Dissecting Indonesian Muslim Middle Class Politics

Kelas menengah muslim Indonesia masih terus berupaya membangun ruang eksistensi dan ruang idealitas, serta perlu membangun gagasan konstruktif alih-alih hanya di arena konsumtif. Demikian dipaparkan Wasisto Raharjo Jati dari Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI dalam diskusi Forum Populi, 7 Juni 2017 di Jakarta. Diskusi ini membedah buku karya Wasisto Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia (2017), yang diangkat dari riset selama berkarier sebagai peneliti LIPI.

“Konsep kelas sebetulnya tidak dikenal dalam Islam, lebih sering disebut umat, mengedepankan sisi kolektivitas,” kata Wasisto mengawali diskusi. Kelas muncul sebagai bentuk respons terhadap alienasi umat Islam pasca-Orde Baru. Pada akhir 1980-an, situasi berubah dengan berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Konsep kelas kemudian digunakan untuk menjelaskan adanya penguatan dan kebangkitan umat secara sosial politik dalam ruang publik saat ini.

Wasisto mendefinisikan kelas menengah muslim Indonesia sebagai kelompok kelas menengah yang menggunakan prinsip, norma, dan nilai Islam sebagai identitas politik individu dan kelompok yang adaptif pada konteks politik yang melingkupinya. Berawal dari kelompok santri, dalam konteks saat ini terjadi “resantrinisasi”, yang muncul dari aktivitas kelompok studi di kampus-kampus sekuler seperti Paramadina (Jakarta), Shalahuddin (Yogyakarta) dan Salman (Bandung).

Konteks kelas menengah muslim Indonesia, menurut Wasisto, dipengaruhi dua hal, yakni Islam sebagai modal kultural dan sebagai praktik kelas. Islam sebagai modal kultural yaitu komoditisasi nilai, norma, dan perilaku Islam sebagai modal sosial, misalnya aktivitas majelis taklim, budaya populer pemakaian jilbab, hingga eksis di media sosial. Dalam praktik kelas, mereka berusaha mengidentifikasi sebagai kelompok muslim baru. Uniknya, masing-masing kelompok saling tereksklusi berdasarkan organisasi dan mazhab atau aliran pengajian.

Penerimaan Islam di kalangan kelas menengah muslim Indonesia pun dibagi Wasisto menjadi dua, yaitu pemahaman secara emosional atau fungsional dan pemahaman secara spiritual. Secara emosional, misalnya dengan meminta disebut bergelar haji, menabung di bank syariah, menggunakan kosakata Arab atau merokok sisha. Pemahaman secara spiritual mengakar dalam tradisi pesantren, yang berkembang di komunitas Gus Durian maupun model majelis-majelis habaib.

Genealogi kelas menengah muslim Indonesia dijelaskan Wasisto lahir dari tiga muara, yaitu kalangan intelektual, borjuasi, dan filantropi. Muara intelektual berangkat dari kampus dan komunitas epistemik, seperti konsep masyarakat madani yang digagas Cak Nur. Diskursus yang dikembangkan berubah-ubah seiring perubahan zaman. Wacana yang dibangun mengalami proses adaptasi, dari Islam Politik, Islam Sipil, Muslim Demokrat, Islam Nusantara, hingga Islam Berkemajuan.

Secara borjuasi, kelas menengah  bekerja sekaligus berupaya memperkuat basis ekonomi. Jika dulu Sarekat Islam berbasis pada pedagang batik, sekarang Front Pembela Islam (FPI) bisa kuat karena ada akses ekonomi, mempunyai lahan parkir hingga klinik kesehatan. Secara filantropi, titik berangkatnya dari Weberian, yaitu semangat Al-Ma’un sebagai spirit penting bahwa bekerja juga sekaligus berbagi. Contohnya dalam aktivitas rumah-rumah yatim, yang disebut sebagai pembersih harta dan bentuk kepedulian.

Islam populer menjadi ekspresi kelas menengah muslim Indonesia, menurut Wasisto, adalah bagian dari upaya mempopulerkan Islam dalam bentuk komoditas visual dan materi. “Terjadi amalgamasi Islam dan modernitas yang tumbuh di ruang publik, terjadi proses adaptasi,” ungkap Wasisto. Di sisi lain, Islam populer bisa pula dimaknai sebagai perkawinan antara konservatisme dengan kapitalisme, atau penetrasi kapitalisme dalam pasar Islam. “Yang penting ada embel-embel syariah,” kata Wasisto.

Gejala lain yang diamati Wasisto dalam kelas menengah muslim Indonesia adalah urban sufisme. Fenomena modernitas high tech, high touch menimbulkan anomali dan distorsi, mengubah kelas menengah urban menjadi pekerja mekanik. Agama muncul sebagai solusi transendental, sehingga merebak pengajian-pengajian yang dikelola oleh Aa Gym atau Yusuf Mansyur. Fenomena lainnya adalah populernya film Ayat-ayat Cinta, atau trend pemberian nama-nama Islami kepada anak-anak kelas menengah urban.

