Iklim ketenagakerjaan di Indonesia mengalami periode cobaan cukup berat akibat pandemi COVID-19 dan sedikit banyaknya terdampak perubahan situasi global akibat krisis peperangan di Ukraina akibat invasi Rusia. Di tengah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait inkonstitusionalnya Undang-undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang diterbitkan oleh Pemerintahan Joko Widodo di tahun 2020. Ragam reaksi terutama dari tenaga kerja ataupun buruh tidak henti terjadi mengatakan bahwa UU berikut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang diterbitkan di tahun 2023 masih tidak berpihak pada nasib para pekerja.
Secara umum, kondisi ketenagakerjaan Indonesia sudah berubah jauh sebelum krisis global terjadi. Di tahun 2022, total keseluruhan tenaga kerja Indonesia berjumlah 80,24 juta orang dari 275,77 total jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2022). Dari segi pendidikan sendiri, jumlah angkatan kerja dengan ijasah Diploma, Akademi, dan Universitas meliputi 70,01 persen dengan usia berkisar antara 30-59 tahun, diikuti dengan 26,15 persen usia 15-29, dan 3,84 persen usian di atas 60 tahun (BPS, 2022). Ketimpangan terjadi bila melihat komposisi penyusun angkatan kerja di perkotaan yaitu 73,76 persen dibandingkan dengan mereka yang hidup di perdesaan, yaitu 26,24 persen. Komposisi angkatan kerja berpendidikan tinggi dari sisi jenis kelamin tidak berbeda terlampau jauh, yaitu 51,37 persen laki-laki berbanding 48,63 persen perempuan.
Dari data jumlah tenaga kerja sebelum pandemi dan setelahnya menunjukkan tren ke arah pergerakan dari sektor formal ke sektor informal (Kemnaker 2021). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2022), prosentase pekerja informal di Indonesia mencakup lebih dari 50 persen (59,31%) dari jumlah total tenaga kerja Indonesia yaitu sekitar 80.24 juta orang. Walaupun angka tersebut menurun dari sebelumnya di tahun 2021 sejumlah 59,45% atau sejumlah 78,14 juta orang, jumlah tersebut naik dari tahun 2020.
Faktor-faktor penting mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan secara global adalah: Pertama, terjadinya revolusi teknologi yang dibarengi oleh digitalisasi, meningkatnya penggunaan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, pengoptimalan biometrik menggantikan identifikasi konvensional, proses otomasi mengganti tenaga kerja manusia ke mekanik, tranformasi peralatan teknologi konvensional ke arah robot, dan penggunaan big data dalam penentuan keputusan berdampak pada kesejahteraan publik. Kedua, terdapatnya revolusi keahlian dimana terjadi perubahan teknologi yang berujung pada timbulnya gap atau mismatch antara kebutuhan tenaga kerja dengan kompetensi yang ada.
Ketiga, perubahan budaya yang salah satunya diakibatkan oleh derasnya pertukaran informasi melalui kanal media sosial mengubah gaya hidup para pekerja dan calon pekerja yang memiliki tanggung jawab, persepsi terhadap keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan, pandangan terhadap nilai-nilai kepatutan sosial, dan penilaian kebutuhan organisasi masa depan menjadi sangat berbeda. Keempat, perubahan demografi seiring dengan meningkatnya kualitas hidup manusia, gaya hidup yang cenderung menunda usia perkawinan, menurunnya populasi penduduk di negara maju dan meningkatnya jumlah populasi penduduk di negara berkembang mendorong bertambahnya ageing population atau populasi penduduk berusia renta, perpindahan penduduk berupa migrasi dan urbanisasi, berujung pada tekanan besar pada pasar kerja dan kebutuhan tinggi pada perlindungan sosial. Terakhir adalah perubahan iklim telah mengancam sektor pekerjaan pertanian dan industri berbasis sumber daya alam untuk sesegera mungkin menyikapi dampak buruk penambahan suhu global dengan transisi menuju ekonomi hijau, kebijakan industri rendah karbon, dan penggunaan energi alternatif sebagai mode produksi ramah lingkungan (Kemnaker 2022).
Tantangan global megatrend tersebut sangat mendesak untuk pemerintah Indonesia sikapi terutama bila kesejahteraan seluruh penduduk Indonesia merupakan tujuan bersama. Semangat inklusi terutama bagi para pekerja disabilitas, perempuan, dan kaum muda perlu mendapat perhatian bersama. Bonus demografi atau demography dividen yang sedianya terjadi di tahun 2045 akan memberikan kontribusi pekerja usia produktif sekitar 203,97 juta orang. Bila pemerintah Indonesia tidak melakukan tindakan berarti, tentu Indonesia akan mengalami goncangan dari segi sosial ekonomi yang dapat mengancam kualitas ketenagakerjaan Indonesia untuk bersaing di kancah global.
Populi Center melalui survei nasional periode 27 Maret sampai 3 April 2023 mencoba menangkap animo masyarakat, salah satunya terkait isu ketenagakerjaan Indonesia. Terlepas dari polemik UU Cipta Kerja, dari keseluruhan pendapat responden, tingkat kepuasaan terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo – K.H. Ma’ruf Amin dalam penciptaan lapangan kerja ternyata masih menduduki level kepuasan rata-rata cukup tinggi yaitu total 65,8 persen menunjukkan sangat puas (6,7 persen) dan puas (59.1 persen).
Dari hasil suvei tersebut, 18,9 persen responden memandang bahwa isu mendesak ketenagakerjaan Indonesia ada pada masalah perlindungan tenaga kerja Indonesia. Kemudian, 17.2 persen lainnya mengatakan bahwa pemberian jaminan kesehatan merupakan isu mendesak yang perlu pemerintah perhatikan.
Mengingat tantangan sedemikian rupa mengancam pekerja di sektor formal, Indonesia Presidensi G20 di dalam kelompok ketenagakerjaan mendorong pembahasan isu penting ketenagakerjaan, antara lain tentang kebutuhan pelatihan untuk mendorong jiwa kewirausahaan dengan melalui peningkatan kompetensi tenaga kerja melalui balai latihan kerja (vocational training) dan perlindungan dan jaminan kerja terutama pada kaum marjinal, perempuan. Dari hasil survey, rata-rata responden (77,1 persen) mengatakan bahwa mereka berminat untuk mengikuti pelatihan wirausaha di Balai Latihan Kerja (BLK) yang ada di sekitar lingkungan mereka. Sementara itu, kepuasan responden terhadap kebijakan pemberian perlindungan dan jaminan atas hak-hak pekerja perempuan, seperti cuti haid, cuti hamil, dan lainnya menunjukan rata-rata kepuasan sebesar 67,7 persen.
Dengan demikian, paska keputusan Mahkamah Agung tentang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja yang dinyatakan cacat secara formil, pemerintah meresponsnya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja mengisi kekosongan hukum selama berproses di DPR-RI. Data survei, ternyata memperlihatkan bahwa tingkat kepuasan responden terhadap kebijakan semisal penyediaan lapangan kerja masih cukup tinggi. Namun demikian, pemerintah tentu perlu terus memperbaiki kinerja mereka terutama dalam merespons kebutuhan mendesak ketenagakerjaan dalam hal pemberian perlindungan tenaga kerja, jaminan kesehatan, dan perhatian kepada nasib tenaga honorer.