Dinamika Pembangunan Bendungan Kolhua: Interaksi Masyarakat Adat, Gerakan Sosial, dan Pemerintah di Kota Kupang

Ketersediaan air bersih merupakan masalah yang telah lama dimiliki oleh masyarakat di Nusa Tenggara Timur, termasuk Kota Kupang sebagai ibukota provinsi. Selama ini, sebagian besar masyarakat Kota Kupang mengandalkan otto tangki (mobil tangki) air yang dimiliki oleh perusahaan swasta. Masyarakat harus merogoh kocek sebesar 60.000 rupiah untuk mendapatkan 5.000 liter air bersih. Namun, keberadaan otto tangki tentu tidak bisa menyelesaikan permasalahan akses air bersih yang dialami oleh masyarakat Kota Kupang. Sebab dalam beberapa hal, keberadaan otto tangki justru melahirkan permasalahan lain, seperti rusaknya infrastruktur jalan, dan rusaknya air tanah karena tidak adanya regulasi yang jelas mengenai jalur otto tangki.

Salah satu solusi yang kemudian diberikan oleh pemerintah pusat untuk mempermudah akses air bersih adalah pembangunan Bendungan Kolhua di Kota Kupang. Di antara wilayah lain, Presiden Jokowi nampaknya memberikan prioritas pembangunan bendungan lebih banyak di NTT. Pada periode pertamanya sebagai presiden, paling tidak terdapat 7 bendungan di NTT yang dibangun. Tiga bendungan yang telah selesai dibangun ialah Bendungan Raknamo di Kabupaten Kupang, Bendungan Rotiklot di Kabupaten Belu, dan Bendungan Napun Gete di Kabupaten Sikka, sementara sisanya sedang dalam tahap pembangunan, termasuk Bendungan Kolhua di Kecamatan Maulafa, Kota Kupang. Konflik agraria menjadi tak terelakkan setiap muncul wacana pembangunan bendungan di NTT, tetapi hanya Bendungan Kolhua yang berhasil terhenti pembangunannya.

 

Penolakan Oleh Suku Helong

Bendungan Kolhua sendiri berlokasi di lahan terakhir yang dihuni secara kolektif oleh Suku Helong. Oleh Luitnan (2011), Suku Helong disebut sebagai salah satu penduduk asli Kupang. Alasan penolakan Suku Helong di Kolhua antara lain adanya lahan produktif, tanah ulayat yang diwariskan turun-temurun, serta terdapat pemakaman nenek moyang. Maka, wajar bila mereka berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan wilayah Kolhua (Talan, 2015). Kondisi petani Kupang yang keahliannya kurang terdiversifikasi, tentu akan menyulitkan kedepannya apabila hanya mendapatkan ganti rugi uang tanpa jaminan lahan bercocok tanam yang jelas. Lahan adat merupakan aspek penting yang tidak bisa dilupakan begitu saja, karena Kolhua didiami beberapa klan yang telah mengalami kawin mawin dan saudara mereka mendiami bagian lain Pulau Timor. Dengan demikian, dampak pembangunan bendungan tidak hanya akan dirasakan oleh warga setempat, tetapi juga anggota-anggota klan yang ada di daerah lain.

Kondisi alam Kota Kupang membuat daerah tersebut memiliki lahan produktif yang terbatas, biasanya hanya terdapat di sempadan sungai. Maka, pembuatan bendungan mau tidak mau akan menggusur dan mengurangi jumlah lahan produktif yang ada. Sementara bila lahan produktif di Kolhua hilang atau berkurang, pasokan sayuran di daerah Kota Kupang akan terpengaruh. Dengan kata lain, dampak dari pembangunan bendungan tidak hanya dirasakan oleh Suku Helong yang tinggal di Kolhua, melainkan juga masyarakat Kota Kupang secara umum.

Di sisi lain, keefektifan dan pengelolaan Bendungan Kolhua masih menjadi pertanyaan. Berkaca dari pembangunan Bendungan Tilong di Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, terbukti bahwa proyek besar tersebut belum mampu menjadi solusi penyediaan air bersih di NTT. Peneliti Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Lodimeda Kini mengungkapkan bahwa pemerintah terbiasa memberi klaim sebuah bendungan dapat mengairi banyak daerah irigasi. Padahal kenyataannya bendungan tersebut hanya mampu mengairi beberapa wilayah dan tidak dengan jumlah air bersih yang banyak[1].

Bila dirunut ke belakang, penolakan pembangunan bendungan di Kolhua sebenarnya telah cukup lama. Pada tahun 2015, penolakan masyarakat Kota Kupang sempat berhasil menghentikan pembangunan bendungan. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari solidaritas masyarakat sipil yang didukung dengan adanya kondisi politik Kota Kupang pada era itu. Masyarakat sipil senantiasa mengadvokasi dan melakukan perang wacana dengan pemerintah kota yang saat itu dipimpin oleh Jonas Salean. Hasilnya, masyarakat Kolhua dengan kompak satu suara untuk menolak pembangunan. Selain masyarakat sipil, penolakan juga disuarakan oleh Viktor Bungtilu Laiskodat yang saat itu menjabat sebagai anggota DPR RI. Viktor sendiri berasal dari Suku Helong. Dapat dikatakan, solidaritas pada era tersebut terdiri dari masyarakat sipil dan dukungan tokoh dari tokoh legislatif, yang kemudian mampu menghentikan wacana pembangunan Bendungan Kolhua di Kota Kupang.

