Dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia, DKI Jakarta menjadi magnet yang menggoda bagi para pengadu nasib dari seluruh penjuru nusantara. Hingga saat artikel ini ditulis, DKI Jakarta masih menjadi simpul politik dan ekonomi menyatu. Kawasan Sudirman Central Bussiness District (SCBD) misalnya, dapat dikatakan bahwa bisnis-bisnis besar di Indonesia dijalankan di kawasan ini, di samping tentu saja kawasan Kuningan (Asiatoday.id, 09/07/2022). Pada aspek politik, seluruh kantor pusat partai politik berada di DKI Jakarta. Parlemen dan tentu saja eksekutif juga berada di DKI Jakarta. Segala konsentrasi inilah yang menempatkan DKI Jakarta sebagai sentrum dari atensi nasional. Tidak terkecuali untuk dua eksekutif yang berada di DKI Jakarta, yakni eksekutif nasional (Presiden, Wakil Presiden, dan para Menteri) dan eksekutif lokal/provinsi (Gubernur DKI Jakarta).
Populi Center di tahun 2022 telah dua kali melakukan survei di Provinsi DKI Jakarta. Fokus utama survei ada pada bagaimana program-program yang telah dilakukan oleh Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta pada saat itu dinilai oleh warga masyarakat. Survei pertama dilakukan pada bulan Februari dengan hasil bahwa warga DKI Jakarta banyak memilih Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta di masa mendatang dengan 47,5 persen, serta sebagai Presiden di tahun 2024 dengan 29 persen. Survei kedua dilakukan pada bulan Oktober dengan hasil yang relatif tidak banyak berubah, Anies Baswedan tetap menjadi sosok yang dominan dipilih warga masyarakat DKI Jakarta sebagai Gubernur DKI Jakarta mendatang dengan 66,2 persen. Hal yang membedakan dengan survei pertama, pada survei kedua ini, kami menanyakan penilaian terhadap kebijakan-kebijakan Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta.
Hasil menunjukkan bahwa tiga kebijakan yang mendapatkan kepuasan tertinggi adalah Taman Maju Bersama (RPTRA) dengan 84,2 persen, Penerangan Jalan (81,9 persen), Kartu Jakarta Sehat (KJS) Plus (80,3 persen), sedangkan tiga kebijakan yang mendapatkan kepuasan terendah adalah Reklamasi Pantai Utara Jakarta (42,7 persen), Pelaksanaan Formula E (42,7 persen), dan Rumah DP 0 (33,3 persen) (Populi Center, 19/10/2022). Menariknya, janji kampanye yang digembor-gemborkan ketika Anies Baswedan melakukan kampanye pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2017 lalu, justru mendapatkan penilaian yang buruk. Padahal dibandingkan dengan janji kampanye dari pesaingnya, yakni Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), janji kampanye Anies Baswedan sudah jauh-jauh hari dinilai tidak realistis (Kompas, 28/08/2022; BBC, 18/03/2021). Meski mendapatkan penilaian buruk, Anies Baswedan tetap mendapatkan penilaian yang positif dari warga masyarakat.
Hal ini tentu aneh dan tampak janggal. Pertanyaan mendasar, ke mana pemilih BTP pada putaran kedua Pilgub DKI Jakarta 2017? Bagaimana mungkin seseorang yang gagal mewujudkan janji kampanyenya justru mendapatkan penilaian positif? Paling tidak, hasil ini memperkuat pemahaman yang terkadang bias kelas sosial, kita harus memahami bahwa politik tidak serta merta berkaitan dengan rasionalitas, terdapat pula sentimen personal yang terbangun di dalamnya. Di samping itu, unggulnya Anies Baswedan tidak mengherankan, di tengah anggaran DKI Jakarta yang melimpah, Anies Baswedan tidak memiliki sosok serius dengan rekam jejak integritas yang panjang. Giring dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tentu bukan sosok yang dapat menjadi penantang serius Anies Baswedan, pun demikian dengan BTP yang pintu untuk kembali duduk sebagai Gubernur DKI Jakarta sangatlah kecil, jika tidak hendak disebut tertutup rapat.
Di samping persoalan elektabilitas Anies Baswedan yang cukup tinggi. Apa yang dapat kita perhatikan dari dua hasil survei Populi Center di tahun 2022? Paling tidak, hasil ini mendorong kita untuk melihat dua hal utama. Pertama, kita perlu kembali menata asumsi kita terkait dengan pemilih perkotaan yang rasional dan berbasis pada kebijakan. Kedua, kita perlu kembali melihat bahwa pada akhirnya populisme yang mewarnai Pilgub DKI Jakarta 2017 hanyalah alat kampanye. Kala itu kekuasaan terlihat secara jelas, terang benderang, menunjukkan watak kebengisannya. Benturan keras di masyarakat dengan sentimen agama dinikmati oleh elite yang pada akhirnya tidak berdaya mewujudkan janji kampanyenya sendiri.
