Nilai Budaya Suku Baduy dalam Menghadapi Perubahan Sosial di Era Modernisasi

Di pedalaman hutan Banten terdapat masyarakat adat yang masih sangat memegang teguh adat istiadat yang diwariskan oleh para leluhurnya. Masyarakat adat tersebut adalah Suku Baduy. Baduy mendiami sebuah wilayah di atas pegunungan yang secara administratif berada di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Secara geografis, Banten sangat dekat dengan Jakarta yang merupakan kota metropolitan sekaligus Ibukota negara. Di tengah arus modernisasi yang sangat sulit ditolak, Baduy hingga kini mampu beradaptasi menerima perubahan dengan tetap mempertahankan tradisi asli yang bertahun-tahun sudah diyakini dan diterapkan secara turun temurun. Suku Baduy dikenal dengan banyaknya pikukuh atau larangan adat yang menjadi pedoman bagi masyarakat Baduy dalam beraktivitas. Nilai budaya suku Baduy sangat memperhatikan hubungan antara manusia dengan kelestarian alam. Beberapa hal yang ditolak oleh masyarakat Baduy yaitu pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan penggunaan bahan-bahan kimia yang merusak lingkungan.

 

Cara hidup tradisional dengan mengisolasikan diri ke pedalaman menjadi cara efektif untuk menghindarkan diri dari serangan penyebaran virus. Pada saat terjadi pandemi COVID-19 yang mengakibatkan seluruh populasi di dunia terpapar, Baduy  menjadi salah satu wilayah yang tidak ditemukan satu orang pun yang terinfeksi COVID-19. Saat dunia ramai menerapkan social distancing, jauh sebelum pandemi Suku Baduy sudah melakukan kehidupan yang terisolasi dari kehidupan luar. Saat angka kasus semakin meningkat dan kebijakan pengetatan diterapkan pemerintah, Suku Baduy menutup kampungnya dari pengunjung yang datang untuk berwisata. Cara ini dianggap efektif untuk mengurangi penyebaran virus. Selain itu, masyarakat Baduy merespon pandemi dengan menambah amunisi kesehatan dengan meminum ramuan herbal dan ritual adat yang dilakukan oleh masyarakat Baduy sebagai penolak bala dari virus mematikan ini.

 

Kehidupan Sosial Masyarakat Baduy

Perjalanan menuju ke Baduy dari Jakarta bisa ditempuh dengan menggunakan transportasi. Namun setelah berada di pintu masuk menuju Baduy, pengunjung diharuskan berjalan kaki. Akses menuju Baduy bisa ditempuh melalui tiga titik, pintu masuk Ciboleger, Cijahe, dan Binong. Jika pengunjung ingin menikmati suasana perkampungan Baduy Luar, Ciboleger menjadi pintu masuk yang direkomendasikan. Pemandangan menarik yang kita temui di sekitar terminal Ciboleger yaitu masyarakat Baduy yang menggunakan pakaian serba hitam putih dengan ikat kepala dan tanpa alas kaki. Jika ingin bertamu ke Baduy terutama ke Baduy Dalam kita harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari masyarakat setempat.

 

Menelusuri sejarah Baduy, sebagaimana dicatat Hakiki (2015), paling tidak terdapat 3 (tiga) versi tentang sejarah suku Baduy. Versi pertama, menyatakan bahwa sejarah awal keberadaan masyarakat Baduy berasal dari Kerajaan Pajajaran sebagaimana tertera dalam catatan pertama tahun 1822 mengenai Suku Baduy yang ditulis oleh ahli botani bernama C.L. Blumen. Versi kedua, berbeda dari pendapat pertama di atas, muncul dari Van Tricht yang merupakan seorang dokter yang pernah melakukan riset di Baduy pada tahun 1928. Menurutnya, komunitas Baduy bukanlah berasal dari sisa-sia kerajaan Pajajaran yang melarikan diri, melainkan penduduk asli dari daerah tersebut yang mempunyai daya tolak yang kuat terhadap pengaruh luar. Versi ketiga, dari penemuan prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai Tatar Sunda, keberadaan masyarakat Baduy sendiri dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Banyaknya perbedaan tentang asal muasal Baduy ini terjadi karena kebanyakan masyarakat adat di Indonesia menganut tradisi lisan sehingga segala sesuatu dikomunikasikan hanya melalui dari satu mulut ke mulut yang lain, bukan budaya tulis. Oleh karena itu, sangat sulit mencari jejak keberadaan salah satu suku dan warisan-warisan yang terkandung di dalamnya karena cerita tersebut hilang karena hanya diketahui oleh orang-orang terdahulu saja.

