Penulis : KH. Mustofa Bisri, et al.
Penerbit : New Merah Putih
Tahun Terbit : 2018
Arief Budiman (AB) adalah tukang kritik profesional. Jika ingatan saya tidak berkhianat, julukan itu diberikan oleh Goenawan Mohamad (GM) kepada sahabat karibnya itu di salah satu esai Catatan Pinggir (Caping). Dalam tulisan itu, GM menulis tentang sikap AB yang dulu dikenal dengan nama Soe Hok Djin dalam menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Rasa-rasanya, julukan itu ada benarnya. Dalam lintasan sejarah negeri ini, hampir semua presiden tidak pernah luput dari kritik keras kakak Soe Hok Gie (Gie) itu. Bahkan, Gus Dur, sahabat dekat AB, juga korban kritiknya.
Kendati dikenal banyak orang, baik itu sebagai seorang intelektual, oposan, tokoh gerakan, dan sastrawan, sisi lain kehidupan AB masih jarang terungkap. Buku berjudul “Arief Budiman (Soe Hok Djin): Melawan Tanpa Kebencian” mencoba untuk menghadirkan kehidupan, ide, dan proses pengembaraan intelektual AB kepada orang-orang, terutama generasi yang tidak sempat mengenalnya. Bagi mereka yang belum mengenal atau hanya mengenal AB dari karya-karyanya, sejumlah tulisan, memorabilia foto, dan komik tentang AB di buku ini sedikit banyak bisa lebih membantu untuk mengenal AB.
Tulisan ini tidak membahas seluruh ulasan dalam buku ini. Pasalnya, buku yang ditulis oleh 22 penulis (terdiri dari keluarga, kawan dekat, dan para pengkritik AB) – tidak termasuk puisi Gus Mus, surat menyurat elektronik AB, dan komik tentang AB – memotret beragam kisah kehidupan AB. Oleh sebab itu, tulisan ini hanya mengangkat sejumlah kisah AB, yang setidaknya menurut saya menarik, di buku ini. Setelah itu, tulisan ini memberikan beberapa catatan terhadap isi buku ini secara umum.
AB merupakan putra Soe Lie Piet atau Salam Sutrawan dan Nio Hoei An atau Maria Suguri. Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, sedangkan Gie adalah anak keempat. Hubungan AB dengan kedua adiknya tidaklah berjalan dengan baik. Jeanne Sumual, anak paling bungsu, menuturkan bahwa AB dan Gie tidak saling tegur sapa selama bertahun-tahun, bahkan sampai adik langsungnya itu meninggal dunia, diduga ‘hanya’ karena rebutan laci. Sementara itu, Jeanne Sumual tidak suka dengan AB yang kerap memberikan ‘pelajaran’ kepadanya apabila ia melanggar peraturan keluarga. Sikap berbeda justru ditunjukkan oleh Gie yang lebih memilih pendekatan dialogis. Tidaklah mengherankan jika Jeanne Sumual jauh lebih dekat dengan Gie. Hingga dewasa, hubungan antara AB dengan Jeanne Sumual tidak banyak berubah (hal. 189-190). Dalam kalimat bernada muram, Jeanne Sumual menuliskan ini: “Jika bertemu, masih saja tidak akrab, sekadar ngobrol-ngobrol, seperti bukan kakak saya” (hal. 190).
Ketajaman pikiran AB, sebagaimana dikenal publik, tidaklah datang dari ruang hampa. Sejak kecil, kata Tuti Gunawan, AB sudah gemar membaca. AB kerap menemani ayahnya, yang bekerja sebagai wartawan dan penulis novel, menulis dengan mesin tik. Apabila satu halaman selesai diketik, dan kemudian keluar dari mesin tik, AB akan langsung membacanya dan menunggu halaman berikutnya (hal. 36). Ketika menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), tulis GM, AB tetap rakus melahap buku, terutama karya-karya Albert Camus dan Sartre. Kala itu, AB mengidolakan sosok Camus. Kekaguman AB pada Camus memang luar biasa. Pada usia 19 tahun, AB sudah menerjemahkan satu bab karya Camus berjudul L’Étranger (hal. 123-125).
