Konflik Kekuasaan

Secara sosiologi, hukum memiliki dua wajah sekaligus. Dua wajah ini selalu berdampingan, tidak bisa dihapus sebagai realitas sosiologis.

Pertama, wajah hukum yang tak terikat oleh ruang dan waktu, bersifat obyektif, yaitu struktur yang mengontrol setiap aktor, imparsial, dan mewujudkan kepentingan umum. Kedua, wajah hukum yang terikat ruang dan waktu, bersifat subyektif, yaitu struktur yang menjadi sumber daya bagi praktik dominasi aktor, dan memberi legitimasi atas pilihan praktik—wacana.

Lantas selama tahun 2024, wajah hukum mana yang hadir dalam dunia kenyataan publik?

[ez-toc]

 

Melacak kepentingan

Kepentingan para aktor merupakan major force (menentukan) bagaimana wajah hukum hadir di dunia kenyataan publik. Kepentingan mendorong setiap aktor berpolitik, menciptakan strategi-strategi kekuasaan melalui berbagai praktik sosial—wacana. Wajah hukum dengan sifat obyektif akan dicapai ketika kepentingan-kepentingan menjadikan kebaikan bersama sebagai tujuan.

Namun, pada saat bersamaan, kebaikan bersama hanyalah absurditas para penganut ideal sosial dalam teori-teori positivisme. Sebab, secara fakta historis masyarakat, kebaikan bersama selalu harus melewati konflik antarberbagai kepentingan subyektif aktor-aktor, baik individu maupun kelompok.

 

“Selama perjalanan demokrasi Indonesia, hukum selalu diseret oleh berbagai kepentingan subyektif aktor-aktor sebagai strategi kekuasaan.”

 

Oleh karena itu, selama perjalanan demokrasi Indonesia, hukum selalu diseret oleh berbagai kepentingan subyektif aktor-aktor sebagai strategi kekuasaan. Akibatnya, secara sosiologis menciptakan konflik kekuasaan dalam arena-arena hubungan sosial, terutama arena politik.

Harus dipahami, kekuasaan dalam konteks demokrasi digital, melalui media sosial, tidak berada dalam satu pusat aktor, tetapi berada dalam jaringan kompleks hubungan sosial dari setiap kepentingan subyektif. Kekuasaan dari kepentingan subyektif elite—ketua partai, konglomerat, influencer medsos, kepala negara, legislator, tukang bakso, dan seterusnya.

Aktor-aktor memperjuangkan kepentingan subyektif masing-masing di arena yang sama sehingga menciptakan konflik kekuasaan dalam keseharian bangsa. Tidak dalam pengertian salah atau benar, baik atau buruk, sebab kepentingan subyektif adalah hak otonom aktor.

Seperti pada bab konflik politik pasca-Pemilu 2024, kepentingan subyektif para aktor memproduksi dan mereproduksi praktik-praktik kekuasaan dengan memberdayakan hukum dalam arena spesifik. Misal, kasus Megawati dan Joko Widodo (Jokowi) sebagai konflik kekuasaan paling menonjol di atas panggung politik nasional selama 2024, yang sudah dimulai di tahun sebelumnya.

Keduanya aktor, dalam pengertian individu atau kelompok dan jaringan kompleks aktor digital, di mana hukum jadi sumber daya dalam praktik kekuasaan masing-masing.

Konflik kekuasaan antarkepentingan subyektif ini yang mengombang-ambingkan hukum di antara wajah obyektif dan subyektif. Korban kondisi ini adalah setiap aktor, warga negara, termasuk Megawati dan Jokowi.

 

Kepentingan transformasional

Natur konflik kepentingan subyektif adalah menang atau kalah, sirnakan pesaing untuk mengambil alih sumber daya yang diperebutkan. Seperti ungkapan Titus Maccius Plautus, melalui Thomas Hobbes, ’homo homini lupus’. Tak perlu terlalu disesalkan dan dicemaskan.

Sebab, realitas sosial selalu merupakan pergerakan kepentingan-kepentingan subyektif yang juga dilindungi norma demokrasi. Perkara paling fundamental untuk keselamatan bangsa bukanlah mengutuk kepentingan subyektif, melainkan mengupayakan terbentuknya kepentingan transformasional, termasuk dalam arena politik.

Belum ada referensi teoretik secara langsung dari istilah kepentingan transformasional.

Namun, merujuk pada pengertian dalam kajian sosiologi kritis, transformasi sosial adalah upaya mengubah kondisi, termasuk praktik atau tindakan aktor sosial berlandaskan pada substansi demokrasi, seperti kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan. Substansi demokrasi ini secara organik berpeluang menciptakan kepentingan baru tersepakati, yaitu kepentingan untuk kebaikan bersama.

Berharap para aktor dalam konflik kekuasaan melakukan transformasi kepentingan secara alami? Mungkin sangat sulit. Karena secara empiris aktor-aktor dalam konflik kekuasaan sudah cenderung terjebak dalam lingkaran dendam. Oleh karena itu, upaya menciptakan kepentingan transformasional butuh dua tangan kuat.

Pertama, tangan kuat aktor-aktor yang mengintervensi konflik kekuasaan, misal antara Megawati dan Jokowi, dalam bentuk praktik mediasi.

 

“Belum terbaca adanya proses mediasi serius dari aktor-aktor demokrasi. Saat ini yang sedang berlangsung adalah pengubuan tajam.”

 

Pada kasus konflik kekuasaan keduanya belum terbaca adanya proses mediasi serius dari aktor-aktor demokrasi. Saat ini yang sedang berlangsung adalah pengubuan tajam, bukan hanya para aktivisme demokrasi, melainkan juga para ilmuwan sosial.

Asosiasi keilmuan sosial politik, hukum, dan lain-lain perlu merefleksi apakah bisa atau perlu menjadi tangan kuat bagi mediasi dalam konflik kekuasaan?

Kedua, tangan kuat dalam bentuk praktik-praktik wacana reflektif kedamaian di ruang publik demokrasi yang mengutamakan keharusan nirkekerasan dalam semua bentuknya, dan memangkas lingkaran dendam. Wacana reflektif kedamaian ini akan menjadi jalur fondasional, vehicle, bagi setiap kepentingan subyektif untuk tetap berjalan di atas kesadaran kemanusiaan. Apalagi kemanusiaan juga merupakan sisi lain natur makhluk hidup.

Resolusi 2025 bangsa Indonesia perlu memasukkan kepentingan transformasional dalam daftar misi kolektif. Tidak hanya dalam kasus konflik kekuasaan terkait dengan pemilu dan pilpres, tetapi juga dalam arena konflik kekuasaan lainnya secara nasional dan daerah.

Kepentingan transformasional menjadi ’jimat’ yang dimiliki bersama agar hukum mendekati sifat obyektifnya. Juga selalu dibutuhkan tangan-tangan kuat yang berusaha berada di tengah melalui praktik mediatifnya, serta menciptakan jalur kesadaran kemanusiaan sehingga sifat obyektif hukum bisa didekati dalam jarak paling dekat, yang bekerja untuk menciptakan kebaikan bersama.

Bonum commune!

 

 

Artikel telah terbit di Kompas.id

id_IDIndonesian