Berhajat pada Kereta Cepat

Patut diakui bahwa perkembangan dunia perkeretaapian di Indonesia tidak lepas dari sentuhan kolonialisme Belanda. Sejak 1,5 abad lalu, perkembangan moda transportasi kereta dimulai. Maksud Belanda membangun jaringan rel kereta api tidak lain adalah untuk menghubungkan daerah-daerah yang memiliki perkebunan-perkebunan besar. Dengan demikian, komoditi seperti gula, teh, hingga kopi dapat mudah dan cepat untuk  dan didistribusikan (Ningsih, 26/08/2021).

Kini, pembangunan kereta bukan lagi tentang komoditi, tapi persoalan populasi. Sejak zaman kedudukan Belanda pula, mobilitas manusia menggunakan jalur kereta api menjadi perhatian. Pada tahun 1925, Belanda menginisiasi jalur kereta rel listrik yang saat ini kita kenal dengan KRL Commuter Line. Meskipun pada perkembangannya KRL sempat ditutup, namun saat ini KRL menjadi salah satu transportasi unggulan bagi masyarakat, terlebih bagi masyarakat yang tinggal di daerah penyangga.

Statistik pengguna KRL Jabodetabek misalnya, telah menunjukkan lonjakan penumpang setiap tahunnya, kecuali di masa pandemi COVID-19 yang mengalami penurunan akibat pembatasan mobilisasi masyarakat.

 

Grafik 1. Penumpang KRL Jabodetabek (Jiwa)

Sumber: Diolah dari PT KAI Commuter, Databoks, Dataindonesia

 

Data di atas menunjukkan bahwa di luar pandemi COVID-19, penumpang KRL Jabodetabek mengalami peningkatan drastis, yakni lebih dari 100 persen jika dilihat dari tahun 2011 hingga 2019. Jika melihat data tersebut, dapat diartikan bahwa kebutuhan pengguna terhadap keberadaan mobilitas cepat patut diperhitungkan di kemudian hari.

Melakukan terobosan dalam perkeretaapian pun menjadi salah satu hal yang patut untuk dilakukan demi mendukung mobilitas masyarakat. Ibarat gayung bersambut, di tengah negara-negara maju yang sudah berhasil menunjukkan transformasi transportasi dengan membangun kereta cepat, pemerintah Indonesia juga mulai merintis wajah baru kereta api di Indonesia. Sejak digagas pada era SBY, proyek ini pun bergulir ke era Jokowi. Mulanya, pemerintah melakukan studi kelayakan dalam rangka pembangunan kereta semi cepat Jakarta-Surabaya dengan jarak 748 km yang diproyeksikan dapat ditempuh dalam durasi 5,5 jam dengan kecepatan 160 km/jam. Studi tersebut yang dilakukan pemerintah dengan Japan International Corporation Agency (JICA) pada tahun 2014. Namun, atas dasar pertimbangan ekonomi dan politik, pada akhirnya pemerintah menetapkan untuk membangun kereta cepat secara bertahap, yakni dimulai dengan membuka jalur Jakarta-Bandung dengan panjang sekitar 150 km (Sugianto, 26/02/2018).

Dengan sistem lelang terbuka, pada akhirnya pemerintah menetapkan China sebagai pemenang tender untuk melaksanakan proyek tersebut. Skema B to B dari China menjadi salah satu alasan utama jika dibandingkan dengan skema G to G Jepang dari sisi pembiayaan. Terlepas dari mekanisme penganggaran, persoalannya adalah seberapa penting proyek kereta cepat Jakarta-Bandung di tengah transportasi eksisting yang sudah cukup dibilang memadai?