Di masa-masa itu, bahan bacaan dan penguasaan filsafat AB memang jauh lebih luas dan dalam dibandingkan GM dan mahasiswa lainnya. GM – yang kerap mengutip Camus di Caping – bahkan pertama kali mengenal peraih nobel sastra pada 1957 itu dari AB. Kecintaan dan pemahaman Arief Budiman terhadap filsafat, juga seni, memang tidak banyak ditemukan di mahasiswa lain, yang lebih dekat dengan slogal “buku, pesta, dan cinta”. Tidaklah mengherankan jika AB paling sering membicarakan dua topik itu dengan GM (hal. 124-125). Oleh sebab itu, AB, juga GM, boleh dikatakan merupakan jenis mahasiswa yang melampaui generasinya.
Selain gemar membaca buku, AB juga diungkapkan sebagai sosok yang serius. Selama di bangku kuliah, tulis Wies Budiman, AB hanya memberikan perhatian kepada mata kuliah (hal. 172). Bukti lain adalah ketika baru menjadi mahasiswa baru, ungkap GM, AB berbicara tentang topik berat di acara perpoloncoan: eksistensialisme. Tentu saja, teman-temannya sama sekali tidak tertarik (hal. 127). Sementara itu, di luar kampus, AB bergaul dengan seniman dan cendekiawan tersohor, seperti P.K Ojong, Onghokham, Mochtar Lubis, dan lainnya. Selain memperkenalkan dengan karya Camus, AB juga memperkenalkan GM dengan mereka (hal. 124).
Kisah asmara AB juga diangkat dalam buku ini. Sebagian besar ditulis oleh istrinya, yakni Leila Ch. Budiman. Sejumlah penulis lain juga menyinggung tentang itu, walaupun porsinya sedikit. Secara umum, kisah cinta AB sangatlah berliku. AB pertama kali menunjukkan ketertarikannya kepada Leila Chairani melalui surat cinta saat keduanya masih kuliah di Fakultas Psikologi UI. Namun, Leila Chairani mengabaikannya. Pasalnya, fisik dan tampang AB bukanlah kriteria cowok idamannya. Terlebih, Leila Chairani sudah naksir lebih dulu kepada lelaki lain (hal. 147).
Di tengah situasi itu, AB tidak menyerah. Ia justru makin gencar mengirimkan surat cinta, puisi, dan buku. Bahkan, ia memamerkan tulisannya di media massa sembari memuji Leila Chairani. Serangkain usaha AB pada akhirnya berbuah manis. Ia pun berpacaran dengan Leila Chairani. Leila Ch. Budiman menjelaskan bahwa ia jatuh hati kepada AB bukanlah karena fisik dan tampangnya, melainkan pengetahuan dan sikap puitisnya (hal. 148-149). Menurut Nono Anwar Makarim, Leila Chairani adalah tipe pacar yang setia. Setelah kematian Gie, AB mulai terjun ke dunia aktivisme. Ia bahkan sempat di tahan Orde Baru. Saat itu, Leila Chairani mengolok-olok teman-teman AB dengan kalimat ini: “Malu ah, si Hok Djin (baca: Arief Budiman) ditahan tuh, kaliah bebas aja” (hal. 74).
Hubungan AB dengan Leila Chairani ternyata tidak mendapat restu dari orang tua Leila Chairani karena perbedaan agama. Tuti Gunawan mengungkapkan bahwa persoalan itu membuat AB tidak mau makan. Gie bahkan sempat mengatakan ini: “Kalau beginilah apa yang disebut cinta, saya tidak mau jatuh cinta” (hal. 36-37). Orang tua Leila Chairani hanya mau memberikan lampu hijau kepada AB dan Leila Chairani apabila AB bersedia masuk Islam, dan mereka berdua menyelesaikan studi mereka. AB bersedia memenuhi persyaratan itu (hal. 150).