Jerat Praktik Populisme
Populisme memiliki banyak sekali variasi bentuknya, namun apabila kita menggunakan satu definisi umum untuk menjelaskannya, populisme dapat dipahami sebagai sebuah narasi yang biasanya dilakukan oleh elite politik dengan tujuan untuk menunjukkan benturan antara elite dominan yang dinilai mengkhianati rakyat, terutama kelas sosial dominan yang umumnya merupakan kelas sosial menengah ke bawah (Muhtadi, 2019; Triwibowo & Martha, 2021). Biasanya elite yang menggunakan gaya berpolitik populis merupakan elite karismatik yang memiliki kemampuan naratif yang mengagumkan. Persoalannya, terdapat kecenderungan untuk pemimpin populis membawa narasi-narasi yang dari sisi politik membela kelas sosial bawah, namun pada akhirnya sulit untuk diimplementasikan (Imawan, 2020). Pada contoh Pilgub DKI Jakarta 2017, janji mengenai Program Rumah DP 0 persen merupakan salah satunya.
Melihat realitas empiris yang terlihat melalui survei di bulan Oktober, kita dapat memahami bahwa populisme yang dibangun oleh Anies Baswedan hanya dipergunakan sebagai media kampanye, hanya sebagai cara untuk mendapatkan kursi Gubernur DKI Jakarta. Sikap paling mudah terlihat perbedaannya pada perhelatan Pilgub DKI Jakarta 2017, Anies Baswedan menikmati asosiasi dirinya dengan gerakan 212, Front Pembela Islam (FPI), maupun kelompok pasca gerakan 212 dalam bentuk PA 212 (Triantoro, 2019; Tempo, 10/08/2020; Hamid, 2019). Ketika peluang untuk menjadi Presiden hadir, baik PA 212 maupun Anies Baswedan berusaha untuk tidak mengasosiasikan antarsatu dan lainnya (Tribun News, 03/12/2021; CNN Indonesia, 01/12/2022). Pada konteks ini, menurut saya, Anies Baswedan memahami bahwa kepemimpinan nasional membutuhkan kepemimpinan yang pluralis, bukan kepemimpinan yang didasarkan pada sentimen suku, ras, dan agama tertentu.
Luka terhadap penggunaan sentimen agama dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 telah membawa luka yang dalam. Ketika dalam beberapa kesempatan saya berkomunikasi dengan teman-teman akademisi di Nusa Tenggara Timur (NTT) maupun di Sulawesi Utara (Sulut) misalnya, tampak bahwa Pilgub DKI Jakarta 2017 banyak dinilai sebagai Pilgub paling menjijikkan dan tidak etis, mengingat kekuasaan diambil dengan melukai pluralisme Indonesia. Namun apa yang dapat dikata, sejarah telah tercatat, dan pertanyaan selanjutnya apa yang dapat diambil dari peristiwa tersebut. Dari aspek akademik, terdapat pertanyaan besar, bagaimana narasi populisme agama yang telah melekat ke Anies Baswedan dapat lepas dan berubah menjadi populisme yang lebih dekat dengan benturan kelas sosial?
Ketika Joko Widodo (Jokowi) melaju dari Walikota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta, hingga akhirnya menjadi Presiden Republik Indonesia, Jokowi pada saat itu menggunakan cara-cara populis dengan menekankan pada pentingnya nasionalisasi atau kemandirian bangsa. Kita masih mengetahui bagaimana narasi mobil SMK yang digaungkan akan menjadi mobil nasional (Kompas, 16/02/2021). Terlepas dari pro dan kontra terhadap mobil SMK, populisme yang dibangun oleh Jokowi tentu sangat berbeda dengan populisme yang dibangun Anies Baswedan. Jokowi ketika terorbit menjadi elite nasional, tidak pernah menggunakan narasi agama, justru pendekatan komunikatif yang sering kali menjadi ganjalan penerapan kebijakan, berhasil menjadi cara untuk mengatasi deadlock pembangunan. Pendekatan blusukan, secara tidak langsung menunjukkan bagaimana persoalan Indonesia ada pada aspek implementasi kebijakan dan komunikasi antarkelas sosial. Populisme yang dibawa oleh Jokowi lebih dekat dengan populisme ala pemimpin karismatik di Amerika Latin dengan narasi dominan berupa nasionalisasi.
