Orde Baru (Orba) kembali muncul dalam perhelatan Pilpres 2019. Tidak hanya ditandai dengan kehadiran partai Berkarya yang dipimpin Tommy Suharto, tetapi juga ditandai oleh kampanye capaian-capaian keberhasilan di masa Orba, seperti swasembada pangan. Capaian tersebut dianggap akan kembali terjadi jika Capres Prabowo Subianto terpilih menjadi presiden. Wacana yang digulirkan seakan-akan memberikan peringatan bahwa publik lupa jika Orba merujuk pada satu sistem kekuasaan otoriter. Maka dari itu, munculnya kembali Orba perlu disikapi dengan seksama. Lantas, bagaimana masa depan demokrasi Indonesia dengan munculnya elemen-elemen Orba dalam bentuk parpol dan dukungannya kepada salah satu pasangan calon?
Untuk membahas permasalahan tersebut, Forum Populi edisi Pemilu 2019 pada Kamis (6/12) mengangkat tema “Orba dalam Pilpres”. Pembicara yang hadir kali ini adalah Prof. Hermawan Sulistyo (Peneliti Utama LIPI) dan Sunanto (Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah).
Hermawan mengatakan situasi atau lingkungan Orba masih terjadi hingga saat ini. Tidak bisa dikatakan ketika Soeharto jatuh pada 1998 dan era reformasi dimulai maka Orba berakhir. Menurutnya, yang terjadi hanyalah pergantian presiden. Namun, seluruh kabinet yang mengisinya adalah orang yang sama dari lingkup Orba.
Maka dari itu, Hermawan melihat, jika pada sekarang ini Orba direproduksi menjadi tema kampanye adalah hal yang wajar. Pasalnya, rezim ini memang tidak pernah berganti dan masih tetap berkuasa. “Jadi kalau itu direproduksi menjadi tema kampanye seperti sekarang, ya wajar-wajar saja karena memang tidak pernah berganti” ujarnya.
Selanjutnya, dirinya menjelaskan mengenai kelebihan dan kekurangan Orba yang masuk dalam pertarungan politik saat ini. Pertama, kelebihan Orba adalah mengumpulkan dukungan dari orang-orang yang pada periode dahulu mengikuti rezim Orba. Dalam konteks ini, jika pada era 1998 dia adalah pengusaha pasti masuk dalam kartel (Orba). Sementara itu, jika ia sebelumnya adalah politisi atau pejabat pasti (wataknya) melakukan penindasan.
Kedua, kelebihan Orba adalah mereka bisa menghimpun uang. Hermawan mengakui, tidak ada satupun keluarga atau kroni yang dapat mengkantongi uang sebanyak yang mereka miliki. Kondisi ini bisa dilihat dari besaran pajak yang dibayarkan oleh Tommy Soeharto dengan mengikuti program pengampunan pajak atau tax amnesty pada tahun 2016 lalu. Dari sana pubik dapat memperkirakan jumlah kekayaan dari Tommy Soeharto. Di sisi lain, kerugian yang didapat ketika Orba mengikuti konstelasi Pilpres adalah mental korupsi seperti tokoh-tokoh legislatif yang tertangkap KPK. “Dua dosa terberat Orba itu adalah pelanggaran HAM dan perampokan ekonomi. Ini yang perlu dihindari,” tukasnya.
Di sisi lain, Sunanto menjelaskan tiga sifat Orba yang perlu dihilangkan adalah kartel kekuasaan, Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), dan Otoritarianisme. Kalau tiga sifat ini masih ada maka kita belum dapat dikatakan telah mengalami reformasi. Terkait dengan kontestasi Pilpres 2019, dirinya melihat karakteristik Orba masih ada di dua kubu ini. Jika pada satu kubu, corak Orba nampak pada corak kebijakan yang dibuat yang developmentalis, di kubu lain terdapat elemen biologis Orba yang melekat pada sifat kekeluargaannya. “Hanya beda perspektif saja. Tidak bisa dikatakan satu ini orba dan satu ini tidak orba,” terang Sunanto.
@ Populi Center 2021