Namun, persoalan asmara AB dan Laila Chairani tidak berhenti di situ saja. Ketika hendak menikah, tidak ada penghulu yang ingin menikahkan mereka. Pasalnya, status AB sebagai Muslim yang baik dipertanyakan. Secara bersamaan, tidak ada orang yang mau bersaksi bahwa AB adalah Muslim yang baik. Persoalan itu baru bisa diatasi ketika Mochtar Lubis bersedia untuk memberikan pernyataan bahwa AB adalah seorang Muslim yang baik (hal. 36-37).
Bukti lain dari kesetiaan Lila Chairani ialah kesediannya untuk hidup dengan AB di tengah situasi yang jauh dari gelimpangan harta. Ketika AB menempuh pendidikan di Amerika Serikat (AS), kehidupan keluarganya sangatlah pas-pasan. Pasalnya, beasiswa yang diterimanya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan empat orang, terdiri dari AB, Leila Chairani, dan dua anaknya yang saat itu masih balita. Pada masa-masa awal di AS, AB dan Leila Chairani bahkan sengaja keluar rumah agar tetangga mereka mau mengundang mereka untuk makan bersama. Di tengah keterbatasan finansial itu, Leila Chairani akhirnya memilih bekerja (hal. 156-157).
Tidak hanya itu, ketika AB selama tiga tahun tanpa penghasilan karena dipecat secara tidak hormat dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Leila Chairani masih setia menemaninya (hal. 162). Hingga tubuh AB ringkih karena penyakit parkinson, Leila Chairani tetap setia berada di samping AB. Setiap akhir pekan, tulis Wes Budiman, Leila Chairani selalu membawa AB mengelilingi Melbourne dengan mobil atau trem. Hal itu sepertinya dilakukan Leila Chairani untuk mengembalikan kesadaran AB, dan memupuk optimisme dalam diri AB bahwa ia bisa sembuh (hal. 173).
AB adalah sosok yang sangat sederhana. Boleh jadi, gaya hidup sangat sederhana itu disebabkan ketidakpeduliannya terhadap penampilan atau alasan ideologis. Kecuekan AB terhadap penampilan setidaknya sudah terlihat sejak muda. GM mencatat bahwa di hari-hari perkenalannya dengan AB, AB memakai baju dan celana yang lusuh, tapi bersih (hal. 123). Ketika sudah menjadi dosen di UKSW, AB tetap tidak berubah. Susanti Kusumasari, anak AB, menjelaskan bahwa ayahnya tidak tertarik berpenampilan necis. Penampilannya itu-itu saja: sepatu sandal, kaos berkerah, dan celana warna coklat tua. Kendaraan pribadi AB juga ‘hanya’ vespa (hal. 185).
Kesederhanaan AB terkadang sangat tidak lazim. Tuti Gunawan menjelaskan bahwa AB tidak mempunyai, bahkan tidak berniat memiliki, dasi dan jas (hal. 40). Ketika menjalani seleksi Kepala Pengkajian Indonesia di Universitas Melbourne, tulis Bela Kusumah Kasim, AB memakai baju lengan pendek, celana yang masih kelihatan baru, dan sepatu kucel – tanpa dasi dan jas. Padahal, persentasinya ditonton oleh anggota panel, peneliti asing, dan sejumlah mahasiswa Indonesia dan Australia (196-197). Saat memberikan pidato pengukuhan profesor, AB juga hanya memakai batik (hal. 40).
Sewaktu memberikan persentasi saat mengikuti seleksi Kepala Pengkajian Indonesia, AB juga tidak membawa tas. Yang ia bawa hanyalah lipatan-lipatan kertas kucel di sakunya. Padahal, topik persentasinya sangat berat: “Islam, Budaya, dan Politik di Indonesia” (196-197). Bahkan, ketika berhasil diterima di Universitas Melbourne, AB tetap tidak mau membawa tas, dan lebih memilih menggunakan tas kresek, sekali lagi tas kresek, untuk membawa bahan kuliahnya. Meskipun Leila Chairani membelikan tas bagus, AB tetap memakai tas kresek (hal. 173).