Dinamika yang melatari seputar Bendungan Kolhua kemudian menjelma menjadi isu politik. Jonas Salean, tokoh yang dianggap paling getol melakukan pembangunan bendungan, kalah dalam pemilihan walikota tahun 2017. Di sisi lain, Viktor Laiskodat memenangi Pemilihan Gubernur NTT tahun 2018, dan berhasil meraih suara terbanyak di Kota dan Kabupaten Kupang. Ironisnya, setelah Viktor Bungtilu Laiskodat menjadi Gubernur NTT, wacana pembangunan bendungan kembali muncul. Viktor yang juga berasal dari Suku Helong tentu memiliki kepercayaan yang cukup tinggi dari suku asli yang mendiami Kolhua, dan lebih mudah untuk melakukan negosiasi.

Pada perkembangannya perubahan juga terjadi di tengah-tengah solidaritas masyarakat Kolhua. Kini, hanya tersisa segelintir masyarakat yang menolak keberadaan bendungan Kolhua. Gerakan masyarakat sipil dan LSM yang membantu mengadvokasi kini sudah tidak terlibat penuh pada pengawalan isu. Akibatnya, tidak ada lagi pihak-pihak yang serius mengawal wacana pembangunan Bendungan Kolhua. Rilis media mengatakan hanya 37 dari 136 kepala keluarga yang menolak mengikuti sosialisasi[2] (Kompas.com, 7 April 2022).

 

 

 

Sebuah Refleksi

Nampaknya, mustahil apabila Bendungan Kolhua benar-benar dibatalkan, sebagaimana pada kasus-kasus pembangunan lainnya yang diinisiasi pemerintah pusat. Setelah terjadi peralihan kekuasaan politik, terbukti bahwa wacana pembangunan Bendungan Kolhua justru tetap diteruskan. Namun, bukan berarti perjuangan masyarakat sipil untuk mengklaim hak-hak mereka berhenti begitu saja. Perjuangan untuk mendapatkan hak ganti rugi lahan sebagai tempat hidup dan pengawalan pasca pembangunan bendungan merupakan hal-hal yang masih perlu diteruskan. Bahkan, masyarakat sipil perlu memastikan bahwa isu Bendungan Kolhua tidak sekadar menjadi komoditas yang kembali dimainkan guna mendapatkan suara pada Pemilu 2024.

Artinya, taktik yang dilakukan agar tidak mencederai hak-hak masyarakat adalah bukan lagi penolakan atas pembangunan bendungan, melainkan mengenai pengawalan isu Bendungan Kolhua, agar nantinya air yang dialirkan jumlahnya mencukupi untuk masyarakat Kota Kupang. Sebab ketidakjelasan terkait relokasi dan pengelolaan bendungan menjadi faktor yang menyebabkan pembangunan Bendungan Kolhua diwarnai oleh konflik dan penolakan dari masyarakat Kota Kupang. Untuk itu, menurut dosen FISIP Universitas Cendana Rudi Rohi, pembahasan mengenai bendungan sejatinya tidak hanya berhenti pada pembangunan, tetapi juga pada pengelolaan[3].

Khusus mengenai masyarakat Suku Helong, strategi pendampingan oleh gerakan masyarakat sipil harus diarahkan agar pemerintah menyiapkan skema yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Sebab, mengutip perkataan Rudi Rohi, manusia tidak dapat dipisahkan dari tanah yang menjadi sumber penghidupannya. Bila memang relokasi harus terjadi, maka masyarakat haruslah mendapatkan lahan baru yang berstatus lahan produktif. Tentu ini bukan perkara mudah, sebab jumlah lahan produktif yang selama ini menjadi tumpuan hidup Suku Helong jumlahnya sangat terbatas. Alternatif yang bisa dilakukan menurutnya adalah menukar lahan warga dengan food estate seperti yang telah pemerintah lakukan ketika pembangunan Bendungan Rotiklot dan Raknamo. Dengan begitu, hak atas tanah warga tidak dihilangkan, melainkan ditukar dengan adanya food estate yang meskipun kecil tetapi menjadi ruang produksi warga.

 

 

Sumber :

Talan, John Petrus. 2015. Masa Depan Tata Kelolah Air  dan Tantangan Penyediaan Air Melalui Bendungan di Indonesia (Studi Kasus Konflik Pembangunan Embung di NTT). Working Paper No. 13. Institute of Resource Governance and Social Change.

 

Luitnan, Ishak Aries. 2015. Koepang Tempo Doeloe. Penerbit Ruas, Depok.

Wawancara pribadi,  13 Juli 2022

https://regional.kompas.com/read/2022/04/07/194515678/warga-kupang-tolak-pembangunan-bendungan-kolhua-ini-alasannya?page=all

Wawancara pribadi, 12 Juli 2022

Artikel Lainnya

id_IDIndonesian