Kesalehan sosial di kalangan kelas menengah muslim Indonesia kini ditengarai Wasisto bukan lagi pada ranah pribadi, tetapi jadi masalah kolektif. Kesalehan sosial adalah upaya membentuk soliditas dan solidaritas sebagai sebuah kelas. Kesalehan sosial dapat dilihat dalam dua hal, yaitu secara ritual maupun secara simbolik. Secara ritual, seseorang pergi ke masjid untuk beribadah, sekaligus masyarakat menganggapnya sebagai orang saleh. Atau memasang kaligrafi di dinding rumah, lebih kuat kesan simboliknya.

Fenomena populisme Islam menurut Wasisto muncul sebagai respons aliansi antar-elemen dalam kelas menengah muslim Indonesia, menjadi payung besar bagi para pengusung ide-ide khilafah, syariah, maupun menolak pemimpin kafir. Terjadi upaya rekognisi Islam, ketika partai-partai Islam tidak tampil secara formal. Ada tiga wujud ekspresi populisme Islam, yaitu sebagai ideologi (misalnya khilafah), sebagai komunikasi politik (munculnya patron untuk mewadahi umat Islam melalui aksi belas Islam), dan sebagai gaya politik (ulama jadi broker politik).

Menanggapi paparan, peneliti Populi Center Rafif Imawan melihat poin penting dalam kajian Wasisto adalah terjadinya pergeseran norma yang mendorong interaksi sosial. Wasisto dengan gamblang menjelaskan beragam ekspresi kelas menengah muslim Indonesia, tetapi belum ada titik terang premis yang ingin ditampilkan. Kategorisasi kelas menengah muslim  pun bisa dibagi-bagi lagi. Kelas menengah atas memakai atribut untuk mengembangkan jejaring bisnis, sedang kelas menengah bawah untuk bertahan hidup.

Direktur Populi Usep S. Ahyar menilai kelas menengah muslim sebagai sesuatu yang kompleks, dari sisi pemahaman dan bagaimana terbentuknya dari aspek sosial, ekonomi, dan politik. Secara ekonomi, kelas menengah yang pengeluaran sebulan Rp 2 juta jumlahnya mencapai 130 juta, 70%-nya adalah muslim. Faktor eksternal yaitu Revolusi Iran 1979 membuat Islam tidak lagi dianggap kumuh. Terjadi apa yang disebut “priyanisasi santri”, gejala yang bisa diukur secara kuantitatif. Berbeda dengan konsep ikhlas yang mesti dijelaskan secara kualitatif.

“Fenomena ICMI lebih merepresentasikan kalangan priyayi yang kebetulan Islam, sesuatu yang sebelumnya disembunyikan,” kata Usep. Mereka yang dulunya mendengar sholawatan menemukan kehausan spiritual dalam lagu-lagu Bimbo. Menariknya, secara ritual makin saleh, tetapi pandangan keislamannya makin konservatif. Sebelum reformasi, kelas menengah muslim seperti Gus Dur dan Cak Nur mendorong demokratisasi, berbeda dengan sekarang. Dari hasil survei, makin tinggi level kepemimpinan dan makin luas wewenang, publik makin tidak setuju sosok non-muslim yang memimpin.

Peneliti LIPI Pandu Yushina Adaba mempertanyakan terminologi kelas menengah muslim yang digunakan Wasisto. “Apakah kelas menengah yang muslim, ataukah muslim yang kelas menengah, akan berbeda konsekuensinya,” kritik Pandu. Pada masa akhir Orde Baru, terminologi kelas sering disebut dalam ilmu sosial, tapi tidak pernah jelas. Kelas dipandang dari relasi proses produksi ataukah pada hierarki konsumsi, dan kelas menengah berada di titik antara kelas atas dan kelas bawah. “Yang terjadi adalah ekspresi simbolik, bukan komoditas, bahwa kelas ini yang mengonsumsi komoditas,” kata Pandu.

Menurut Wasisto, kajian yang dilakukannya adalah sebuah upaya rekonstruksi kelas menengah muslim. “Secara populer kelas menengah didekati secara kuantitatif, berapa pengeluaran per dolar, tetapi saya menggunakan pendekatan everyday politics,” jelas Wasisto. Melalui observasi, wawancara mendalam, ataupun pengalaman pribadi, didapatkan tipologi seberapa kuat pemahaman Islam dan bagaimana masyarakat menganggap mereka kelas menengah muslim. Mereka adalah being Islam, Islam baru, Islam konservatif, Islam santri hingga Islam radikal, dengan kelompok being Islam jumlahnya paling besar.

“Pola pikir biner muncul di kelas menengah muslim, antara kafir dan bukan kafir, Islam sebagai panacea, atau Islam sebagai eskapisme,” terang Wasisto. Dari berbagai survei, ide-ide khilafah masih kuat, menunjukkan khilafah sebagai sebuah panacea utopis. Sebagai eskapisme, muncul pandangan semua salah Ahok atau salah Jokowi. Wasisto mengakui bahwa dasar argumen dalam kajiannya berangkat dari penjelasan Aswab Mahasin tentang santrinisasi priyayi dan birokrasi. Proses santrinisasi yang dikembangkan Gus Dur kemudian melenceng, alih-alih tumbuh menjadi ide-ide demokrasi malah berkembang menjadi konservatisme.

@ Populi Center 2021

en_USEnglish