Kalau bukan karena ketidakpedulian AB terhadap penampilan, gaya hidup sangat sederhana yang tidak lazim itu boleh jadi didasari oleh alasan ideologis. Sebagaimana diketahui, Arief Budiman merupakan pejuang gerakan Kiri. Tentang ini, Nono Nawar Makarim mengisahkan cerita menarik. Ketika Leila Chairani baru saja membeli mobil bekas di AS, AB duduk di pinggir jalan dan termenung sebagai bentuk protes (hal. 78). Leila Chairani juga mengamininya. AB tidak mau melihat dan bersentuhan dengan mobil itu dalam kurun waktu tertentu (hal. 158). Menurut Nono Nawar Makarim, sikap AB tersebut tidak lepas dari penolakan AB terhadap kepemilikan aset-aset yang identik dengan borjuis (hal. 78). Meskipun begitu, khusus pada kasus mobil itu, AB pada akhirnya mengubah sikapnya (hal. 158).
Buku ini, seperti disinggung sebelumnya, mengulas beragam kisah kehidupan AB. Pada satu sisi, karena ditulis oleh banyak orang, kisah tersebut menjadi berwarna, dan menghadirkan sosok AB berdasarkan pengalaman-pengalaman personal tiap penulis. Pada sisi lain, sayangnya, pembahasan yang dikemukakan oleh satu penulis terkadang sama atau beririsan dengan penulis lain. Tulisan Bonnie Setiawan (hal. 3-9) dan Vedi R. Hadiz (hal. 19-25), misalnya, memiliki kesamaan, meski tidak seutuhnya, dalam menggambarkan peran sentral AB bagi mahasiswa generasi angkatan 1980-an. Contoh lain adalah kisah asmara AB dan Leila Chairani yang diulas oleh sejumlah penulis, walaupun pembahasan paling banyak dipaparkan oleh Leila Ch. Budiman.
Secara umum, kehidupan AB sejak kecil hingga dewasa sudah dimunculkan dalam buku ini. Namun, pembahasan masa kecil AB porsinya jauh lebih minim dibandingkan kisahnya ketika sudah dewasa. Di samping itu, masa remaja AB juga luput dalam pembahasan buku ini. Padahal, penjabaran kisah itu akan sangat menarik. Pasalnya, sebagaimana ditulis GM, ketika menjadi mahasiswa baru, AB sudah membaca karya Sartre dalam Bahasa Inggris (hal. 125), bahkan menerjemahkan karya Camus (hal. 123-125) (saya menduga AB menerjemahkan karya Camus yang Bahasa Prancis, sebab GM menyebut L’Étranger, bukan The Stranger). Boleh jadi, di masa remaja, lebih tepatnya sebelum masuk ke dunia perkuliahan, AB sudah membaca karya-karya tersebut. Jika itu benar terjadi, maka kisah remajanya sangatlah layak untuk diangkat. Secara bersamaan, ulasan tentang bagaimana AB berkenalan dan bergaul dengan seniman dan cendekiawan terkenal juga tidak banyak disorot. Padahal, untuk ukuran anak baru kuliah, pergaulan seperti itu sangat jarang terjadi.