 

Secara adminstratif Baduy terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Baduy terletak di sebelah Barat Pulau Jawa, di sekitar Pegunungan Kendeng (Senoaji, 2010). Pembagian sistem tata ruang dibagi menjadi tiga bagian yaitu, Baduy Dalam (tangtu), Baduy Luar (panamping), dan Luar Baduy (dangka). Secara keseluruhan Baduy terdiri dari 67 kampung, di mana 64 kampung merupakan Baduy Luar, sementara 3 kampung lainnya merupakan Baduy Dalam. Baduy Dalam yang terdiri dari 3 kampung memiliki pembagian peran yang berbeda-beda. Kampung Cibeo berperan dalam urusan kebijakan dengan jumlah 78 Kepala Keluarga (KK). Kampung Cikartawarna berperan sebagai penasehat dengan jumlah 43 KK dan terakhir Kampung Cikeusik yang berperan dalam urusan keagamaan dengan jumlah 137 KK. Dalam struktur adat, Baduy dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut dengan puun. Kepala kampung disebut dengan jaro. Puun memiliki peran yang sangat besar sebagai pengambil keputusan. Sementara agama yang dianut adalah sunda wiwitan.

 

Perbedaan Baduy Luar dan Baduy Dalam yaitu terletak pada kelonggaran dalam penerapan aturan adat. Secara garis besar, sebenarnya antara Baduy Luar dan Dalam sama-sama masih memegang nilai adat, namun Baduy Luar lebih terbuka dalam menerima modernisasi, sementara Baduy Dalam masih sangat ketat dalam memegang teguh tradisi asli. Persamaannya yaitu masyarakat Baduy di keduanya tidak menerima perubahan infrastruktur, menolak pendidikan dan penggunaan bahan kimia dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan lainnya yaitu Baduy Luar menerima penggunan transportasi untuk mobilisasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Terkait penggunaan teknologi yaitu penggunaan handphone (HP), Baduy Luar melakukan secara terang-terangan dan pemakaian baju sehari-hari cenderung bebas. Dalam hal ini, bagi masyarakat Baduy Dalam yang tidak patuh terhadap aturan adat yang ketat, mereka akan dikeluarkan dan berpindah ke Baduy Luar.

 

Selain beberapa hal yang disebutkan di atas. Persamaan dan perbedaan tradisi antara Baduy Dalam dan Baduy Luar adalah dalam sistem pernikahan. Sistem pernikahan yang ada di suku Baduy Dalam masih menerapkan model perjodohan. Rata-rata gadis di sana menikah pada usia belasan. Pada acara pernikahannya, pasangan akan mengenakan pakaian yang baru yang namanya “baju dumping” yang dibeli dari Baduy Luar. Bagi warga Baduy Dalam, pernikahan adalah sekali untuk seumur hidup. Mereka tidak mengenal perceraian kecuali kematian. Yang menarik dalam adat Baduy yaitu larangan berpoligami atau berpoliandri  (Maharani, 2009). Perjodohan juga dilakukan sejak anak baru lahir. Kedekatan antar masyarakat Baduy antara satu dengan yang lainnya mengakibatkan perjodohan dilakukan antar kerabat karena penduduk Baduy tidak pernah mengalami penambahan dari luar.