Pergeseran dari citra populisme agama yang melekat ke sosok Anies Baswedan, suka tidak suka menjadi momok bagi ambisinya untuk dapat terpilih sebagai pemimpin nasional di masa mendatang. Sekeras apapun Anies Baswedan hendak melucuti citra tersebut, narasi tersebut akan terus ada, terutama di era kehidupan sosial-politik-ekonomi yang telah banyak menggunakan teknologi sebagai media interaksi keseharian. Sulit bagi siapapun untuk melepaskan jejak digital yang melingkupinya, oleh karenanya selama narasi populisme agama masih melekat ke diri Anies Baswedan, akan sulit baginya untuk membangun kembali narasi pemimpin pluralis yang pernah dibangunnya ketika menjabat sebagai rektor Universitas Paramadina.
Evolusi Populisme
Babak akhir tulisan ini hendak saya tutup dengan satu pertanyaan yang menurut saya penting untuk menjadi kontemplasi bagi konsepsi populisme yang selama ini kita pahami. Secara umum, diskursus terkait populisme menekankan pada pemimpin karismatik dan narasi melawan elite yang menindas. Biasanya elite yang dinilai menindas adalah elite yang tengah berkuasa. Pertanyaannya, apakah harus selalu pemimpin populis yang menekankan bahwa pemimpin sebelumnya adalah pemimpin yang menindas? Bagaimana dengan kontestasi pada pemilu di tahun 2024 mendatang? Bagaimanapun juga, terlepas dari pro dan kontra, Presiden Jokowi telah dalam beberapa hal menerapkan kebijakan populis sembari tetap menyeimbangkan kekuasaan, terutama friksi antarelite. Dengan posisi tersebut, apakah setiap kandidat yang hendak maju sebagai calon presiden harus mengatakan bahwa Presiden Jokowi lalim terhadap rakyat?
Narasi yang mengatakan bahwa Jokowi lalim terhadap rakyat, barangkali dapat bekerja apabila Jokowi juga merupakan kontestan pada pemilu mendatang. Mengingat Jokowi bukanlah kontestan, maka narasi tersebut tampaknya tidaklah relevan. Terlebih lagi, menurut saya akan ada banyak peluang bagi kehadiran model-model populisme baru. Misalnya, di samping Anies Baswedan, terdapat sosok lain yang cukup kuat dalam diri Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Khusus untuk Ganjar Pranowo, kita dapat mengatakan bahwa Ganjar Pranowo merupakan salah satu tokoh populis dikarenakan interaksi langsungnya dengan masyarakat melalui media sosial. Mirip dengan Jokowi, narasi utama dari Ganjar Pranowo ada pada nasionalisme dan toleransi, sebuah narasi yang bertolak belakang dengan citra yang melekat terhadap Anies Baswedan. Meski demikian, uniknya Ganjar Pranowo tidak terlalu membawa narasi sebagai penerus ataupun mengkritik Jokowi. Ganjar Pranowo berdiri dengan narasi yang dibangunnya sendiri sebagai tokoh pluralis. Pun demikian dengan Ridwan Kamil yang tidak menyinggung elite lama ataupun elite yang saat ini sedang berkuasa, namun Ridwan Kamil tetap dapat masuk ke dalam kategori pemimpin populis.
Apa yang terjadi pada Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil menunjukkan satu hal penting, bahwa politik kontemporer memiliki landscape politik yang berbeda dibandingkan delapan maupun sepuluh tahun yang lalu. Apalagi jika dibandingkan dengan politik pada ketika populisme tumbuh di Amerika Latin, maupun ketika Jokowi maju sebagai Gubernur DKI Jakarta di tahun 2012. Perubahan landscape inilah yang patut untuk dicermati, apakah dengan semakin kuatnya media sosial mendorong evolusi populisme? Perlukah kita mendefinisikan ulang populisme didasarkan pada arena politik yang melekat padanya? Ataukah kita masih tetap dapat menggunakan definisi generik populisme untuk membaca gerak elite politik di tahun 2024 mendatang?
Pertanyaan-pertanyaan ini tentu membutuhkan elaborasi yang serius. Apabila landscape berpengaruh, maka barangkali Anies Baswedan dapat melepaskan jerat populisme agama yang melekat padanya, namun bisa juga sebaliknya. Tulisan pendek ini berusaha untuk memantik pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang perlu untuk kita renungkan, terutama ketika kita membicarakan populisme dan kontestasi politik. Layaknya konsep-konsep lain yang bekerja dalam ilmu politik, pendefinisian konsep populisme pada akhirnya pasti akan perlu untuk ditinjau ulang relevansinya dalam membaca praktik politik kontemporer.