Yang patut diapresiasi dari buku ini adalah bahwa buku ini menghadirkan sejumlah tulisan, meskipun tulisan lama yang diterbitkan kembali melalui buku ini, yang mengkritik AB. Dengan begitu, buku ini tidak terjebak pada sisi heroisme AB semata. Rizal Mallarangeng (Celli), misalnya, mempertanyakan sikap AB sebagai ilmuwan, yang mempertanyakan kebenaran, dan aktivis di jalan sosialisme, yang menyebarkan ‘kebenaran’ (hal. 67-70). Tulisan Atikah Hasyim mengkritik keras AB terkait gelar “guru besar” AB, sebab AB menggunakan gelar itu dalam tulisannya di Harian Kompas pada akhir 1990-an (hal. 91-94). Adapun A. Supardi Adiwidjaya melontarkan kritik terhadap sikap AB yang arogan, juga tidak substantif, dalam memberikan kritik kepada Presiden Megawati. Menurutnya, serangkaian kritik AB, terkhusus soal otonomi darah dan negara federal, tidaklah bebas kepentingan. Pada titik ini, lanjutnya, AB tengah memperjuangkan negara federal di Indonesia. Di samping itu, bagi AB, kata A. Supardi Adiwidjaya, Megawati merupakan lawan politik yang bagaimanapun caranya harus disudutkan (hal. 105-121).
Meskipun begitu, hanya Vedi R. Hadiz yang tercatat cukup memberikan pujian dan kritik secara bersamaan kepada AB dalam tulisannya. Baginya, juga teman-temannya, AB merupakan “rekan seperjuangan”, sebab AB mau mendukung kegiatan politik mahasiswa, dan memperkenalkan teori dependesia dan ide sosialisme di bawah suasana represif Orde Baru (hal. 21). Walaupun begitu, seiring berjalannya waktu, Vedi R. Hadiz ternyata tidak sejalan dengan pemikiran AB. Perdebatan di antara mereka pun kerap terjadi ketika bertatap muka. Salah satunya adalah penolakan Vedi R. Hadiz terhadap teori dependesia yang diperkenalkan AB di Indonesia. Menurutnya, penyedotan surplus terus menerus dari negara berkembang ke negara maju yang menjadi sumber keterbelakangan ekonomi tidak memadai dalam menangkap kompleksitas masalah pembangunan. Vedi R. Hadiz justru lebih tertarik untuk mengkaji struktur ekonomi politik Indonesia dan relasi-relasi kekuasaan yang melekat padanya (hal. 24).
Memang, Celli tidak sekadar memberikan kritik melalui tulisan lamanya, melainkan juga mengakui pengaruh AB dalam perjalanan intelektual dan personalnya (hal. 66). Namun, topik itu sama sekali tidak dielaborasinya. Padahal, ia sudah lama mengenal AB: sejak masih mahasiswa (Mallarangeng, 2008:657). Sebelum melanjutkan studi di AS, ia bahkan bertanya terlebih dahulu kepada AB (Mallarangeng, 2008:627). Tulisan Celli di buku ini tentu akan menjadi lebih menarik jika dilengkapi dengan pembahasan yang cukup mendalam tentang kedekatannya dengan AB.
Terlepas dari keterbatasannya, buku ini telah menghadirkan sisi lain AB. Saat ini, AB telah meninggal dunia. Menurut hemat saya, buku yang membahas pemikiran atau kisah kehidupan AB secara utuh sangat layak untuk dituliskan. Dari beragam tulisan yang tersebar di media pasca wafatnya AB, saya kira Ignas Kleden sangat mumpuni untuk membahas pemikiran AB. Pasalnya, ia mengapresiasi terobosan AB di bidang sastra. Namun, Ignas Kleden mengkritik kecenderungan AB yang mengabaikan aspek empiris dan historis dalam menjelaskan sosialisme (Harian Kompas, 12/5/2020). Pada titik ini, Ignas Kleden secara seimbang menilai pemikiran dan sepak terjang AB. Adapun kisah kehidupan AB bisa ditulis GM atau Ariel Heryanto. Sebab, dua orang itu punya hubungan yang sangat dekat AB. Dengan buku biografi itu, juga karya-karya AB, AB (akan) abadi.
Mallarangeng, Rizal. 2008. Dari Langit: Kumpulan Esai Tentang Manusia, Masyarakat, dan Kekuasaan. Gramedia Popular Libraries: Jakarta.
Kleden, Ignas. 2020. Arief Budiman, Aktivisme dan Diskursus Publik. Harian Kompas, 12 Mei 2020.