 

Meninjau Stasiun Tegalluar, Menilik Urgensi

Satu dari sekian pertanyaan yang hampir selalu muncul dalam bayangan pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung adalah untuk siapa pembangunan ini dibuat? Jika berkaca dari rincian biaya yang harus dikeluarkan untuk sekali menaiki kereta cepat, rasanya masyarakat cukup keberatan apabila harus mengeluarkan Rp250.000-Rp350.000. Pernyataan tersebut paling tidak saya dapatkan sesaat berkunjung di lokasi Stasiun Tegalluar, yakni stasiun kereta cepat yang berada di Bandung. Meskipun menyandang nama Tegalluar, lokasi stasiun tersebut justru paling banyak menelan lahan-lahan dari warga di Kelurahan Cibiru Hilir, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung Jawa Barat. Agus Gunawan, salah seorang kepala dusun setempat yang lahannya terdampak pembangunan stasiun, juga mengisyarakatkan keengganan untuk menaiki kereta cepat lantaran biaya yang cukup tinggi. Di sisi lain, aspek keselamatan juga menjadi salah satu pertimbangannya. Meskipun demikian, Agus mengaku mendukung pembangunan proyek kereta cepat, terlebih lokasi stasiun tepat berada di desanya. Pasalnya, harga lahan menjadi meningkat, sekaligus perekonomian masyarakat sekitar sebagian bertumbuh. Ia mencontohkan bahwa banyak muncul warung-warung makan dan juga kamar-kamar kost.

Dalam perkembangan rencana pembangunan stasiun kereta cepat di wilayahnya, Agus mengaku bahwa tidak terlihat penolakan yang cukup serius yang diperlihatkan oleh warga. Hal yang sama juga disampaikan Galih Hendrawan, Kepala Desa Tegalluar, yang menyatakan bahwa pembangunan Stasiun Tegalluar relatif berjalan mulus dan minim penolakan. Namun, sejauh pengamatannya, keterlibatannya sebagai aparat desa hanya sebatas pada mekanisme pembebasan lahan sebagian warganya yang terdampak pembangunan. Secara umum, pembangunan Stasiun Tegalluar dapat dikatakan minim konflik.

Pada prinsipnya, menyoal pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung bukan lagi berbicara soal manajemen konflik. Seperti halnya pendapat umum masyarakat sekitar, persoalan kedaruratan realisasi proyek ini juga disampaikan Dr. R. Widya Setiabudi Sumadinata (Dekan Fisip Universitas Padjajaran). Beliau menyatakan bahwa transportasi Bandung-Jakarta saat ini sudah cukup memadai sehingga warga sekitar sebenarnya tidak terlalu membutuhkan adanya pembangunan kereta cepat apabila warga sekitar tidak memiliki akses untuk itu. Baik akses biaya dan juga akses menuju ke lokasi stasiun yang saat ini masih belum terlihat memadai. Meskipun demikian, Widya menegaskan bahwa secara konseptual, pembangunan konektivitas antar-kota ini cukup baik jika diproyeksikan dengan tantangan transportasi masa depan. Lebih lanjut, Widya menengarai bahwa target market dari adanya kereta cepat ini adalah para pelaku bisnis yang membutuhkan mobilisasi serba cepat.

Nada yang serupa juga disampaikan oleh pengamat transportasi, Darmaningtyas. Secara lebih kritis, beliau tegas menjelaskan bahwa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung adalah proyek yang tidak perlu dan membuang-buang anggaran. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa yang perlu disadari dari pembangunan kereta cepat ini adalah proyek yang akan menjadi beban anggaran negara. Hal krusial yang perlu dilakukan adalah membuat kebijakan agar beban terhadap anggaran dapat ditekan seminimal mungkin. Darmaningtyas menilai bahwa pembangunan tata kota menjadi satu hal yang cukup penting untuk dipertimbangkan dalam menyambut adanya kereta cepat pertama di Indonesia ini. Keputusan-keputusan politik dan kebijakan tata kelola pembangunan di titik-titik infrastruktur perlu untuk segera direalisasikan. Lokasi Stasiun Tegalluar misalnya, perlu untuk segera dibangun infrastruktur penunjang untuk mendukung tumbuhnya pola-pola ekonomi baru di kawasan tersebut. Sisi lain, dukungan tersebut juga paling tidak dapat mendorong terbangunnya ekosistem baru dalam bertransportasi menggunakan kereta cepat.