 

Ajaran sunda wiwitan berkaitan erat dengan norma menjaga dan melestarikan alam. Tindakan yang dipraktikkan masyarakat Baduy yaitu pertama, pembagian lahan menjadi tiga bagian yaitu lahan hutan larangan, lahan usaha pertanian, dan lahan permukiman. Kedua, pemenuhan kebutuhan hidup menggunaakan bahan-bahan yang merusak alam dalam bentuk bahan material untuk pembuatan rumah, barang-barang yang dipakai untuk kebutuhan rumah tangga, teknik berladang dan penggunaan air (Budiaman, dkk., 2022). Masyarakat Baduy memiliki prinsip hidup yang sederhana. Kesederhanaan terlihat dari penggunaan bahan bangunan untuk rumah, peralatan hidup dan pakaian. Dalam membangun rumah masyarakat Baduy dilarang menggunakan bahan yang merupakan hasil olahan dari sumber daya alam karena dianggap sebagai kekayaan alam yang susah untuk diperbaharui. Pakaian yang digunakan pun terbuat dari katun yang terbuat dari kapas dengan warna hitam dikombinasikan dengan putih.

 

Pengelolaan sumber daya alam di wilayah Baduy teregulasi dalam aturan daerah. Bupati Lebak memberikan hak ulayat kepada masyarakat Baduy untuk mengelola tanahnya. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 32 Tahun 2001 tentang perlindungan atas hak ulayat masyarakat Baduy. Wilayah ulayat masyarakat Baduy memiliki luas sekitar 5.136,58 hektar dengan penduduk 11.800 Jiwa. Dengan hak pengelolaan lahan tersebut, masyarakat Baduy memiliki aktivitas berladang. Hal yang menarik dalam pembagian peran dalam kehidupan sehari-hari antara laki-laki dan perempuan yaitu, perempuan memiliki tugas yang lebih besar daripada laki-laki. Peran perempuan dalam urusan domestik yaitu seperti memasak, mencuci peralatan makan, dan membersihkan rumah. Peran lainnya yaitu, kewajiban berladang tidak hanya dibebankan kepada laki-laki, tapi juga perempuan. Di mana berladang merupakan urusan pemenuhan kebutuhan ekonomi yang biasanya menjadi tugas dari laki-laki. Hal yang berbeda justru dalam hal kebiasaan mobilisasi bagi perempuan ke luar Baduy merupakan hal yang sangat jarang dilakukan. Perempuan tidak sebebas laki-laki untuk berpergian seperti ke Jakarta. Sangat jarang perempuan Baduy pergi jauh. Paling jauh hanya sampai ke Rangkasbitung yang merupakan Ibukota Kabupaten Lebak. Meskipun tidak secara tegas bahwa laki-laki lebih dominan daripada perempuan, tapi pola kebiasaan ini sedikit memperlihatkan bahwa laki-laki memiliki peluang lebih besar untuk berpergian dibanding perempuan.

 

Aktivitas masyarakat Baduy dari senin hingga jumat lebih banyak dihabiskan di rumah tempat tinggal yang dekat dengan ladang. Rumah ini berbeda dengan rumah orang Baduy di perkampungan. Kegiatan berladang dilakukan di luar perkampungan. Jarak ladang dari kampung yang jauh membuat masyarakat Baduy membuat rumah di sekitar kebunnya. Rumah ini disebut saung. Setiap jumat sore barulah mereka kembali ke kampung karena biasanya ketika akhir pekan banyak pengunjung yang datang untuk menginap di rumah warga. Masyarakat Baduy tidak pernah mematok tarif untuk pengunjung yang datang. Biasanya para pengunjung datang membawa makanan untuk dimasak bersama. Selain berladang, dalam keseharian laki-laki diberikan jadwal ronda untuk menjaga kampung. Dapur orang Baduy berada di dalam rumah dan bahan bangunan rumah terbuat dari kayu dan bambu sehingga jika terjadi kebakaran di satu rumah maka akan cepat merembet ke rumah lainnya karena jaraknya antar rumah sangat berdekatan. Ronda ini dilakukan untuk menjaga kampung, karena sebelumnya pernah terjadi kebakaran masal.

