat diinisiasi secara cepat, baik hal tersebut antar lembaga ataupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berkaitan dengan super apps tersebut, untuk menjaga maintenance maupun memastikan pelaksanaannya, maka super apps ini perlu dikelola dengan cara diletakkan sebagai single platform secara nasional.” pungkas Erwan

Menanggapi pemaparan tersebut, Eko Prasojo memberi tambahan bahwa persoalan perbaikan pelayanan publik di era VUCA. Persoalan yang tidak kalah serius ada pada keberlanjutan dari inisiasi dan inovasi yang telah dilakukan di tingkat daerah. Hal ini dikarenakan inovasi yang hadir merupakan agenda politik dari kepala daerah yang terpilih, oleh karenanya begitu kepala daerah diganti, maka orientasi pelayanan dapat berubah dan inovasi-inovasi yang ada tidak dilanjutkan.

Eko Prasojo menekankan satu hal penting mengenai budaya dan pelayanan publik. Eko Prasojo mengatakan “masalah dasar pelayanan publik di Indonesia antara lain ada pada budaya KKN, primordialisme, politik jual beli jabatan, sistem birokrasi yang individualistis hingga menyebabkan rendahnya akses serta kualitas pelayanan yang buruk, tidak efisien, dan diskriminatif. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dibutuhkan perubahan radikal, loncatan besar, atau quantum leaps dalam pengelolaan birokrasi.” ujar Eko

“Saya coba beri contoh, ketika ditawarkan sistem computer assisted test (CAT) sebagai bagian dari seleksi ASN di tahun 2013, banyak pemerintah daerah yang merasa tidak siap dan memohon untuk ada diskresi. Pada akhirnya diputuskan di tahun 2014 untuk menerapkan tes CAT untuk pertama kali. Pada akhirnya pemerintah di daerah dapat menerapkannya hingga saat ini. Dengan kata lain, terkadang perlu untuk memaksa perubahan tersebut.”

“Hal lain yang perlu diperhatikan ada pada perlunya untuk membuat reformasi fundamental atau mendasar/backbone reform yang dapat memastikan bergantinya kepala daerah tidak lantas membuat inovasi dan pelayanan publik menjadi buruk. Perlu ada kerja-kerja kolaboratif untuk dapat menyelaraskan antar organisasi, serta penerapan sistem birokrasi berdasarkan kompetensi ASN (merit based system).” tutup Eko

Menanggapi pemaparan dua pembicara sebelumnya, Alimatul Qibtiyah yang merupakan Komisioner Komnas Perempuan mengingatkan pentingnya untuk tetap memperhatikan kelompok-kelompok rentan dalam pelayanan publik. Pada pelayanan publik seperti saat ini, banyak aduan-aduan terkait dengan kekerasan terhadap perempuan yang tidak ditangani secara serius. Perubahan pelayanan harus memperhatikan dimensi inklusivitas terhadap kelompok rentan, terutama di masa pandemi dan ketidakpastian seperti saat ini. Dampak keduanya berpengaruh pada kekerasan terhadap perempuan.

Alimatul Qibtiyah mengatakan “selama pandemi COVID-19, terdapat kekerasan gender berbasis gender, terdapat pula jumlah pengaduan yang meningkat signifikan hingga 299.911 kasus, seperti KDRT maupun kekerasan seksual di ranah komunitas. Kasus perceraian juga meningkat dikarenakan masalah ekonomi akibat pandemi COVID-19 yang menambah beban kerja di rumah tangga.” ujar Alimatul Qibtiyah

“Persoalan ada pada terbatasnya penanganan atas aduan-aduan yang ada, meski angka aduan meningkat. Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2021, terdokumentasi bagaimana kesulitan korban mengakses lembaga layanan akibat sistem yang harus beradaptasi dengan protokol kesehatan di masa pandemi. Belum lagi persoalan infrastruktur pelayanan yang tidak berimbang antara pulau Jawa dan luar Jawa. Kendala-kendala ini yang harus diperhatikan dalam upaya perbaikan pelayanan publik.” tutup Alimatul Qibtiyah

Pada sesi terakhir diskusi, Alimatul Qibtiyah menekankan perlunya fokus pelayanan publik tidak hanya pada masyarakat umum, tetapi juga pada masyarakat rentan. Eko Prasojo pada penutup diskusi menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur digital untuk mendorong upaya menerapkan digital governance. Eko Prasojo mengatakan “perlu untuk mengubah orientasi pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan dan sebagainya, menjadi pembangunan infrastruktur teknologi yang dapat mendorong digitalisasi.”

Sebagai penutup diskusi, Erwan Agus Purwanto menekankan keberlanjutan inovasi yang diberi payung hukum yang kuat, sehingga pelayanan publik dapat diberikan dengan maksimal. Erwan Agus Purwanto mengatakan “hal yang paling penting adalah untuk membuat inovasi berkelanjutan, oleh karenanya dibutuhkan payung hukum yang kuat, sehingga apabila kepala daerah berubah, tetap ada jaminan penganggaran maupun SDM dalam upaya perbaikan pelayanan publik. Penggunaan super apps dapat menjadi jalan untuk mendorong digital governance, sekaligus memastikan bahwa upaya-upaya inovasi berkelanjutan terus dilakukan. Kita dapat belajar dari Korea Selatan yang inisiasi perubahan perbaikan pelayanan publik dilakukan dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya, tidak bergantung pada agenda pemimpin.”

Contact Person

Rafif Pamenang Imawan / 081325727778

@ Populi Center 2021

id_IDIndonesian