 

Asa Pembangunan High Speed Rail

Di tengah beberapa pertanyaan skeptis tentang pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, paling tidak, pembangunan tersebut perlu dimaknai sebagai terobosan transportasi kereta api di Indonesia. Jika dilihat dari skema penganggaran dan hitung-hitungan ekonomi dalam pembangunan kereta cepat saat ini, banyak pengamat yang menilai bahwa negara akan merugi. Dalam hubungan regional misalnya, investasi dalam infrastruktur transportasi baru pada dasarnya tidak banyak membantu mengurangi ketimpangan regional (Puga, 2002). Puga mencatat bahwa peningkatan konektivitas antar-daerah dengan tingkat pembangunan yang berbeda tidak hanya memungkinkan daerah yang kurang berkembang memiliki akses ke pasar yang lebih baik, namun juga memudahkan perusahaan di daerah maju untuk memasok kepentingan industrialisasi ke daerah yang lebih miskin. Meskipun demikian, interaksi industrialisasi ini juga sedikit membahayakan daerah yang tingkat pembangunannya lebih rendah, yang dapat berimbas pada prospek pertumbuhan pembangunan, kondisi lingkungan, dan juga kualitas hidup individunya.

Analogi yang tepat untuk menggambarkan pola pertumbuhan ekonomi paling tidak seperti yang terjadi pada proyek pembangunan Train a Grande Vitesse (TGV), yakni kereta cepat milik Prancis yang menghubungkan Paris dan Lyon. Salah satu sasaran yang ingin dicapai pada proyek pembangunan TGV adalah tumbuhnya pusat perekonomian baru di sepanjang stasiun Part-Dieu di Lyon. Namun pada praktiknya, relokasi kantor pusat bisnis justru banyak yang berpindah dari Lyon ke Paris. Fenomena ini berbanding terbalik dengan target pembangunan yang berupa titik-titik komersial baru di Lyon (Duranton & Puga, 2001). Namun demikian, meskipun ada relokasi kantor-kantor bisnis, sejauh ini dari beberapa High Speed Rail (HSR) yang ada di dunia, hanya jalur kereta Tokaido Shinkansen (Tokyo-Osaka) dan kereta cepat TGV Paris-Lyon yang aspek keuangannya menguntungkan (Suhendra, 07/09/2015). Lantas bagaimana kita menatap kereta cepat Jakarta-Bandung?

Pertama, jika dilihat dari target pasarnya paling tidak dapat merujuk pada studi Thahjono et. al (2020). Studi ini menggunakan Discrete Choice Model (DCM) dengan memperbandingkan dua jenis moda transportasi, yakni antara High Speed Train (HST) dengan transportasi eksisting (ketera, bus, shuttle/travel, atau mobil). Data yang dihimpun berdasarkan survei terhadap 1057 responden tersebut setelah melalui binomial logit model menunjukkan bahwa secara umum para pengguna kereta api akan lebih tertarik untuk berpindah moda transportasi menggunakan HST. Dari studi ini, paling tidak sedikit menjadi jawaban tentang siapa saja yang akan memilih menaiki kereta cepat di tengah harga yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan transportasi lain seperti bus, shuttle, dan juga mobil. Persoalannya, di saat yang bersamaan, Tol Cikampek II juga akan segera dibuka. Menurut Darmaningtyas, hal ini memperlihatkan persaingan penumpang akan terjadi. Jika ingin mendorong masyarakat beralih ke moda transportasi kereta cepat, maka kran-kran moda transportasi lain harus ditutup. Hal ini perlu untuk meningkatkan surplus penumpang. Hal yang sama juga disampaikan Thahjono, et. al (2020) yang menyatakan bahwa sesuai dengan prinsip ekonomi, target untuk melakukan surplus konsumen perlu dilakukan. Salah satu alternatifnya adalah dengan penerapan diferensiasi tarif layaknya strategi penetapan harga pada dunia industri penerbangan atau kereta api di luar negeri.