 

Adaptasi Terhadap Perubahan Sosial

Kehidupan masyarakat Baduy meskipun berada di pedalaman hutan tidak sepenuhnya terisolir dan menutup akses kepada dunia luar. Masyarakat Baduy banyak berhubungan dengan masyarakat di luar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Interaksi masyarakat Baduy dengan masyarakat di luar Baduy misalnya dalam hal transaksi penjualan hasil panen. Meskipun sistem barter masih diberlakukan, namun transaksi utama tetep menggunakan alat tukar uang. Selain itu, para pekerja dari luar juga dibutuhkan untuk memanen hasil kebun dan membangun rumah masyarakat Baduy. Banyak kebutuhan seperti kayu dan bahan makanan pokok dipasok dari luar. Di kampung Baduy Dalam bahkan terdapat warung makanan milik penduduk luar Baduy. Penjual ini membawa bakul dengan berjalan kaki dan diizinkan menginap sekaligus berdagang di rumah salah satu penduduk Baduy Dalam.

 

Masyarakat Baduy selain tetap mempertahankan tradisi leluhur, mengartikan modernisasi sebagai hal yang tidak bisa ditolak. Meskipun tidak secara terbuka mengakui kemajuan teknologi, anak muda Baduy Dalam memiliki smartphone. Kemajuan teknologi ini justru dimanfaatkan oleh anak muda Baduy untuk mempromosikan potensi wisata dan hasil produk dari masyarakat Baduy melalui media sosial ke masyarakat luas. Secara aturan adat tentu hal ini dilarang, tapi kemajuan teknologi ini bisa dimanfaatkan sebagai peluang untuk eksistensi suku Baduy kepada dunia luar. Dengan catatan, penggunaan HP dilakukan di Baduy Luar karena khusus di wilayah Baduy Dalam, seluruh masyarakat termasuk pengunjung dilarang mengambil gambar dan mengakses smartphone. Untuk mengisi daya listrik dan akses jaringan internet masyarakat Baduy Dalam perlu berjalan kaki sekitar 60 menit menuju ke desa terdekat yang berada di luar Baduy. Selain teknologi, masyarakat baduy juga bisa membaca, meskipun kemampuan masyarakat setempat masih sangat terbatas terutama dalam mengenal nama hari, tanggal dan tahun kelahiran. Pengetahuan ini mereka dapatkan dari pengunjung dari luar yang mengajarkan secara sukarela.

 

Penerimaan terhadap kehidupan yang modern juga terlihat dari jenis makanan yang dikonsumsi. Masyarakat Baduy banyak yang mengkonsumsi makanan yang mengandung pengawet. Pedagang di kampung Baduy Dalam terlihat menjual makanan seperti sarden, sosis instan, mie dan snack yang mengandung monosodium glutamat (MSG). Masyarakat Baduy mengenal makanan instan dari para pengunjung yang datang untuk berwisata. Kurangnya edukasi tentang bahaya makanan yang tidak sehat ini terjadi karena kurangnya akses informasi sehingga tidak mengetahui bahayanya jika terlalu sering mengkonsumsi makanan instan secara berlebihan. Masyarakat menganggap bahwa kebutuhan makanan yang penting sekedar mengisi perut dan tidak memperhatikan kesehatan gizi dan nutrisi. Edukasi terkait kesehatan menjadi penting mengingat banyak anak kecil yang memakan makanan sembarangan dan dikhwatirkan akan menganggu pertumbuhan.