Referensi
Asia Today, 9 Juli 2022, SCBD Jakarta, Kawasan Kumuh yang Menjelma Jadi Pusat Bisnis Mentereng, https://asiatoday.id/read/scbd-jakarta-kawasan-kumuh-yang-menjelma-jadi-pusat-bisnis-mentereng
BBC, 18 Maret 2021, Rumah DP 0 Rupiah Jakarta – realistis atau dalih politik?, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56434618
Berita Satu, 26 November 2021, Ini Besaran APBD DKI dari Tahun ke Tahun di Era Anies, https://www.beritasatu.com/megapolitan/859349/ini-besaran-apbd-dki-dari-tahun-ke-tahun-di-era-anies
CNN Indonesia, 1 Desember 2022, Panitia Reuni 212 Beber Alasan Tak Undang Anies Baswedan, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221201070845-20-881161/panitia-reuni-212-beber-alasan-tak-undang-anies-baswedan.
Hamid, A. (2019). Populism in the 2017 Jakarta gubernatorial election. Journal of Governance, 4(1), 1-15.
Imawan, RP. Di Balik Kehendak Rakyat: Tautan Antara Populisme dan Kebijakan Publik di DKI Jakarta, dalam Budiman, H (ed.). (2020), Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, Politik, dan Ruang Ibu Kota, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Kemenkeu, 26 April 2021, Mengapa DKI Jakarta memiliki anggaran yang begitu besar, https://djpk.kemenkeu.go.id/?epkb_post_type_1=mengapa-dana-dki-jakarta-bisa-sangat-jauh-dengan-yg-lainnya-apa-yg-bisa-jd-argumen-kuat-mengapa-dki-jakarta-bisa-memiliki-anggaran-yg-begitu-besar-dan-jauh-dibandingkan-dengan-provinsi-lainnya
Kompas, 16 Februari 2021, Mengenang Upaya Jokowi yang Berencana Jadikan Esemka Mobil Nasional, https://nasional.kompas.com/read/2021/02/16/09425521/mengenang-upaya-jokowi-yang-berencana-jadikan-esemka-mobil-nasional.
Kompas, 28 Agustus 2022, Janji Kampanye Anies soal Rumah DP 0 Persen yang Berubah ke Pembangunan Rusunawa, https://megapolitan.kompas.com/read/2022/08/20/06000061/janji-kampanye-anies-soal-rumah-dp-0-persen-yang-berubah-ke-pembangunan?page=all.
Muhtadi, B. (2019). Populisme, politik identitas, dan dinamika elektoral: mengurai jalan panjang demokrasi prosedural. Intrans Publishing.
Populi Center, 19 Oktober 2022, Rilis Survei DKI Jakarta: Permasalahan Penting dan Dinamika Politik Jakarta, https://populicenter.org/2022/10/19/rilis-survei-permasalahan-penting-dan-dinamika-politik-jakarta/
Populi Center, 26 Oktober 2022, Rilis Survei Nasional: Evaluasi Tiga Tahun Kinerja Joko Widodo – KH. Ma’ruf Amin Dan Dinamika Politik Menjelang Pemilu 2024, https://populicenter.org/2022/10/26/evaluasi-tiga-tahun-kinerja-joko-widodo-kh-maruf-amin-dan-dinamika-politik-menjelang-pemilu-2024/
Populi Center, 9 Februari 2022, Rilis Survei DKI Jakarta: Evaluasi Kinerja Pemprov DKI Jakarta dan Peta Politik Menuju Pilgub 2024, https://populicenter.org/2022/02/09/rilis-survei-populi-center-9-februari-2022/
Tempo, 10 Agustus 2020, Singgung Kemenangan Anies di 2017, PA 212: Diwarnai Gerakan Kami, https://metro.tempo.co/read/1374245/singgung-kemenangan-anies-di-2017-pa-212-diwarnai-gerakan-kami
Triantoro, D. A. (2019). Praktik Politik Identitas dalam Akun Media Sosial Anies-Sandi. Jurnal Ilmu Komunikasi, 16(1), 19-40.
Tribun News, 3 Desember 2021, Dua Kali Absen, Pengamat Sebut Anies Jaga Jarak Demi Pilpres 2024, PA 212 : Jangan Anggap Kami Musuh, https://bogor.tribunnews.com/2021/12/03/dua-kali-absen-pengamat-sebut-anies-jaga-jarak-demi-pilpres-2024-pa-212-jangan-anggap-kami-musuh.
Triwibowo, A., & Martha, J. (2021). The Use of Populism as a Pragmatist Approach in Indonesia. Insignia: Journal of International Relations, 8(2), 101-116.