Hal lain yang perlu dicermati dalam pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung adalah pilihan lokasi stasiun. Jika melihat pada tipologi stasiun HSR di Eropa, ada tiga jenis dampak pada perkotaan yang terjadi dari pilihan lokasi stasiun (Hall, 2009). Tipe pertama, yakni ketika stasiun terletak di samping atau di dalam Central Business District (CBD). Lokasi ini memungkinkan meningkat/memperkuatnya daya traik CBD sebagai tempat investasi komersial. Tipe kedua, yakni stasiun yang biasanya terletak di pinggir kota, berdekatan, namun terpisah dari pusat kota besar. Pilihan lokasi ini akan membantu dalam mengembangkan sub-pusat dan mendorong pembangunan wilayah perkotaan. Tipe ketiga, yakni stasiun yang digunakan sebagai penggerak kota tepi di pinggiran wilayah perkotaan, dengan maksud memunculkan wilayah komersial baru (Hall, 2009).

Jika merujuk pada tipologi tersebut, lokasi Stasiun Tegalluar dapat diidentifikasikan pada tipe kedua dan ketiga. Hal ini tergantung proyeksi pembangunan yang ingin dicapai oleh pemangku kebijakan dari dibangunnya Stasiun Tegalluar. Namun yang jelas, tipe kedua dan ketiga pada dasarnya akan dapat membantu dalam mempromosikan transformasi kota monosentris menjadi kawasan perkotaan polisentris. Bruinsma, et. al (2008) menjelaskan bahwa memiliki stasiun HSR yang jauh dari pusat kota dapat membantu dalam pengembangan lebih banyak simpul dan pusat kota dengan menghubungkan pola perkotaan dan jaringan infrastruktur secara bersamaan. Membahas pengembangan jaringan rel kecepatan tinggi Eropa, Vickerman, et. al (1999) menunjukkan peningkatan aksesibilitas untuk kota-kota hub di Uni Eropa, begitu juga dengan kota-kota periferal. Namun, yang perlu dipahami dari interaksi HSR-Urban adalah peranannya yang mempengaruhi ekonomi perkotaan, yakni peran katalis dan peran memfasilitasi. Layaknya banyak kantor bisnis yang bermigrasi dari Lyon ke Paris akibat adanya TGV, hal tersebut dapat dimaknai sebagai peran katalis dari adanya pembangunan kereta cepat. Sedangkan, peran memfasilitasi merujuk pada bagaimana aksesibilitas meningkatkan ekonomi lokal (Berg & Pol, 1998).

Harapannya tentu dengan jaringan kereta api cepat dapat memfasilitasi tumbuhnya geliat komersial baru di wilayah seperti Stasiun Tegalluar. Tantangannya ke depan adalah perlu untuk sesegera mungkin mendorong pembangunan di wilayah Stasiun Tegalluar. Bagaimanapun, Stasiun Tegalluar bukanlah stasiun yang ditargetkan sebagai model transportasi point to point, namun lebih identik dengan hub to hub. Jika dilihat dalam kacamata transportasi dan konsep pembangunan, kebutuhan akan Transit Oriented Development (TOD) menjadi hal yang wajib untuk mendorong pembangunan komersial di Tegalluar. Dengan demikian harapan untuk meningkatkan demand dan surplus konsumen dapat terfasilitasi, sehingga pergeseran penumpang dari transportasi eksisting pun lambat laun terealisasi demi mendorong sustainability dari kereta cepat Jakarta-Bandung, yang kelak disebut sebagai Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC).