 

Dalam konteks administrasi pemerintahan, untuk mengakses pelayanan publik masyarakat Baduy diharuskan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Penghayat kepercayaan diakui secara sah oleh negara melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tertuang dalam Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2). Dengan dikeluarkannya putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang isinya mengabulkan seluruh permohonan para pemohon dari penghayat kepercayaan terkait pencantuman kolom kepercayaan dalam dokumen kependudukan, termasuk KTP dan Kartu Keluarga (KK). Meskipun regulasi sudah memberikan hak pencatuman penghayat kepercayaan, kebijakan ini dalam implementasinya belum tersosialisasikan dengan baik hingga ke daerah. Penulisan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan belum tertulis di KTP. Nama agama yang tertulis adalah secara acak mulai dari Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu. Hal tersebut menjadi problema karena masyarakat Baduy yang merasa agama leluhurnya tidak diakui oleh negara. Di sisi lain, aturan adat secara prinsip tidak memperbolehkan kepemilikan KTP. Namun mengingat kebutuhan untuk keperluan administrasi misalnya untuk mengakses bantuan sosial dari pemerintah, masyarakat Baduy merasa membutuhkan KTP. Hal yang menarik dalam pembagian bantuan sosial di Baduy yaitu terletak pada pembagiannya. Dimana jika hanya sekitar 20 KK yang mendapatkan bantuan sosial, berapapun jumlahnya maka akan dibagi secara rata untuk seluruh penduduk kampung. Pembagian ini dikoordinir oleh ketua RT yang ditunjuk untuk melakukan komunikasi dengan pemerintahan formal.

 

Sebagai masyarakat adat yang memiliki aturan dan struktur tersendiri, relasi masyarakat Baduy dengan pemerintahan formal sangat komunikatif. Masyarakat Baduy merasa perlu untuk bersinergi dengan pemerintah formal untuk bertahan hidup. masyarakat Baduy pun paham bahwa selain ada aturan di wilayahnya, ada juga aturan yang lebih luas di negaranya. Mereka bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Isnendes, 2018). Seba adalah menyerahkan tanda penghormatan dan penghargaan masyarakat Baduy sebagai ‘nu tapa di mandala’ (yang bertapa di tanah suci) pada mereka ‘nu tapa di nagara’ (yang bertapa di negara).

 

Kontribusi pemerintah terhadap pembangunan di Baduy terlihat di Desa Keboncau, Kecamatan Bojongmanik, Kabupaten Lebak. Di desa ini terdapat pintu masuk ke Baduy Dalam yang biasa disebut dengan pintu masuk Binong. Di Binong dibangun saung budaya Baduy yang merupakan bantuan dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui Bank Mandiri. Relasi yang baik ini selain akan membantu eksistensi suku Baduy juga memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat. Pengelolaan saung budaya Baduy di Binong mengedepankan pemberdayaan masyarakat karena dikelola oleh masyarakat Baduy sendiri. Masyarakat Baduy bisa menjual hasil kerajinan seperti madu, kain tenun dan accessories di toko-toko yang tersebar di sekitar saung. Selain itu, keberadaan saung budaya Baduy di Binong yang secara administratif berada di wilayah luar Baduy menjadi harapan bagi masyarakat Baduy akan ketakutan kehilangan lahan. Meskipun regulasi di tingkat lokal sudah memberikan hak tanah ulayat, kurangnya dukungan dari aturan di atasnya terhadap pengakuan hukum masyarakat adat masih kurang kuat.

 

Referensi

Budiaman, d. (2020). Dilema Transformasi Kearifan Lokal Masyarakat Adat Baduy. Kota Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Hakiki, K. M. (2015). Keislaman Suku Baduy Banten: antara Islam dan Slam Sunda Wiwitan. Refleksi.

Isnendes, R. (2018, Juni). Upacara Seba Baduy: Sebuah Perjalanan Politik Masyarakat Adat Sunda Wiwitan. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/325707574

Maharani, S. D. (2009). Perempuan dalam Kearifan Lokal Suku Baduy. Jurnal Filsafat.

Senoaji, G. (2010). Masyarakat Baduy, Hutan dan Lingkungan. Jurnal Manusia dan Lingkungan, 113-123.

id_IDIndonesian