 

Referensi

  • Berg, L., and Pol, P. The European High-Speed Train-Network and Urban Development: Experiences in fourteen European urban regions. (European Institute for Comparative Urban Research, Ed.). Aldershot, Hants, England; Brookfield, Vt.: Ashgate. (1998).
  • Bharule, Shreyas., Kidokoro, Tetsuo., & Seta, Fumihiko. Evolution Of High-Speed Rail And Its Development Effects: Stylized Facts And Review Of Relationships. ADBI Working Paper Series. No. 1040, November (2019).
  • Bonnafous, Alain. The Regional Impact of TGV. Transportation, 14:127-137 (1987).
  • Bruinsma, F., Pels, E., Priemus, H., Rietveld, P., and Van Wee, B. Railway Development: Impacts on urban dynamics. Railway Development: Impacts on Urban Dynamics. https://doi.org/10.1007/978-3-7908-1972-4. (2008).
  • Duranton, G., and Puga, D.  (2001). Nursery cities: Urban Diversity, Process Innovation, and the Life Cycle of Products. American Economic Review. https://doi.org/10.1257/aer.91.5.1454. (2001)
  • Hall, P. Magic carpets and seamless webs: Opportunities and constraints for high-speed trains in Europe. Built Environment. https://doi.org/10.2148/ benv.35.1.59. (2009).
  • Mulyaman, Darynaufal, & Darmacanti, Kanya. Comparative Analysis of The Indonesia-China High-Speed Train Project and The KTX Korea-France: A Sustainable Development for Locals or Reconfiguring Other Interests. JIHI: Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional.  Vol 17, No. 1 (2021).
  • Ningsih, Widya L, “Tujuan Pembangunan Rel Kereta Api pada Masa Kolonial”. Kompas.com, 26/08/2021. <https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/26/100000079/tujuan-pembangunan-rel-kereta-api-pada-masa kolonial?page=all.>.
  • Puga, D. European regional policies in light of recent location theories. Journal of Economic Geography. https://doi.org/10.1093/jeg/2.4.373. (2002)
  • Sugianto, Danang, “Sejarah Kereta Cepat JKT-BDG: Digagas Jepang, Digarap China” Finance.detik.com, 26/02/2018 <https://finance.detik.com/infrastruktur/d-3886103/sejarah-kereta-cepat-jkt-bdg-digagas-jepang-digarap-china.>
  • Suhendra, “Kereta Cepat Modalnya Besar, Jarang yang Untung”. Finance.detik.com, 07/09/2015. <https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3011510/kereta-cepat-modalnya-besar-jarang-yang-untung.>
  • Tjahjono, Tri, et.al. The Indonesia High-Speed Train Traveler Preference Analysis (Case Study: Jakarta-Bandung). AIP Conference Proceedings 2227, 030011 (2020).
  • Vickerman, R., Spiekermann, K., and Wegener, M. Accessibility and Economic Development in Europe. Regional Studies, 33(1), 1–15. https://doi.org/10.1080/00343409950118878. (1999).
  • Zembri, Pierre. The New Purposes of the French High-speed Rail System in the Framework of A Centralized Network : a Substitute to the Domestic Air Transport Market?. ERSA-  NECTAR Special Session on High-Speed Rail as a New Transport Network. (2011).
  • Wawancara pribadi dengan Dr. R. Widya Setiabudi Sumadinata, Kampus Fisip Unpad,Jatinangor, Sumedang, (17 Agustus 2022).
  • Wawancara pribadi dengan Agus Gunawan, Kelurahan Cibiru Hilir, Bandung, (18 Agustus 2022).
  • Wawancara pribadi dengan Galih Hendrawan, Kantor Kelurahan Tegalluar, Bandung, (18 Agustus 2022).
  • Wawancara pribadi dengan Darmaningtyas, Jakarta, (15 September 2022).
id_IDIndonesian